Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
5 Ramadhan 1446 HRabu, 05 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perpisahan Atau Perceraian Yang Mempengaruhi Kondisi Mental Anak
4 Maret 2025 9:37 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari yofina azaila s tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak yang berperan penting dalam memberikan dukungan baik secara mental maupun fisik dalam kehidupannya. Melalui interaksi dalam keluarga, anak tidak hanya mengenal dirinya sendiri dan orang tuanya, tetapi juga mulai memahami kehidupan sosial dan lingkungan sekitarnya. Sebagai pendidik utama, orang tua memiliki tanggung jawab dalam membentuk dasar kepribadian anak, yang akan berpengaruh sepanjang hidupnya. Keluarga juga menjadi lingkungan utama yang bertugas mendidik anak dengan memberikan fondasi bagi proses pembelajaran, sosialisasi, serta kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebagai kelompok pertama (primary group), keluarga menjadi tempat utama dalam membangun dasar kepribadian anak. Peran orang tua sangat penting dalam membentuk pola interaksi yang erat dan berlangsung lama, ditandai dengan rasa loyalitas, kasih sayang, serta hubungan yang penuh cinta. Salah satu tanggung jawab orang tua adalah memperhatikan kesehatan mental anak. Secara umum, keluarga dianggap sebagai sumber utama pendidikan moral bagi anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai pendidik pertama dalam membentuk moralitas anak, karena mereka memiliki pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan moralnya. Berbeda dengan lingkungan sekolah di mana guru dapat berganti setiap tahun, anak-anak tetap memiliki setidaknya satu orang tua yang selalu membimbing dan mengarahkan mereka di luar sekolah (Hasanah, 2017).
ADVERTISEMENT
Perceraian merupakan akhir dari ikatan pernikahan yang ditetapkan berdasarkan hukum atau agama (talak) akibat hilangnya ketertarikan, kepercayaan, serta kecocokan antara suami dan istri, yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Menurut penelitian Priyana (2011), psikologi mempelajari perubahan kepribadian seseorang yang berhubungan dengan kondisi mental, baik dalam keadaan normal maupun abnormal, serta mencakup berbagai aspek seperti sikap, karakter, temperamen, rasionalitas, stabilitas emosi, dan interaksi sosial. Dari sudut pandang psikologis, anak yang mengalami perceraian orang tua berisiko mengalami gangguan dalam perkembangan jiwanya.
Dampak Perceraian terhadap Mental Anak
1. Kemarahannya yang Terkadang Muncul
Perasaan marah bisa dialami oleh anak di segala usia, namun lebih sering dirasakan oleh anak-anak di usia sekolah dan remaja. Hal ini bisa terjadi karena mereka merasa dunia mereka berubah dan berbeda dari sebelumnya. Selain itu, anak-anak dengan pemahaman terbatas seringkali tidak dapat memahami situasi yang mereka alami atau bagaimana cara menghadapinya. Marah dapat muncul saat anak merasa diabaikan atau kehilangan kontrol. Kadang-kadang, mereka bahkan merasa marah pada diri sendiri, terutama jika mereka merasa penyebab perceraian orangtua.
ADVERTISEMENT
2. Menghindar dari Lingkungan Sosial
Anak-anak yang sebelumnya aktif bergaul dengan teman-temannya bisa tiba-tiba menjadi pendiam atau cemas akibat perceraian orangtua. Mereka mungkin merasa tertekan dengan perasaan dan pikiran yang muncul setelah perpisahan orangtua. Beberapa anak juga menarik diri karena merasa rendah diri, takut berinteraksi dengan orang lain, atau menghindari kontak fisik.
3. Penurunan Prestasi Akademik
Perceraian orangtua bisa mempengaruhi kinerja akademik anak, yang bisa terlihat dalam penurunan nilai mereka di sekolah, terutama pada anak usia 13-18 tahun. Anak mungkin merasa diabaikan atau tertekan, atau bahkan terjebak dalam depresi akibat masalah orangtua. Jika kondisi ini berlanjut, bisa berpengaruh negatif terhadap ketertarikan anak dalam belajar atau pendidikan.
4. Kecemasan Akibat Perpisahan
ADVERTISEMENT
Anak-anak yang lebih muda cenderung merasa cemas akibat perpisahan, yang bisa terlihat dengan sering menangis atau menjadi lebih manja. Anak-anak berusia 6-9 tahun sering menunjukkan kecemasan ini dan sering bertanya mengenai keberadaan orangtua yang sudah bercerai.
