Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Kearifan Lokal Dugderan: Antara Tradisi dan Modernisasi
19 Maret 2024 6:50 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yetyana Ayu Putriany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dugderan, tradisi turun-temurun di Semarang yang sarat makna dan nilai budaya, kini dihadapkan pada arus modernisasi yang kian deras. Di satu sisi, tradisi ini perlu dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur. Di sisi lain pula, modernisasi tak terelakkan dan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kita bisa menyeimbangkan keduanya?
Perpaduan Budaya dan Religi
Dugderan merupakan tradisi menyambut bulan Ramadan di Semarang yang telah berlangsung sejak abad ke-15. Tradisi ini diawali dengan penabuhan beduk raksasa "Ki Ageng Putu" dan "Ki Baluwarti" di Masjid Agung Semarang. Dilanjutkan dengan pawai ancak, gunungan hasil bumi, dan berbagai kesenian tradisional.
Proses penabuhan beduk raksasa ini diawali dengan arak-arakan dari halaman Balai Kota Semarang menuju Masjid Agung Semarang. Kedua beduk ini diarak oleh puluhan orang dan diiringi oleh berbagai kesenian tradisional. Sesampainya di Masjid Agung Semarang, kedua beduk ini kemudian ditabuh oleh para pemuka agama dan pejabat setempat.
"Tradisi ini merupakan perpaduan antara budaya dan agama yang menjadi ciri khas Kota Semarang dalam menyambut bulan suci Ramadhan." H. Muhyidin, Ketua Takmir Masjid Agung Semarang. Tradisi yang menjadi daya tarik bagi wisatawan dan menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Semarang.
ADVERTISEMENT
Puncak acara dimeriahkan dengan "warak ngendog", sebuah replika naga raksasa yang diarak keliling kota sebagai simbol akulturasi budaya Jawa, Islam, dan Tionghoa yang ada di Semarang. Arak-arakan warak ngendog ini menjadi simbol persatuan dan kesatuan masyarakat Semarang. Hal ini terlihat dari bentuk warak ngendog yang menggabungkan unsur-unsur dari ketiga budaya tersebut. Kepala naga melambangkan budaya Tionghoa, badan naga melambangkan budaya Islam, dan telur yang dibawa naga melambangkan budaya Jawa.
Kebersamaan dan Rasa Syukur
Lebih dari sekadar tradisi, Dugderan mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan. Pertama, yaitu kebersamaan. Tradisi ini menjadi momen bagi masyarakat Semarang untuk berkumpul, bersilaturahmi, dan merayakan datangnya bulan Ramadan. Terlihat dari semangat masyarakat dalam berpartisipasi. Masyarakat saling bahu-membahu mempersiapkan dan memeriahkan acara. Kedua, yaitu rasa syukur. Pawai ancak dan gunungan hasil bumi merupakan bentuk rasa syukur atas limpahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, yaitu toleransi. Perpaduan budaya Jawa, Islam, dan Tionghoa dalam tradisi Dugderan mencerminkan nilai toleransi yang tinggi antarumat beragama.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu nilai yang dapat diambil untuk kehidupan sehari-hati juga mengacu pada nilai lainnya, seperti yang dikatakan oleh Pipit Tri Hapsari (2020) "Tradisi Dugderan merupakan perwujudan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Semarang, seperti gotong royong, kerukunan antarumat beragama, dan toleransi."
Melestarikan tradisi Dugderan berarti menjaga nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai ini penting untuk ditanamkan kepada generasi Gen Z agar mereka dapat menjadi generasi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia.
Dengan melestarikan tradisi Dugderan, kita juga dapat menjaga identitas budaya Kota Semarang. Tradisi ini merupakan warisan budaya yang berharga dan perlu dilestarikan untuk generasi selanjutnya.
Modernisasi Tantangan dan Peluang
Modernisasi membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tradisi. Di era digital ini, generasi muda lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget dan internet. Modernisasi dapat membawa dampak negatif terhadap tradisi, seperti lunturnya minat generasi muda terhadap tradisi Dugderan. Hal ini dapat dilihat dari semakin sedikitnya generasi muda yang terlibat dalam tradisi Dugderan.
ADVERTISEMENT
"Generasi muda saat ini lebih tertarik dengan budaya populer dan teknologi digital, sehingga dikhawatirkan minat mereka terhadap tradisi Dugderan akan semakin berkurang." Dwi Cahyono (2022). Namun, modernisasi juga dapat menjadi peluang untuk melestarikan tradisi Dugderan. Pemanfaatan teknologi digital, seperti media sosial dan platform online, dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan tradisi ini kepada khalayak yang lebih luas.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2023) menjelaskan bahwa “Media sosial dan platform online dapat digunakan untuk menyebarkan informasi tentang apapun itu kepada generasi muda dan masyarakat luas." Tentu hal tersebut dapat menjadi solusi untuk menunjukkan tradisi Dugderan kepada masyarakat.
Menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernisasi menjadi kunci untuk melestarikan Dugderan. Upaya edukasi dan pelibatan generasi muda dalam kegiatan tradisi perlu dilakukan. Selain itu, modernisasi dapat dimanfaatkan untuk mengemas tradisi Dugderan dengan lebih menarik dan kekinian tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Menjelajahi Tradisi Dugderan secara Virtual dengan Teknologi VR
Teknologi VR (Virtual Reality) dapat menjadi solusi inovatif untuk melestarikan tradisi Dugderan di era digital. Berdasarkan Jurnal Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer (JTIIK), Jurusan DKV Sekolah Tinggi Teknik Surabaya (2018), “Teknologi VR menghadirkan dunia digital yang imersif dan interaktif, di mana pengguna dapat merasakan sensasi berada di dalam simulasi 3D yang dibuat komputer”. Pengalaman ini dimungkinkan dengan bantuan perangkat khusus, seperti headset VR, yang memberikan ilusi visual dan bahkan sensasi fisik. VR memungkinkan masyarakat untuk merasakan pengalaman virtual tradisi Dugderan secara langsung, meskipun mereka tidak dapat hadir secara fisik di Semarang.
Dengan mengembangkan aplikasi VR yang memungkinkan pengguna untuk mengikuti tradisi Dugderan atau arak-arakan warak ngendog secara virtual. Dalam pengembangan aplikasi VR pengguna dapat merasakan sensasi berada di tengah-tengah keramaian dan melihat warak ngendog dari dekat. Aplikasi VR ini dapat dilengkapi dengan informasi tentang sejarah dan makna warak ngendog.
ADVERTISEMENT
Teknologi VR dapat memberikan pengalaman yang lebih mendalam dan interaktif bagi masyarakat untuk mempelajari dan memahami tradisi Dugderan. Pemanfaatan teknologi VR dalam tradisi Dugderan diharapkan dapat menarik minat generasi muda dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melestarikan tradisi ini.
Dengan memanfaatkan teknologi VR, diharapkan tradisi Dugderan dapat terus dilestarikan dan menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Semarang. Pengembangan aplikasi yang berbasis VR dapat menjadi salah satu pencerahan bagi ahli IT untuk menciptakam inovasi yang menarik dalam melestarikan dan menyeimbangkan antara tradisi dan modernisasi.