Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Membenarkan yang Biasa atau Membiasakan yang Benar dalam Perikanan Tangkap
2 Februari 2023 16:43 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari yhernuryadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Eksploitasi sumber daya ikan yang berlebihan di Indonesia dan seluruh dunia telah menjadi perhatian serius sekarang ini. Fisheries and Aquaculture Departement, FAO (2018) melaporkan bahwa 33,1 persen stok ikan ditangkap pada tingkat yang secara biologis tidak berkelanjutan, dan beberapa stok sumber daya ikan yang penting telah menurun karena eksploitasi berlebihan. Penangkapan ikan berlebihan (overexploited) sering terjadi ketika sumber daya ikan adalah milik bersama (common pool resource) dan akses terbuka (open access).
ADVERTISEMENT
Sumber daya ikan milik bersama sering diartikan sebagai sumber daya ikan yang tidak diakui milik pribadi. Sedangkan akses terbuka adalah situasi ketika tidak ada regulasi yang mengatur tingkat penangkapan sehingga nelayan bisa keluar dan masuk dalam kegiatan penangkapan ikan kapanpun. Penangkapan ikan yang berlebihan adalah hasil yang biasa terjadi saat milik bersama dipanen dalam kondisi akses terbuka (Conrad, 2010).
Di Indonesia banyak perairan yang menghadapi situasi seperti ini. Nelayan bebas menangkap sebanyak-banyaknya dan bebas keluar masuk dalam usaha penangkapan ikan, terutama nelayan-nelayan kecil yang menangkap ikan di dekat pantai untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak tersentuh oleh aturan penangkapan ikan (Halim, 2017).
Halim (2017) menjelaskan bahwa akses terbuka menyebabkan nelayan akan berlomba-lomba untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya (race to fish). Segala cara akan dilakukan nelayan untuk mendapatkan ikan dengan maksimal karena jika tidak nelayan lain yang akan memanfaatkannya. Jika situasi seperti ini akan berlangsung terus menerus, maka bukan tidak mungkin sumber daya ikan akan terancam dan tragedy of commons (kepunahan sumber daya laut milik bersama) akan terjadi dalam perairan kita.
ADVERTISEMENT
Managing fish resources is managing people (Mengelola sumber daya ikan adalah mengelola orang)
Selain permasalahan common pool resource dan open access, eksploitasi berlebihan juga disebabkan oleh perilaku nelayan yang cenderung memilih alat tangkap tidak ramah lingkungan atau teknologi yang canggih yang dapat menangkap lebih banyak ikan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan stok ikan.
Akpalu (2008) dan Fehr dan Leibbrandt (2011) menunjukkan bahwa time preferences (preferensi-preferensi waktu) dari para nelayan Ghana dan Brasil memainkan peranan penting dalam keberlanjutan stok ikan karena para nelayan yang memiliki preferensi waktu jangka pendek atau yang berpikiran jangka pendek (shortsighted) mengambil lebih banyak ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif, teknologi yang lebih canggih dan/atau menggunakan cara-cara illegal tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian tersebut didukung juga oleh Hernuryadin et. all (2019) yang menemukan bahwa nelayan di Indonesia lebih berpikiran jangka pendek (shortsighted) bila dibandingkan dengan petani dan penduduk kota. Perilaku tersebut dikarenakan budaya dan cara hidup sehari-hari dari nelayan yang konsumtif dan boros. Kebiasaan nelayan yang menghabiskan seluruh pendapatan yang diperoleh dikarenakan mereka berkeyakinan bahwa besok atau hari berikutnya mereka akan tetap mendapatkan income dengan pergi melaut untuk menangkap ikan (Muflikhati et al., 2010, Yasin, 2013).
Kebiasaan dan pola pikir seperti ini turut berkontribusi juga bagi penurunan stok ikan karena mereka akan cenderung untuk menangkap ikan sebanyak mungkin untuk mendapatkan pendapatan sebanyak-banyaknya meskipun dengan cara-cara illegal seperti menggunakan alat-alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya ikan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap perilaku nelayan tersebut sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sumber daya ikan.
ADVERTISEMENT
Membenarkan yang biasa
Kebiasaan nelayan yang menggunakan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan seakan menjadi hal yang biasa bagi nelayan. Banyak nelayan memodifikasi alat penangkapan ikan untuk mendapatkan hasil yang banyak tanpa memperdulikan keberlanjutan dari sumber daya ikan tersebut.
Branch et. al (2006) menggambarkan bahwa nelayan akan tetap berinvestasi untuk kapal dan tekhnologi baru selama investasi tersebut memberikan keuntungan yang banyak biarpun untuk mendapatkan keuntungan tersebut dilakukan secara illegal.
Oleh karena itu, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada keberlanjutan sumber daya ikan seperti pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine nets), pelarangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan dalam kondisi bertelur dan mengatur ukuran yang boleh ditangkap, serta pelarangan alih muatan (transshipment), banyak nelayan yang reaktif dan menolak akan kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Beragam alasan yang disampaikan oleh nelayan di antaranya bahwa (1) mereka telah menggunakan alat penangkap itu sudah sangat lama dan merupakan alat tangkap yang efektif dan tidak merusak lingkungan, (2) pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan tersebut akan mengganggu sumber penghasilan nelayan, (3) nelayan tidak mempunyai alternative penghasilan lain ketika alat penangkapan yang mereka gunakan dilarang oleh pemerintah, (4) dampak pelarangan tidak hanya berdampak pada nelayan tapi pada industri perikanan (Gumiwang, 2018, Kinamu, 2018).