5. Penurunan Perkembangan Anak
Anak-anak berusia 18 bulan hingga 6 tahun bisa mengalami penurunan kemampuan, seperti kembali menjadi manja, mengompol, mengisap jempol, atau marah (tantrum), yang bisa menunjukkan stres akibat perceraian orangtua.
6. Perubahan dalam Pola Makan dan Tidur
Meskipun tidak sepenuhnya jelas apakah perceraian dapat menyebabkan penurunan berat badan, beberapa anak justru mengalami peningkatan berat badan setelah perceraian, terutama jika terjadi sebelum usia 6 tahun. Selain itu, gangguan tidur yang muncul akibat kecemasan bisa menyebabkan peningkatan berat badan pada anak-anak yang orangtuanya bercerai.
ADVERTISEMENT
7. Memihak Salah Satu Orangtua
Sebagai akibat perceraian, anak bisa merasa cemas berada di antara kedua orangtuanya yang menginginkan hak asuh. Memaksa anak untuk tidak memihak bisa berbahaya bagi kesejahteraan emosional mereka, yang terkadang terlihat dengan sakit perut atau kepala. Seiring berjalannya waktu, anak cenderung berpihak pada salah satu orangtua, terutama jika komunikasi dengan orangtua menjadi kurang.
8. Depresi
Kehilangan atau kekecewaan akibat perceraian bisa meningkatkan risiko depresi pada anak, terutama pada usia 11 tahun ke atas. Penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rentan mengalami depresi, bahkan berisiko melakukan percobaan bunuh diri.
9. Gangguan Perilaku
Anak-anak dengan orangtua yang bercerai lebih rentan mengalami masalah perilaku, seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, atau perilaku agresif. Penelitian menunjukkan bahwa remaja perempuan tanpa figur ayah cenderung lebih awal terlibat dalam hubungan seksual.
ADVERTISEMENT
10. Kesulitan dalam Menjalin Hubungan
Perceraian orangtua dapat meningkatkan risiko anak mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh pandangan anak terhadap komitmen yang berubah setelah melihat perceraian orangtua. Mereka mungkin percaya bahwa keluarga bisa terbentuk tanpa pernikahan.
11. Menjadi Lebih Posesif
Anak-anak yang mengalami perceraian orangtua bisa menjadi lebih posesif dalam hubungan sosial, baik dengan teman atau pasangan, karena mereka merasa kekurangan kasih sayang emosional. Mereka juga cenderung lebih cemburu terhadap orang di sekitarnya.
12. Kesulitan Mempercayai Orang Lain
Studi menunjukkan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai akan lebih sulit untuk mempercayai orang lain dan sering merasa dibohongi. Hal ini membuat mereka kesulitan dalam menjalin hubungan baru di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa broken home berdampak besar pada mental, sikap, dan perilaku anak. Anak dari keluarga yang tidak harmonis cenderung menjadi tertutup, takut berkeluarga, dan sulit bersosialisasi. Hal ini dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga, orang tua yang toxic, dan lingkungan keluarga yang tidak stabil. Gangguan mental akibat broken home sulit diatasi, karena selain membutuhkan dukungan dari luar, anak juga harus melawan trauma dan ketakutannya sendiri.
Oleh karena itu, anak-anak dari keluarga broken home perlu mendapat perhatian khusus, termasuk kasih sayang, bimbingan, serta konseling untuk mendukung pemulihan mental mereka. Untuk mencegah dampak buruk ini, keluarga harus membangun hubungan yang hangat dan harmonis agar anak merasa aman dan berkembang dengan baik. Meski broken home dapat menyebabkan perubahan emosi dan mental, kondisi ini tidak permanen jika anak mendapatkan dukungan yang tepat. Selain itu, pasangan suami istri sebaiknya mengevaluasi hubungan mereka dengan baik agar perceraian yang berdampak buruk pada anak dapat dihindari.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Hasanah, Uswatun. “PENGARUH PERCERAIAN ORANGTUA BAGI PSIKOLOGIS ANAK.” AGENDA: Jurnal Analisis Gender dan Agama2, no. 1 (March 18, 2020): 18. https://doi.org/10.31958/agenda.v2i1.1983.
Ramadhani, Putri Erika, and Hetty Krisnani. “ANALISIS DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP ANAK REMAJA.” Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial2, no. 1 (August 12, 2019): 109. https://doi.org/10.24198/focus.v2i1.23126.
https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sniis/article/view/132/118
https://youtu.be/O9U2-uoyze0?si=e8tLa7pWpdCnU61-
https://hellosehat.com/parenting/anak-6-sampai-9-tahun/perkembangan-anak/dampak-perceraian-terhadap-anak/
Yofina Azaila Syakina, Mahasiswi Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi USK.