Konten dari Pengguna

Privilege ASN: Antara Istimewa dan Salah Guna

Yunita Soraya Oktariani
Mahasiswi jurusan Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
29 Desember 2020 18:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yunita Soraya Oktariani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mobil Dinas yang Digunakan untuk Mudik. Sumber Foto : ANTARA/Noveradika
zoom-in-whitePerbesar
Mobil Dinas yang Digunakan untuk Mudik. Sumber Foto : ANTARA/Noveradika

Pelanggaran Kode Etik terhadap Penyalahgunaan Wewenang atau Privilege ASN

ADVERTISEMENT
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN, ASN merupakan profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) yang bekerja pada instansi pemerintah. ASN yang profesional diharuskan untuk tidak hanya memiliki kompetensi, namun juga melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik. Dengan perwujudan sikap dan kepatuhan seseorang terhadap kode etik, maka akan mencerminkan profesionalisme seorang pegawai ASN. Dalam hal ini, telah diberlakukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 untuk membuat peraturan internal mengenai kode etik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 mengenai disiplin PNS, telah dijelaskan di dalam pasal 4 mengenai beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh seorang pegawai pemerintah, salah satunya adalah penyalahgunaan wewenang dimana ketika dijelaskan lebih lanjut pasal demi pasal, yang dimaksud penyalahgunaan ini, yaitu:
Terdapat beberapa wewenang atau yang dapat disebut juga sebagai privilege (hak istimewa) yang dimiliki oleh seorang ASN, diantaranya seperti hak untuk mengetahui informasi rahasia ataupun menggunakan fasilitas lembaga negara. Fasilitas yang dimaksud ini dapat berupa transportasi ataupun penyediaan tempat tinggal. Perlu diketahui, bahwa fasilitas ini merupakan aset atau barang milik negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Aset milik negara ini dikelola dengan melaksanakan beberapa asas dimana salah satunya adalah asas efisiensi, yakni pengelolaan barang diarahkan agar dapat digunakan sesuai dengan batasan atau standar yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas pemerintahan secara optimal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa privilege penggunaan fasilitas oleh ASN ini memiliki tujuan untuk mempermudah dan menunjang berbagai kegiatan atau tugas yang dilaksanakannya demi negara.
ADVERTISEMENT
Namun faktanya, banyak ditemukan di lapangan bahwa masih terdapat pelanggaran kode etik dengan penyalahgunaan privilege untuk kepentingan pribadi. Salah satunya penggunaan fasilitas mobil dinas untuk pergi mudik ataupun pergi rekreasi ke tempat wisata. Pelanggaran ini masih banyak dilakukan oleh ASN, padahal sebenarnya telah terdapat larangan dan sanksi yang jelas apabila ditemukan adanya tindakan penyalahgunaan tersebut.
Pada tahun 2013, Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri saat itu menegaskan, bahwa penggunaan mobil dinas untuk mudik artinya penyalahgunaan privilege. Hal ini sesuai dengan aturan yang telah diatur pada Peraturan Mendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah dan PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah dimana dijelaskan bahwa “Kendaraan dinas hanya boleh digunakan untuk keperluan dinas.” Artinya, ketika di luar jam dinas, maka fasilitas tersebut tidak dapat digunakan dan dapat dikatakan bahwa pemakaian tersebut adalah pemakaian untuk kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Lalu saat tahun 2019, KPK juga telah memberikan peringatan melalui edaran surat himbauan bahwa ASN dilarang menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi, yaitu saat libur panjang dan juga mudik lebaran (Humas Kementerian PANRB, 2019).

