Konten dari Pengguna

Cinderella Complex: Manja atau Sindrom?

Yodha Ardell Ahmad
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
16 November 2021 13:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yodha Ardell Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernah gak anda melihat seorang perempuan yang manja dan selalu ingin diperhatikan oleh pasangannya? Ternyata, hal seperti ini bisa dipandang melalui kacamata psikologi, lho. Cinderella Complex merupakan kecenderungan perempuan untuk terus tergantung secara psikis dengan adanya keinginan kuat untuk dirawat dan dilindungi oleh orang lain, dalam hal ini terutama laki-laki.
Sumber : Pixabay
Tapi tahukah anda bagaimana ketergantungan seperti ini bisa muncul?
ADVERTISEMENT
Dari zaman tradisional hingga abad modern ini, perempuan selalu diposisikan sebagai second sex dengan segala stereotip tentang perempuan seperti lemah, ketergantungan, dan keterbatasan. Dalam segi emosi, perempuan juga mendapat label makhluk yang emosional, halus, lemah lembut dan tidak tegas. Stereotip seperti ini dianggap “negatif” oleh beberapa kelompok karena dianggap mengekerdilkan kaum wanita.
Dalam kurun waktu yang lama, akhirnya stereotip tersebut dipandang sebagai kodrat Tuhan, di mana perempuan dididik, diasuh, dan dibesarkan sudah dalam kondisi sebagai makhluk lemah dan perlu didampingi. Kebiasaan seperti ini dalam kurun waktu yang lama memunculkan sebuah ketergantungan yang ditunjukkan dengan ketakutan akan kemandirian ini disebut oleh Dowling sebagai Cinderella Complex (Anggriany, 2002).
Kenapa disebut Cinderella Complex? Cerita Cinderella merupakan dongeng tradisional dari berbagai penjuru dunia, menceritakan tentang gadis cantik dan baik hati yang tinggal bersama ibu tiri dan kedua saudara tirinya. Cinderella mengalami berbagai kekangan dan penyiksaan oleh keluarga tirinya dan kehidupannya menjadi bahagia ketika bertemu seorang pangeran yang menemukan sepatu kaca miliknya. Dari cerita ini akhirnya dijadikan oleh Dowling (Zain, 2016) sebagai acuan nama dengan memberikan istilah Cinderella Complex. Di sini, Dowling juga menjelaskan bahwa sindrom ini biasanya menyerang gadis-gadis remaja yang kerap kali membuat mereka resah untuk melanjutkan pendidikan dan pada akhirnya mempercepat mereka untuk memasuki pernikahan usia muda (Auliasari, 2018). Lebih jauh lagi, perempuan pada akhirnya akan mempunyai sikap mendua terhadap sebuah kekuasaan karena takut dilucuti berbagai citra feminim yang dianggap benar oleh masyarakat selama ini (Wolf dalam Anggriany, 2002).
ADVERTISEMENT
Lalu kemungkinan buruk lainnya apa? Perempuan akan berkemungkinan untuk menyerah setiap kali mendapatkan sebuah masalah. Dia akan mengharapkan sebuah perlindungan dari laki-laki. Inilah yang menyebabkannya sulit untuk menjadi mandiri dan tidak berani menghadapi masalahnya sendiri.
Tapi, apa penyebab sindrom yang kompleks ini? Ada beberapa hal, salah satu dan yang terpenting adalah karena pola asuh. Ya, karena didikan. Ini terjadi karena anak perempuan belajar untuk meniru perilaku yang dilakukan oleh ibu mereka atau sesuatu yang mereka jadikan contoh. Hal ini sejalan dengan teori psikoanalitik bahwa anak berusia 4-5 tahun akan mengalami proses identifikasi dengan orang tua mereka yang berjenis kelamin sama (Hurlock dalam Fauzan, 2021). Atau bisa juga karena memanjakan anak perempuannya tanpa memberikan kesempatan untuk belajar sendiri dalam menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sindrom ini juga terjadi karena konsep diri yang negatif. Mungkin anda tahu tentang insecure, kan? Insecure ini termasuk salah satu faktor dalam memandang diri sendiri secara negatif, sehingga akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya dan merasa bahwa dirinya tidak cukup berharga dibandingkan orang lain. Semakin positif konsep diri, maka semakin rendah tingkat kecenderungan Cinderella Complex, pun sebaliknya semakin negatif konsep diri maka akan semakin tinggi tingkat kecenderungan Cinderella Complex (Fauzan, 2021).
