Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Manajemen Riset Buruk Kerjasama pun Ambruk, Saatnya Indonesia Berubah
2 November 2020 10:47 WIB
Diperbarui 28 Juli 2021 13:18 WIB
Tulisan dari Yetti Rochadiningsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya sepakat bahwa riset dan inovasi adalah penentu kemajuan suatu negara, saya sepakat juga dengan orang-orang yang mengatakan bahwa riset adalah bisnis. Dr. Aiyen salah satu narasumber yang memaparkan terkait manajemen riset dalam kerjasama riset internasional, pada acara Sosialisasi Perizinan Peneliti Asing mengutip salah satu publikasi Chuen-Yen Lau yang berjudul International Collaborative Research Partnerships: Blending Science with Management and Diplomacy, dikatakan bahwa kerjasama riset tidak ada bedanya dengan kerjasama bidang ekonomi, jadi kalau kita berpartner dalam riset seperti berpartner dalam bisnis. Kenapa demikian? Karena semua itu harus ada aturan dan sistemnya.
ADVERTISEMENT
Jadi, orang-orang yang melakukan kerjasama tersebut bukan saja behaviournya sebagai seorang ilmuwan, pada saat yang bersamaan dia juga menjadi sorang duta dari negaranya, selalu memperkenalkan culture dan juga memperkenalkan ilmu pengetahuannya, mereka merupakan wakil dari negaranya di dalam kerjasama tersebut.
Ternyata memberi pemahaman kepada orang lain tidak semudah membalik telapak tangan. Terkadang apa yang kita anggap sudah benar, belum tentu benar di mata orang lain. Saya hanyalah seorang staf yang kurang lebih hampir lima tahun mengeluti administrasi perizinan bagi peneliti asing yang akan melakukan penelitian di Indonesia. Tanpa bermaksud menggurui, saya ingin berbagi sedikit pengalaman tentang baik buruknya manajemen riset yang pernah saya lihat.
Tinggalkan budaya kesusu (terburu-buru)
ADVERTISEMENT
Bulan lalu ada seorang dosen yang ditugaskan untuk menjadi mitra kerja seorang peneliti asing asal Amerika, beliau juga ditugaskan mencari informasi terkait izin peneliti asing. Setelah kami beri penjelasan, kurang lebih dua minggu kemudian beliau kembali menghubungi dan bercerita bahwa beliau mendapat notifikasi e-mail, aplikasinya telah di setujui namun dengan banyak sekali catatan. Sebetulnya tujuan penelitiannya sangat bagus, para reviewer mengatakan bahwa negara kita butuh solusi dari hasil penelitian tersebut. Anehnya, beliau menganggap masukan yang diberikan reviewer itu sebagai suatu penghambat.
Semua dokumen yang di upload seolah di buat terburu-buru untuk mengejar deadline. Mulai dari proposal yang diajukan sampai ke perjanjian kerjasamanya. Hampir sebagian dokumen yang di unggah secara online terlihat di buat sepihak oleh si peneliti asing. Timbul pertanyaan dalam hati saya, apakah semua ini sudah di bahas dan di sepakati oleh para pihak?
ADVERTISEMENT
Sedihnya lagi, ketika beliau cerita bahwa semua urusan administrasi di urus peneliti asingnya, kecuali surat rekomendasi kesediaan sebagai mitra kerja yang memang harus diberikan dari pihak instansi atau perguruan tinggi di Indonesia, bahkan hasil review kekurangan dan perbaikan dokumen yang disampaikan via e-mail aktif di respons oleh pihak peneliti asingnya, dan hebatnya semua di jawab sangat cepat seolah tidak ada kompromi antara para pihak.
Sering saya bertanya dalam hati, apakah nanti ketika aplikasi tersebut di setujui dan mereka mulai penelitian di lapangan beliau siap mendampingi untuk terjun kelapangan, melakukan analisis dan menulis publikasi bersama? Ah itu urusan mereka, batin saya menjawab seperti itu.
Kesepakatan bersama antar pihak sebagai penentu keberhasilan Kerjasama riset
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian hukum yang pernah saya baca, masyarakat kita masih menganggap perjanjian kerjasama sebagai sesuatu hal yang bisa dibicarakan secara lisan tanpa perlu adanya perjanjian tertulis. Masyarakat kita masih memiliki rasa tidak enak hati, apa lagi jika kita kenal baik dengan pihak yang akan di ajak kerjasama. Misalnya orang yang akan kita ajak kerjasama dulunya merupakan dosen, supervisor, profesor atau teman seperjuangan waktu sekolah di luar negeri.
Kalaupun perjanjian kerjasama di buat oleh para pihak, terkadang masih saja ada perjanjian kerjasama yang isinya sangat tidak berimbang, khususnya penelitian terkait keanekaragaman hayati. Misalnya dalam suatu kerjasama penelitian internasional, entah karena lupa atau hal lainnya, isi perjanjian sama sekali tidak menyinggung hal terkait publikasi bersama dan sampel untuk penelitian.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam penelitain jelas akan menggunakan sampel untuk di analisis. Apakah penelti Indonesia yang menjadi mitranya akan melakukan analisis bersama atau hanya menjadi penonton? Setelah penelitian berakhir, sampel yang di bawa keluar Indonesia statusnya bagaimana? karena banyak atau sedikit sampel tersebut merupakan aset negara. Kejelasan ini perlu diperjuangkan mati-matian dalam perjanjian kerjasama.