Implementasi Manajemen Etika Terhadap Kode Etik Aparatur Sipil Negara

Dalam penerapan nilai-nilai dan kode etik yang dimiliki oleh seorang ASN, perlu diiringi dengan adanya manajemen etika khususnya pada sektor publik. Manajemen etika sendiri memiliki pengertian sebagai alat ataupun fungsi manajerial untuk mewujudkan tata kelola perusahaan atau tata kelola dalam administrasi publik dengan mempelajari perilaku karyawan. Terdapat dua pendekatan dari manajemen etika, yaitu compliance approach (pendekatan kepatuhan) dan integrity approach (pendekatan integritas).
Compliance approach merupakan pendekatan yang menekankan pentingnya kontrol eksternal pada perilaku pegawai negeri. Hal ini juga berarti bahwa pendekatan ini memiliki tujuan agar seorang pegawai dapat memilih dua situasi terbatas, yaitu mengikuti aturan yang telah ditetapkan atau melanggar aturan yang tentunya akan dikenakan sanksi. Instrumen dari pendekatan ini, yaitu seperti peraturan, kode etik, mekanisme kontrol yang ekstensif, dan lembaga kontrol dengan kewenangan yang luas telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Terdapat pula sistem pengawasan penerapan kode etik yang diperankan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk memastikan seluruh pegawai dalam instansi pemerintah bertindak sesuai dengan nilai yang terkandung dalam kode etik dan pedoman perilaku organisasi. Terjadinya penyalahgunaan privilege yang dilakukan oleh ASN merupakan salah satu kasus dimana adanya situasi yang membuat seseorang harus memilih mengikuti atau melanggar suatu aturan. Namun, pendekatan ini belum dapat dikatakan efektif dalam mencegah terjadinya pelanggaran apabila seorang ASN tetap memilih untuk melanggar aturan meskipun telah terdapat landasan hukum yang mengatur dengan jelas mengenai larangan ataupun kode etik ASN. Salah satu hal yang dapat menjadi penyebabnya adalah pengawasan penerapan terhadap kode etik masih belum optimal sehingga sanksi juga tidak dapat diterapkan maupun dijalankan sehingga ASN pun tidak mendapatkan efek jera setelah melanggar aturan.
ADVERTISEMENT
Data statistik pengelolaan pelanggaran merupakan salah satu unsur untuk mengetahui upaya pengawasan penerapan kode etik. Berdasarkan hasil data yang diolah KASN tahun 2018 oleh Bidang Pengkajian dan Pengembangan; Bidang Monitoring dan Evaluasi, sebagian besar sistem pengelolaan pelanggaran masih dilakukan secara offline atau secara manual dibandingkan dengan online yang dapat lebih efektif dan juga akurat. Pada lingkungan kementerian, tercatat masih ada sebesar 66,7 persen menggunakan sistem offline, 11,1 persen pengelolaan secara manual, dan baru sebanyak 22,2 persen yang menggunakan sistem online. Hal yang sama juga terjadi pada Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dimana masih terdapat 12,5 persen dan di lingkungan pemerintah provinsi hanya 8,8 persen yang sudah menggunakan sistem online untuk pengelolaan pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika pengelolaan pelanggaran sudah dilakukan secara efektif, maka akan sangat berguna untuk ketersediaan informasi detail mengenai track record pegawai ASN yang melakukan pelanggaran. Hal ini pun memicu seorang ASN untuk menghindari terjadinya pelanggaran tersebut yang akan merugikan dirinya sendiri. Sehingga, dari data statistik pengelolaan pelanggaran bisa dimanfaatkan untuk memastikan bahwa setiap ASN yang akan menduduki posisi tertentu, bukanlah ASN yang pernah melakukan pelanggaran berat, terutama dalam etika dan perilaku.
Pendekatan manajemen etika kedua, yaitu integrity approach merupakan pendekatan yang berfokus terhadap kontrol-kontrol diri atau internal yang dilakukan oleh masing-masing individu. Dalam hal ini, seorang ASN memiliki keharusan untuk dapat menanamkan nilai-nilai ataupun kode etik dalam diri sendiri sehingga dapat menumbuhkan integritas dalam diri dan dapat memiliki kontrol untuk tidak melakukan pelanggaran.
ADVERTISEMENT
Untuk menanamkan nilai kode etik kepada ASN, dapat dilakukan dengan sosialisasi dan internalisasi. Tetapi, hingga tahun 2018 berdasarkan data yang diolah KASN oleh Bidang Pengkajian dan Pengembangan; Bidang Monitoring dan Evaluasi, pada tingkat pusat, hanya terdapat 12 dari 26 kementerian yang sudah melaksanakan sosialisasi. Sementara, di tingkat provinsi, hanya terdapat 8 dari 23 pemerintah provinsi, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, terdapat 12 dari 71 kabupaten/kota yang telah melakukan sosialisasi mengenai peraturan kode etik dan kode perilaku. Untuk internalisasi, jumlah instansi pemerintah yang telah melakukan hal tersebut baru dilakukan di tingkat pusat sebesar 46 persen dan tingkat provinsi sebesar 12 persen. Bahkan pada tingkat kabupaten/kota, belum satupun instansi pemerintah yang melakukan internalisasi.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi tersebut maka tidak heran jika masih banyak terjadi pelanggaran karena peraturan yang telah dibuat belum diketahui sepenuhnya apalagi dipahami oleh para pegawai di lingkungan internal instansi pemerintah. Untuk itu, integrity approach masih belum dapat dikatakan efektif karena kurangnya elemen pendukung seperti sosialisasi dan internalisasi kepada ASN sehingga penanaman nilai-nilai ataupun kode etik ke dalam diri sendiri masih belum dapat dilakukan secara maksimal.

