Konten dari Pengguna

Pengaturan Terkait Jaminan Produk Halal Setelah UU Cipta Kerja Terbit

Yesica Yentelina
Yesica Yentelina Sitohang. Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
9 April 2024 12:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yesica Yentelina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi timbangan hukum (sumber: https://www.pexels.com/id-id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi timbangan hukum (sumber: https://www.pexels.com/id-id/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belum lama ini pada tahun 2023, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. Terdapat perubahan substansi pada berbagai undang-undang di dalamnya, salah satunya pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
ADVERTISEMENT
Sebelum lebih lanjut mengetahui bagaimana pengaturan terkait jaminan produk halal setelah UU Cipta Kerja terbit. Perlu diketahui terlebih dahulu mengenai arti dari produk halal dan jaminan produk halal itu sendiri. Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014, Produk Halal itu sendiri memiliki arti produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan, Jaminan Produk Halal (JPH) memiliki arti kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.
Beberapa tujuan dibentuknya suatu kebijakan terkait Jaminan Produk Halal, diantaranya yakni memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Beberapa substansi dalam UU JPH telah diubah dan dicantumkan di dalam UU Cipta Kerja. Setelah UU Cipta Kerja terbit, pelaku usaha mikro dan kecil telah memiliki kewajiban bersertifikat halal pada produk yang dijual. Pernyataan halal tersebut harus dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH. Selanjutnya, BPJPH dalam melaksanakan wewenangnya terkait Jaminan Produk Halal, bukan saja bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, LPH, dan MUI. Akan tetapi, BPJPH saat ini dapat bekerja sama dengan MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh serta Perguruan Tinggi.
ADVERTISEMENT
BPJPH bekerja sama dengan Perguruan Tinggi dalam menjalankan wewenangnya, dalam hal ini dilakukan untuk sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal. Peran serta perguruan tinggi tersebut tentu diperlukan dan diharapkan untuk membangun ekosistem yang halal di Indonesia. Salah satu bentuk implementasi peran serta perguruan tinggi, yaitu baik mahasiswa maupun dosen melakukan pendampingan pelaku usaha disekitarnya untuk memperoleh sertifikat halal. Dengan demikian, mulai tahun 2024 pemerintah mengimbau pelaku usaha mikro dan kecil wajib telah memiliki sertifikat halal.
Kemudian, pelaku usaha memiliki beberapa kewajiban setelah memiliki sertifikat halal. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud, yakni mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal; memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; memperbarui sertifikat halal jika terdapat perubahan komposisi bahan dan/atau PPH; dan melaporkan perubahan komposisi bahan dan/atau PPH kepada BPJPH.
ADVERTISEMENT