Kesetaraan Dalam Kolaborasi Riset Adalah Harga Mati

Yetti Rochadiningsih
Analis Kebijakan Ahli Muda. Pemilik Media Online suarakreatif.com
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 11:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yetti Rochadiningsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Teman saya adalah seorang peneliti, beliau adalah peneliti senior dan sudah banyak sekali pengalamannya, baik pengalaman pahit atupun manis dalam urusan kerjasama dengan peneliti asing. Dia pernah curhat tentang pengalaman pahitnya terkait kerjasama yang kebetulan dibangun atas dasar pertemanan, selain itu kebetulan mereka dulu pernah satu almamater waktu kuliah di Amerika.
ADVERTISEMENT
Begini curhat teman saya. Temannya yang dari Amerika mendapat dana penelitian yang nilainya cukup lumayan, dan singkat cerita mereka berdua melakukan Kerjasama riset, namun di akhir penelitian masalah mulai muncul, mereka berdua meributkan kepemilikan data untuk bahan publikasi. Temannya yang berasal dari Amerika mengatakan bahwa dia berhak atas semua data primer hasil penelitian dan menjadi author tunggal dalam publikasinya, karena dia merasa dana yang digunakan dalam penelitian bersama tersebut berasal darinya.
Nah, lain cerita dengan teman saya yang dulu pernah bersekolah S3 di Jepang. Dosen pembimbingnya mengajak dia dan beberapa mahasiswa dari Jepang untuk melakukan penelitian bersama di Indonesia tentang Tsunami. Tentunya teman-teman yang faham akan budaya di Jepang pasti tau, bahwa haram hukumnya menolak perintah Sensei. Singkat cerita setelah selesai penelitian dia hanya bisa meratapi nasib. Dirinya hanya di jadikan alat untuk memboyong sampel-sampel penelitian keluar dari Indonesia, mengurus administrasi dan menjadi tour guide. Boro-boro mendapat kesempatan untuk Analisa sampel bersama, dalam publikasi ilmiah pun namanya tidak muncul. Ambyar tenan…
ADVERTISEMENT
Sebetulnya masih banyak lagi kasus-kasus atau permasalahan terkait kerjasama penelitian yang tidak mungkin saya ceritakan semua di sini.
Jadi, kemitraan riset seringkali terbentuk berdasarkan ikatan atau hubungan alumni dari suatu perguruan tinggi dan ketika mitra peneliti asing mendapatkan dana penelitian inilah biasanya Kerjasama Riset Internasional terbentuk antara peneliti asing dengan peneliti Indonesia.
Setelah beberapa kali mendengarkan ulasan dari beberapa pakar bahwa kerjasama semacam itu lebih banyak membuat kerugian untuk pihak peneliti Indonesia sementara pihak asing yang justru menang banyak, saya pun mulai berfikir sepertinya ada yang perlu diluruskan…
Kemitraan riset yang berdasarkan ikatan alumni tersebut tidak sepenuhnya ideal. Dalam beberapa kasus lainnya cukup banyak peneliti asing yang bermitra dengan peneliti Indonesia dengan kompetensi keilmuannya boleh dibilang kurang relevan, seketika tersirat pertanyaan dalam hati saya, apakah kita akan terus menerus terjebak dalam hal seperti ini? Adakah keinginan dari kita sebagai anak bangsa untuk melakukan suatu perjuangan untuk suatu perubahan? Sesuatu yang boleh dibilang lebih terencana dan terarah.
ADVERTISEMENT
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang kini menjadi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional telah memiliki pedoman Rencana Induk Riset Nasional (RIRN). Pedoman RIRN disusun untuk menyelaraskan kebutuhan riset jangka panjang dengan arah pembangunan nasional terkait ilmu pengetahuan dan teknologi. RIRN menjadi penting karena pembangunan nasional membutuhkan perencanaan sektoral untuk mengintegrasikan langkah-langkah yang terpadu dan terintegrasi, khususnya antar Kementerian/Lembaga, untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaannya.
Bayangkan, apa yang akan terjadi jika segala sesuatu yang berkaitan dengan kerjasama riset ditentukan oleh Peneliti Asing yang akan bermitra dengan Peneliti Indonesia? Mulai dari penentuan judul penelitian, proposal penelitian, biaya penelitian, lokasi penelitian dan semua isi perjanjian penelitian. Sementara penelitian yang akan dilakukan tersebut bukan menjadi prioritas dalam Rencana Induk Riset Nasional (RIRN), rasanya sampai kapanpun tujuan untuk pembangunan nasional kita tidak akan pernah tercapai. Padahal beberapa pakar ahli di negeri ini mengatakan bahwa negara kita tidak mungkin maju jika kita menutup diri dari kerjasama dengan pihak asing.
ADVERTISEMENT
Saya sangat setuju, dalam pemberian izin penelitian yang melibatkan peneliti asing prinsip kehati-hatian adalah di atas segalanya. Kemenristek BRIN selaku regulator dalam pemberian izin peneliti asing mempersilahkan para peneliti asing untuk melakukan penelitian di Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Indonesia (Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006), semua peneliti asing yang melakukan kegiatan penelitian di Indonesia harus mendapatkan izin resmi dari pemerintah.
Jadi jelas, untuk kemajuan anak bangsa dan negara kita harus mendukung kerjasama riset internasional, catatan yang perlu kita ingat adalah kita perlu mempelajari beberapa pengalaman negara-negara lain terkait hal ini. Sebagai contoh negara jepang, mayoritas sistem pendidikan lanjutan di Jepang berbasis pada penelitian dibandingkan datang ke kelas, mengerjakan tugas, ujian, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Kalau di Eropa atau Australia para mahasiswa seringkali mengeluhkan penuhnya kelas dan SKS yang harus diambil, mereka harus begadang mengerjakan laporan, ujian tertulis, dan banyak lagi. Namun mahasiswa di Jepang bergadang bukan karena tugas, tetapi karena riset yang harus dikerjakan, hampir selama pendidikan yang kerjakan para mahasiswa di Jepang adalah riset tiada habisnya.
Makanya, minat peneliti Jepang untuk melakukan penelitian di Indonesia menempati peringkat ke 2 setelah Amerika. Nah, sebetulnya jika kita gabungkan antara pola Pendidikan dan minat para peneliti Jepang untuk melakukan riset di Indonesia, dari situ kita dapat membaca peluang. Kita dapat mendorong mereka untuk melakukan kerjasama riset yang menjadi prioritas dalam Rencana Induk Riset Nasional dan membuat agar para peneliti itu mau melakukan konsorsium riset antar peneliti di universitas, LPNK dan Industri.
ADVERTISEMENT
Jadi jelas, yang perlu kita perjuangkan dalam perjanjian kolaborasi riset ini minimal adalah publikasi bersama, data hasil penelitian dan keuntungan baik moneter atau non moneter. Jadi jangan pernah berfikir bahwa mereka memiliki posisi lebih tinggi karena telah membawa teknologi canggih dan segudang dana penelitian, sementra posisi tawar kita berada lebih rendah di bawah mereka. Bukankah itu semua tidak ada artinya jika mereka tidak memiliki obyek penelitian?