Pembentukan Instrumen Etika dalam Organisasi

Dalam pelaksanaanya, kode etik yang disusun oleh instansi pemerintahan terdiri dari aturan mengenai larangan terhadap ASN dalam bertindak. Hasilnya, para oknum ASN yang “nakal” akan mencari celah hukum atau yang biasa disebut dengan loopholes agar dapat melanggar kode etik yang telah ditetapkan. Hal seperti ini dapat merugikan negara apabila kerap dilakukan terus menerus. Dalam implementasinya, aturan mengenai sanksi dari pelanggaran ini telah diatur dengan baik. Sanksi yang diberikan kepada oknum pelanggar pun dibagi menjadi dua kategori, yaitu sanksi administrasi dan juga sanksi pidana. Sanksi administrasi dibuat dengan sasaran penerapannya adalah pelanggaran perbuatannya sedangkan sanksi pidana dibuat dengan ditujukan kepada oknum terkait.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan PP No 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, disebutkan bahwa setiap kerugian negara maupun daerah yang disebabkan oleh kelalaian ataupun penyalahgunaan atas pengelolaan barang milik negara maupun daerah akan dituntut ganti rugi dan bagi oknum pelakunya dapat dituntut sanksi pidana. Selanjutnya, Tuntutan Ganti Rugi (TGR) akan dijatuhkan kepada setiap ASN yang melakukan perbuatan melanggar hukum atau perbuatan melalaikan kewajiban atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsi atau status jabatannya, sehingga perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian bagi daerah.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juga membahas dalam pasal 3, yakni:
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa terdapat beberapa privilege yang dimiliki oleh seorang ASN dan dapat berupa transportasi ataupun penyediaan tempat tinggal yang bertujuan untuk mempermudah dan menunjang berbagai kegiatan atau tugas yang dilaksanakannya demi negara. Namun faktanya, masih terdapat penyalahgunaan yang dilatarbelakangi kurangnya rasa kesadaran para ASN untuk dapat menggunakan fasilitas dengan baik dan sesuai kegunaannya. Meskipun telah terdapat sanksi mengenai pelanggaran privilege ASN, namun apabila pengawasan masih dapat dibilang lemah, maka beberapa oknum pun dapat mengandalkan loopholes dalam aturan kode etik untuk digunakan dengan tujuan menguntungkan diri pribadi.