Konten dari Pengguna

Kesehatan Mental Masa Kini

yessysapriangga
Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang
25 Januari 2021 5:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari yessysapriangga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kesehatan Mental Masa Kini
zoom-in-whitePerbesar
Identitas Buku :
Judul : Filosofi Teras
Penulis : HENRY MANAMPIRING
ADVERTISEMENT
Tahun Terbit : 2019
Kota Terbit : Jakarta
Nama Penerbit : Kompas
Tebal Buku : xxiv + 320 halaman
Filosofi Teras semacam alun-alun di Athena sehingga ajaran yang dipelopori oleh Zeno ini disebut Filosofi Stoa atau Filosofi Teras. Filosofi ini sudah ada sejak masa Yunani Kuno sebelum Masehi. Jauh dari filsafat yang terkesan sebagai topik berat dan mengawang-awang, Filosofi Teras justru praktis dan relevan dengan kehidupan Generasi Milenial dan Gen-Z masa kini. Buku ini dibuka dengan riset sederhana mengenai Survei Khawatir Nasional yang semakin memperkuat persoalan yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini. Pertanyaan yang dilemparkan Henry Manampiring dalam surveinya sederhana tetapi menarik dan menggelitik. Di antaranya mengenai tingkat kekhawatiran hidup seseorang secara keseluruhan, tingkat kekhawatiran tentang studi lanjutan, kekhawatiran akan relationship, kekhawatiran terhadap status jomblo/sendiri, kekhawatiran mengenai pekerjaan/bisnis, kekhawatiran atas kondisi keuangam pribadi, kekhawatiran sebagai orang tua, kekhawatiran menyangkut kondisi sosial politik di Indonesia, dan sebagainya. Hasil dari survei tersebut cukup mencengangkan dan sukses memprovokasi para pembacanya.
ADVERTISEMENT
Buku Filosofi Teras berisi 11 bab yang unik dan menarik. Berikut beberapa ajaran Filosofi Teras yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, hidup selaras dengan Alam. Dengan arti lain, kita harus menggunakan nalar, akal sehat karena nalar atau rasio adalah yang membedakan kita dari binatang.
Kedua, hidup mengasah empat kebajikan utama (vitrues), yakni kebijaksanaan, keadilan, menahan diri, keberanian.
Ketiga, dikotomi kendali (dichotomy of control). Prinsip ini paling utama di Filosofi Teras.
Keempat, dikotomi kendali tidak sama dengan pasrah pada keadaan. Oleh karena situasi eksternal adalah sesuatu di luar kendali, maka seolah-olah kita hanya bisa megubah persepsi saja, dan tidak perlu berupaya, apalagi bekerja keras. Anggapan ini tidak benar. Dalam hal itu William Irvine sudah memberikan solusinya dalam bentuk ‘Trikotomi Kendali’ di atas.
ADVERTISEMENT
Kelima, dapat membedakan antara peristiwa objektif/fakta, dan opini/value judgment kita tambahkan kemudian. Opini/interpretasi/value judgment ini yang sering menjadi akar emosi negatif.
Keenam, mengendalikan interpretasi dan persepsi. Semua kesusahan yang kita rasakan datang dari pikiran kita sendiri dan bukan dari peristiwa/orang lain maka kita bisa mengendalikan pikiran kita.
Ketujuh, saat emosi negatif (mau mengamuk, sedih, baper, cemburu, frustasi, takut, putus asa, dan lain-lain) menerpa, selalu melakukan STAR (Stop-Think & Assess-Respond).
Kedelapan, premeditatio malorum. Melatih diri membayangkan hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup kita sehingga kita bisa lebih siap.
Kesembilan, hanya kita yang bisa mengizinkan orang lain menyakiti kita secara non-fisik (misalnya dengan hinaan, celaan, cemoohan). Tidak ada penghinaan yang benar-benar terjadi jika tidak ada yang merasa terhina.
ADVERTISEMENT
Kesepuluh, latihan menderita (practice poverty) secara berkala. Dengan kata lain, memaksa kemungkinan buruk dalam kehidupan kita agar kita tahu rasanya berada dalam posisi kesusahan. Hal itu dapat dilakukan dengan cara berpuasa (melatih kelaparan), atau melakukan digital detox (latihan untuk hidup tanpa internet).