Poin-poin alasan tersebut yang sering digunakan nelayan untuk menjustifikasi bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah benar meskipun itu illegal. Perilaku nelayan seperti ini merupakan gambaran perilaku nelayan yang shortsighted, sejalan dengan literatur seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian oleh Akpalu (2008), Fehr dan Leibbrandt (2011), dan Hernuryadin et. all (2019).
Membiasakan yang benar
Untuk mengatasi eksploitasi berlebihan, Conrad (2010) dalam bukunya Resource Economic menjelaskan bahwa minimal ada 6 regulasi atau kebijakan untuk menghindari penurunan stok ikan akibat eksploitasi berlebihan di bawah rezim akses terbuka. Regulasi tersebut adalah: (1) penutupan musim, (2) pelarangan alat tangkap tertentu, (3) pelarangan ukuran ikan tertentu, (4) pembatasan trip atau jumlah ikan, (5) jumlah tangkapan yang diperbolehkan, (6) pembatasan izin.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan di era Susi Pudjiastuti telah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka keberlanjutan sumber daya ikan, antara lain:
1. Kebijakan untuk pemberantasan IUU fishing, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan beberapa peraturan:
a. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
b. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (yang melarang transshipment).
2. Kebijakan dalam rangka mendukung keberlanjutan sumberdaya perikanan, terutama dalam menjamin keberadaan dan ketersedian stok Lobster, Kepiting dan Rajungan yang telah mengalami penurunan populasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster (panulirus spp), Kepiting (scylla spp) dan Rajungan (portunus pelagicus spp), yang melarang penangkapan species tersebut dalam kondisi bertelur dan mengatur ukuran yang boleh ditangkap.
ADVERTISEMENT
3. Kemudian Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dengan pertimbangan bahwa penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) telah mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan.
Nelayanlah yang paling berperan dalam keberlanjutan sumber daya ikan. Perilaku nelayan yang berpikiran jangka pendek akan cenderung eksploitatif dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang berakibat terjadinya penurunan stok sumber daya ikan secara signifikan.
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), FAO (1995) pada pasal 6.1 dan 6.2 mengamanatkan bahwa nelayan yang telah mendapatkan izin penangkapan ikan tidak serta merta dapat menangkap ikan sesuai keinginannya. Ada kewajiban melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara yang bertanggung jawab untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tindakan konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan.
ADVERTISEMENT
Sehingga pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab tersebut dapat menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jumlah yang cukup untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang, dan dapat mewujudkan ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, kerja sama pemerintah dan nelayan sangat penting dalam menentukan keberlanjutan sumber daya ikan itu sendiri. Pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan dan nelayan mematuhinya agar tujuan pengelolaan sumber daya ikan bisa tercapai secara bersama-sama. Dalam literatur disebutkan bahwa kerja sama antar pihak-pihak berkepentingan memiliki peranan penting dalam mengatasi tragedy of common (Ostrom, 1990, Husain and Bhattacaraya, 2004, dan Hilbron, 2007).
Beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk membiasakan yang benar dalam pengelolaan sumber daya ikan:
ADVERTISEMENT
(1) Pemerintah harus membuat peraturan yang menstandarkan alat-alat penangkapan yang diperbolehkan untuk dipergunakan di Indonesia dan menyatakan bahwa hanya alat-alat tersebut yang legal dipergunakan untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, selain alat-alat penangkapan ikan yang ada di peraturan tersebut dilarang dipergunakan di Indonesia.
Ini sangat penting untuk tidak memberi celah bagi nelayan dalam memodifikasi alat-alat penangkapan ikan tertentu untuk menghindari pelanggaran terhadap peraturan yang dikeluarkan, sebab selama ini ketika pemerintah mengeluarkan peraturan pelarangan alat penangkapan ikan tertentu, nelayan berusaha memodifikasi alat penangkap ikan dan berdalih kalau alat penangkap ikan tersebut tidak sama dengan spesifikasi dari alat yang dilarang, sehingga mereka bisa menyatakan alat penangkapan ikan yang mereka pergunakan adalah legal;
ADVERTISEMENT
(2) Penegakan hukum terhadap aturan-aturan yang sudah dikeluarkan harus ditegakan dengan adil serta didukung juga oleh sarana dan prasarana pengawasan yang memadai;
(3) Pentingnya peranan pemerintah dalam membentuk perilaku nelayan untuk berpikiran jangka panjang melalui program training, edukasi ataupun kebijakan yang memperkenalkan budaya “cultivating and growing” untuk stok sumber daya ikan terutama dalam mendukung konservasi jangka panjang bagi keberlanjutan perikanan dan kehidupan nelayan itu sendiri.
Sedangkan untuk nelayan yang perlu dilakukan dalam membiasakan yang benar dalam pengelolaan sumber daya ikan: (1) Nelayan ikut berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya ikan untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan amanat Pasal 3 Undang-undang No 30 tahun 2004 karena terlalu panjang tangan pemerintah untuk bisa mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan sumber daya ikan. (2) Nelayan selalu mendukung dan mentaati akan kebijakan dan peraturan-peraturan tentang keberlanjutan sumber daya ikan yang dikeluarkan pemerintah. (3) Nelayan menyampaikan data yang benar yang akan membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan yang benar.
ADVERTISEMENT
Membiasakan yang benar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah kunci bagi keberlanjutan sumberdaya ikan, sedangkan membenarkan yang biasa dalam penangkapan ikan dengan cara-cara illegal akan membahayakan keberlanjutan sumberdaya ikan.