Lalu, apa saja ciri-ciri atau dampak dari mengidap sindrom ini?
1. Rendahnya harga diri
Ini karena sulit untuk berusaha mandiri dan kecenderungan untuk bergantung pada orang lain, pengidap akan merasa bahwa dirinya adalah sosok yang membebani orang lain dan akan berakhir pada kecemasan, perasaan lemah dan tidak mampu.
ADVERTISEMENT
2. Menghindari masalah, tantangan dan kompetisi
Karena kebiasaan yang jarang menghadapi masalah sendiri, pengidap akan mengalami masalah emosional seperti takut salah, merasa tidak enak dengan orang lain, kurang optimis dan lain-lain.
3. Mengharapkan pengarahan dari orang lain
Karena kurangnya kemandirian, maka pengidap sindrom ini akan mengharapkan bantuan dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. Ini dikarenakan dia takut menyelesaikan sendiri dan ingin selalu mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang lain.
Sebagaimana Cinderella yang menunggu dengan diam seorang pangeran yang akan membebaskannya dari penderitaan, sindrom ini membawa seseorang terus menanti sesuatu dari luar dirinya untuk merawat, melindungi dan mengubah hidupnya. Orang yang terkena sindrom ini menjadi kehilangan kapasitas untuk bekerja produktif, orisinil, penuh semangat dan penuh komitmen. Perempuan menjadi takut untuk mengambil kesempatan maju dan sukses karena stereotipe sejak kecil. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Handaani dan Novianto (dalam Fauzan, 2021), bahwa keyakinan yang tumbuh dalam konsep diri perempuan mengenai ciri-ciri sifat yang distereotipkan untuk mengakibatkan perempuan tergantung dan tidak kompeten.
ADVERTISEMENT
Kompleks, ya? Lalu bagaimana mengatasi sindrom ini? Nah, proses pemberian bantuan bisa dilakukan dengan 3 langkah, yaitu:
1. Menghilangkan pernyataan diri negatif
Ini dapat membantu seseorang yakin dengan dirinya sendiri dan menjadi lebih berani atas segala tindakan yang dia perbuat.
2. Melatih kemantapan diri (self estem, confidence)
Setelah melewati tahap pertama dengan menghilangkan poin negatif, memunculkan poin positif adalah hal penting. Poin ini mencakup rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri dan menerima dirinya lebih baik lagi.
3. Memulai untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat atau dengan orang lain
Tidak perlu dalam lingkup luas, cukup dalam lingkup keluarga dengan melatih diri sebagai pribadi yang bisa memberi, dalam kepedulian atau bantuan. Ini bisa meningkatkan skema (pandangan) terhadap diri sendiri agar menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa perlu dipahami bahwa didikan sejak kecil adalah faktor urgensi dalam tumbuh kembang seseorang. Dalam teori psikoanalitik yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa manusia mengambil contoh dari orang terdekatnya (keluarga) sebagai bentukan karakter dasar pada usia 4-5 tahun. Maka pada usia ini perlu untuk ditanamkan nilai moral dan kepribadian positif lain karena akan menjadi landasan berbagai perkembangan sifat selanjutnya.
Referensi :
Auliasari, D. (2018). Kecenderungan Cinderella Complex Pada Remaja Putri Yang Mengalami Broken Home. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(2).
Zain, T. S. (2016). Cinderella complex dalam perspektif psikologi perkembangan sosial emosi. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(1), 92-98.
Anggriany, N. (2002). Hubungan Antara Pola Asuh Berwawasan Gender Dengan Cinderella Complex.
ADVERTISEMENT
Fauzan, M. A. (2021). Analisis dan Penanganan Perilaku Kecenderungan Cinderella Complex. Indonesian Journal of School Counseling: Theory, Application, and Development, 1(1), 41-54.