Hal lain yang sering terlupakan adalah terkait Intellectual Property Rights (IPR) berupa paten, publikasi, video, poto atau audio dan lain sebagainya. Data primer hasil penelitian juga tidak kalah penting untuk dituangkan dalam perjanjian kerjasama. Para pihak harus sepakat dalam memutuskan dimana menyimpan data dan siapa saja yang berhak menggunakan data tersebut?
Data primer adalah data yang sangat berharga, dari data primer mereka bisa mengolah dan menggunakan untuk menerbitkan satu atau dua, bahkan lebih publikasi ilmiah. Siapa yang dapat menjamin bahwa data hasil penelitian ini akan digunakan sebatas untuk kepentingan pembelajaran saja bukan untuk kepentingan komersil, karena kita tidak pernah tau isi hati seseorang.
ADVERTISEMENT
Terlepas hasil kerjasama penelitian tersebut menghasilkan paten atau tidak, sebaiknya IPR di atur didalamnya. Jangan lupa perjanjian di buat dalam dua Bahasa, salah satunya Bahasa Indonesia. Semakin jelas isi perjanjian maka tingkat kepercayaan para pihak pun semakin besar. Toh lebih baik kita mati-matian mengatur semuanya di awal dalam perjanjian dari pada misuh-misuh tak berguna di kemudian hari.
Siapkan legal drafter ulung di tiap instansi atau perguruan tinggi di Indonesia sebelum palu kerjasama di mulai. Keberhasilan di awal tentunya akan berdampak untuk kerjasama-kerjasama selanjutnya.
Manajemen riset yang baik, sangat berpengaruh bagi institusi
Sering saya melihat peneliti asing yang datang ke kantor untuk mengambil Surat Izin Penelitin (SIP) tanpa di dampingi oleh mitra kerja mereka, kadang mereka juga sering mengeluhkan terkait proses administrasi yang harus mereka lakukan sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari sini dapat terlihat mitra lokal Indonesia dari instansi atau perguruan tinggi mana saja yang memiliki manajemen riset sangat baik, baik, sedang, buruk dan sangat buruk. Catatan tersebut hanya ada di benak saya, namun sedikit banyak menyisipkan gambaran manajemen riset di instansi atau perguruan tinggi mereka.
Institut Pertanian Bogor (IPB) selalu saya jadikan contoh bagi instansi atau perguruan tinggi lain dalam hal manajemen riset, mereka sangat rapih dan terorganisir. Hal sederhana yang membuat saya memiliki penilaian sangat baik terhadap perguruan tinggi tersebut adalah, setiap kali ada peneliti asing yang datang mengambil Surat Izin Penelitian, selalu di temani minimal oleh salah satu staf perguruan tinggi tersebut. Bukan hanya saat kedatangan, mereka juga memiliki staf yang mengurus keberadaan para peneliti asing selama di lapangan hingga proses kepulangan kenegaranya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Data capaian output mereka pun sangat rapih, mengapa bisa demikian? Ternyata mereka memiliki rule tersendiri dalam manajemen riset yang mereka sepakati. Kerjasama mereka menjadi sangat produktif karena para pihak sepakat untuk mematuhi hukum dan regulasi negara para pihak. Mereka pun seringkali melakukan diskusi untuk mencapai kata mufakat, saling menghormati dan menjamin benefit bersama. Nah, terakhir untuk masalah pembiayaan, para pihak berusaha untuk saling transparan.
Keberhasilan riset adalah tujuan semua pihak
Terkadang karena kesibukan para pihak dan keterbatasan SDM, beberapa instansi atau perguruan tinggi yang menggunakan pihak ketiga (perusahaan yang bergerak di bidang jasa) salah satunya untuk mengurus administrasi perizinan. Beberapa peneliti asing terkadang justru lebih merasa nyaman di layani oleh pihak ketiga tersebut, terkadang mereka juga diminta membantu hingga proses pengambilan data di lapangan. Tunggu dulu, menurut saya ini sudah kebablasan.
ADVERTISEMENT
Pengumpulan data di lapangan seharusnya dapat dilakukan oleh para pihak (peneliti asing dan peneliti Indonesia), jangan biarkan mereka bergantung pada pihak ketiga, jelas kita tidak mendapat keuntungan apa pun jika hal tersebut terjadi. Untuk mengatasi masalah kesibukan, sebetulnya sejak awal hal ini dapat di siasati dengan memberi peluang bagi mahasiswa yang memiliki bidang penelitian sesuai dengan kerja sama riset tersebut dan sedang tugas akhir untuk membantu (hal ini tentunya telah di sepakati di awal). Pointnya masing-masing pihak harus memiliki kontribusi yang seimbang, jujur dan saling menghargi.
Jadi, kalau ingin negara maju tentunya kita harus sepakat untuk membenahi hal yang paling mendasar terlebih dulu. Keberhasilan riset di mulai dari manajemen riset yang baik. Atau kita mau terus-menerus terjebak dalam kondisi seperti ini?
ADVERTISEMENT