Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Di Jerman sana, Bayern Muenchen bukan hanya sekadar klub sepak bola. Lebih dari itu, mereka adalah institusi yang seringkali menentukan baik-buruknya prestasi persepakbolaan Jerman secara keseluruhan. Bukan sekali-dua kali saja prestasi apik Bayern kemudian mampu diikuti oleh Tim Nasional Jerman di ajang antarnegara.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, hanya orang-orang terpilih saja yang bisa berurusan langsung dengan Bayern. Entah itu pemain, pelatih, sampai dokter tim, semua harus yang terbaik. Penunjukan Carlo Ancelotti untuk menggantikan Josep Guardiola adalah bukti bahwa Bayern memang tak pernah puas.
Guardiola datang ke Bayern dengan reputasi sebagai pelatih terbaik sejagat raya. Dunia dia taklukkan bersama Barcelona. Tak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Atas dasar itulah Bayern memilih Guardiola. Toh, mereka punya pemain-pemain berkualitas yang sekiranya takkan kebingungan diberi instruksi njelimet ala Guardiola.
Namun, Guardiola tak mampu menjawab tantangan yang diberikan manajemen. Untuk klub sekelas Bayern yang notabene tak punya pesaing di level domestik, Liga Champions jelas jadi ukuran kesuksesan. Guardiola, meski berhasil meraih trofi itu dua kali bersama Barcelona, gagal di Bayern. Manajemen pun akhirnya melepas Guardiola dan mendatangkan spesialis Liga Champions lain, Ancelotti.
ADVERTISEMENT
Untuk perkara taktik, Ancelotti memang tidak semenarik Guardiola. Memulai karier kepelatihan sejak Guardiola masih menendang bola, Ancelotti adalah pelatih yang lebih suka beradaptasi ketimbang berinovasi. Pemain mana pun yang ada di bawah komandonya bisa diutilisasi dengan baik.
Ketika Don Carletto menjadi jawara Eropa bersama Milan, klub Kota Mode tersebut diberkahi talenta-talenta dahsyat macam Andrea Pirlo, Clarence Seedorf, Manuel Rui Costa, Ricardo Kaka, dan Andriy Shevchenko. Selain bisa mengakomodasi talenta-talenta itu menjadi satu kesatuan yang kompak, komplit, dan mematikan, dia juga bisa membuat pemain-pemain seperti Christian Brocchi atau Massimo Ambrosini berperan sesuai kapasitasnya.
Gaya manajemen itu, disebut oleh Ancelotti sendiri dalam buku karyanya, Quiet Leadership: Winning Hearts, Minds and Matches, sebagai "kepemimpinan dalam diam". Baginya, memimpin itu sederhana. Ketika seorang pemimpin sudah bisa membuat anak-anak buahnya nyaman, hasil pasti akan tercapai dengan sendirinya. Terlebih kalau anak-anak buah yang dipimpin adalah atlet profesional yang hampir pasti punya ego selangit.
ADVERTISEMENT
Rivaldo, misalnya, ketika masih menjadi bintang lapangan dulu, sering menyebut dirinya dengan sudut pandang orang ketiga. Kemudian, Zlatan Ibrahimovic pun berhasil dia tundukkan. Khusus untuk kasus Ibra, Carlo Ancelotti memang sering membiarkan ego sang bintang meluap-luap. Syaratnya, tim harus menang. Sabar sekali Ancelotti ini.
Untuk mencapai kenyamanan itu, Ancelotti menyulap klub menjadi sebuah keluarga. Milan yang dipimpinnya selama delapan tahun (2001-2009), selain diingat sebagai tim berprestasi, juga diingat sebagai tim dengan kedekatan antarpemain yang sukar ditandingi. Ancelotti memang beruntung ketika itu lantaran memiliki senatori berpengaruh seperti Paolo Maldini, Alessandro Nesta, dan Alessandro Costacurta. Sementara itu, di Paris Saint-Germain, Ancelotti meminta klub untuk membangun restoran supaya para pemain bisa berkumpul dalam suasana kekeluargaan setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya sabar menghadapi pemain, Ancelotti juga sabar dalam menghadapi bos-bosnya. Menjadi anak buah cukong-cukong eksentrik seperti Silvio Berlusconi dan Florentino Perez memang tidak mudah. Sebagus apapun permainan, pasti ada saja kekurangan yang akan mereka tunjukkan. Bagi Ancelotti, kunci dalam menghadapi orang-orang seperti ini adalah kesabaran dan kerendahan hati. Terdengar klise memang, tetapi demikianlah adanya. Dua gelar Liga Champions Ancelotti sebagai pelatih pun dia dapatkan ketika membesut Milan dan Real Madrid.
Di Bayern, Ancelotti pun menghadapi itu semua. Mulai dari pemain bintang dengan ego sebesar semesta seperti Franck Ribery sampai bos yang usil seperti Karl-Heinz Rummenigge dan Uli Hoeness. Sejauh ini, Bayern masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dominan di Jerman dan disegani di Eropa. Terlepas dari kekalahan 2-3 melawan Rostov di fase grup Liga Champions, tidak ada masalah berarti di klub ini.
ADVERTISEMENT
Saat ini, di Bundesliga 1 Jerman, Bayern duduk di peringkat pertama dengan 49 poin hasil dari 20 kali bermain. 45 gol sudah mereka sarangkan dan baru ada 12 gol yang mereka derita. Itu artinya, Bayern adalah tim terproduktif sekaligus paling kuat dalam bertahan.
Sementara itu, di Liga Champions mereka masih saja kesulitan saat berhadapan dengan Atletico Madrid dan entah mengapa bisa kalah dari Rostov. Meski begitu, secara umum Bayern masih sangat ditakuti.
Walau mengakhiri fase grup sebagai runner-up, Bayern tetap lebih diunggulkan dalam laga melawan Arsenal, Kamis (16/2/2017) dini hari WIB nanti. Selain karena rekor yang selama ini lebih memihak Bayern, inkonsistensi serta buruknya mental pemenang Arsenal menjadi alasan lain.
ADVERTISEMENT
Bersama Die Roten, Ancelotti masih setia dengan formasi 4-3-3 yang sudah dipakai sejak era Guardiola. Namun, Bayern-nya Ancelotti tidaklah se-ribet Bayern-nya Guardiola. Jika Guardiola adalah sosok perfeksionis yang sulit berkompromi, Ancelotti justru memberi lebih banyak kebebasan pada para pemainnya. Hal itu diakui oleh salah satu bintang Bayern, Arjen Robben.
"Bersama Guardiola, 24 jam sehari itu isinya sepak bola terus," kata Robben kepada harian Belanda, Nos. Meski mengaku tidak keberatan karena banyak yang bisa dipelajari, Robben mengaku bahwa kebebasan yang diberi Ancelotti tak membuat performa tim menurun.
Seperti ketika dia masih bermain dulu, pembawaan Ancelotti memang selalu tenang. Mirip sekali dengan Philipp Lahm, sang kapten. Mantan perokok satu ini datang ke Bayern tanpa harus membuktikan apa pun. Malah, Bayern-lah yang meminta tolong kepada Don Carletto. Walau secara kasatmata tidak sensasional, tim asuhan Ancelotti selalu menghanyutkan. Tahu-tahu saja menang. Hal itu terlihat dari bagaimana Real Madrid asuhannya bisa meraih La Decima alias gelar Liga Champions kesepuluh. Mereka tidak (terlalu) dijagokan, tetapi merekalah yang tersenyum di ujung jalan.
ADVERTISEMENT