Kesebelas, menjadi orang tua. Tidak sedikit orang tua yang ngotot memaksakan kehendaknya karena telah berjasa melahirkan dan membesarkan anaknya. Padahal anak merupakan individu yang merdeka. Kembali ke prinsip dikotomi kendali. Ada sebagian hal tentang anak yang ada di dalam kendali orang tua, dan ada pula sebagian lagi yang tidak di dalam kendali orang tua.
Awalnya saya kira buku ini tentang self-help seseorang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri pada umunya. Dalam buku ini ternyata juga disediakan satu bab khusus yang membahas mengenai parenting yang menambah wawasan baru bagi saya. Ajaran Filosofi Teras merupakan sesuatu ajaran baru bagi saya. Sebelum membaca buku ini, saya belum mengetahui tentang filsafat Stoa dan terasa asing di telinga. Seperti yang saya tulis di awal, dunia filsafat terkesan asing bagi saya, oleh karenanya saya belum begitu tertarik mempelajarinya.
ADVERTISEMENT
Di setiap akhir bab disediakan pula intisari yang membuat pembaca lebih mudah menangkap poin yang penting pada setiap bab yang diulas. Selain itu, ia juga menyertakan wawancara dengan praktisi dari berbagai bidang yang telah mempraktikkan Stoisisme, mulai dari seorang psikiater, psikolog pendidikan, editor, hingga pengusaha. Dari segi isi, ajaran Filosofi Teras ini sangat aplikatif karena masih relevan dengan problematika kehidupan sehari-hari, sepeti masalah macet, marah-marah di media sosial, nyinyirin selebriti, dan masalah yang dihadapi seseorang ketika menjadi orang tua. Filosofi Teras mampu menjawab beberapa pertanyaan seputar konflik dalam diri, cara menjalani laku hidup yang lebih baik, dan menuntun dalam mengatur sudut pandang kita terhadap prasangka orang lain.
Istilah populer Don’t Judge A Book by Its Cover sepertinya layak di sandang oleh buku ini. Saat seseorang memutuskan untuk mengadopsi sebuah buku, biasanya first impression itu menentukan, mulai dari judul buku, cover, pemilihan font, lay out hingga sinopsis buku. Sebelum menikmati sajian isi buku, setidaknya beberapa hal itu menjadi pertimbangan seseorang berminat membacanya atau tidak. Menurut saya, dilihat dari judulnya buku ini kurang menarik. Kesan buku yang berat didapat karena adanya kata filsafat. Hal itu mungkin bisa saja membuat buku ini terlewatkan dari Generasi Milenial. Namun, saya salut dengan kerjasama penulis dan penerbit dalam mempromosikan buku ini dengan baik.
ADVERTISEMENT
Dari segi isi, beberapa bahasan dan contoh terasa diulang-ulang dan panjang. Membuat beberapa bagian jadi membosankan. Saya merasa buku ini dapat lebih diringkas menjadi dua pertiganya. Akan tetapi, barang kali metode ini memang disengaja oleh penulis agar Filosofi Teras dapat berhasil diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh Generasi Milenial. Kembali lagi ke Filosofi Teras, semua tergantung interpretasi. Awalnya akan terlewatkan tetapi setelah membacanya menjadi sayang jika tidak bertemu dengan buku ini.
Pada akhirnya, buku Filosofi Teras merupakan buku yang sangat ciamik dan layak untuk direkomendasikan terutama bagi generasi masa kini yang saat ini lebih terobsesi untuk memiliki feed Instagram yang sempurna dan berlomba-lomba menambah followers. Dengan membaca buku ini, diharapkan kita dapat lebih bijak dan cerdas dalam bersosial media. Selain itu, menjalani filosofi ini memang tidak mudah, dibutuhkan latihan mengendalikan emosi negatif, serta berusaha untuk cuek dan bodo amat tehadap sesuatu yang berada di luar kendali kita.
ADVERTISEMENT
pereview : Yessy Sapriangga/ Universitas Muhammadiyah Malang/ Fakultas Ilmu Kesehatan/ Farmasi
Dosen Pembimbing : Dr.Daroe Iswatiningsih,M.Si.