Menanti Kelahiran Kembali Michael Essien

29 Maret 2017 12:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Michael Essien di Chelsea (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Michael Essien di Chelsea (Foto: Reuters)
Lebih dari seperempat abad; 34 tahun tepatnya. Itulah jarak waktu antara album penuh pertama Descendents, Milo Goes to College, dengan album teranyar mereka, Hypercaffium Spazzinate, yang dirilis pertengahan tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Namun, meski ada jarak sekian yang membentang di antara dua album itu, rasanya baru beberapa tahun lalu Milo Aukerman, sang vokalis, "pamit untuk pergi kuliah". Setidaknya begitulah anggapan para fans unit punk rock asal California itu.
Masih segar di ingatan mereka bagaimana Descendents meletakkan dasar-dasar bagi subgenre pop-punk untuk pertama kalinya. Lalu, ketika tahun lalu Milo yang sudah beruban bersama tiga rekan-rekan lainnya yang juga telah mencapai paruh baya kembali meluncurkan album, para fans tertegun.
"Sialan," umpat mereka dalam hati. Ternyata, 34 tahun telah berlalu dan tanpa mereka sadari, rambut mereka pun sudah seputih rambut Milo Aukerman.
Descendents, pada dasarnya, memang tidak pernah mengalami penurunan kualitas sama sekali. Meski hanya punya tiga album dalam 20 tahun terakhir, Descendents selalu segar di ingatan para fansnya. Tak hanya fans veteran, band yang kini bernaung di bawah Epitaph Records ini juga terus mampu menjaring fans-fans yang lebih muda. Dengan kata lain, Descendents abadi.
ADVERTISEMENT
***
Keabadian Descendents itu tidak dimiliki oleh Michael Essien. Jika para fans masih ingat betul bagaimana Milo Aukerman pergi kuliah hingga akhirnya lulus dan menjadi ahli biokimia, nama Michael Essien seperti terkubur oleh nama-nama baru yang terus bermunculan.
Rasanya sudah seperti seumur hidup sejak Essien terakhir kali mengenakan seragam biru-biru milik Chelsea. Rasanya sudah terlalu lama sejak Essien menggetarkan gawang Victor Valdes lewat sepakan voli kaki kirinya yang spektakuler. Rasanya, Michael Essien adalah pemain dari era yang sudah lama lewat.
Kenyataannya tentu tidak begitu. Gol Essien ke gawang Barcelona di semifinal Liga Champions itu terjadi pada tahun 2009 silam. Kemudian, Essien pun baru benar-benar meninggalkan Chelsea tiga tahun silam. Jelas belum terlalu lama untuk bisa disebut seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Namun, karier Essien sebagai pemain top dunia praktis berakhir pada musim 2011/12 lalu. Cedera meniskus lutut yang dideritanya membuat Essien tak lagi terpakai di Chelsea. Dia pun ditarik ke Real Madrid oleh mantan bosnya, Jose Mourinho, pada musim berikut dengan status pinjaman.
Walau kontribusinya tidak buruk-buruk amat, Mourinho memutuskan untuk tidak mempermanenkan pemain bertinggi 178 cm tersebut. Chelsea pun kemudian melepas Essien ke Milan pada pertengahan musim 2013/14. Lalu, setelah kontraknya di Milan habis pada musim panas 2015, Essien pun berlabuh ke Panathinaikos.
Banyak yang mengira karier Essien bakal habis di Yunani. Selain karena cedera kambuhan, usia pun telah menggerogoti kemampuan sosok yang kini berusia 34 tahun tersebut. Di Panathinaikos, Essien tidak terpakai. Selama semusim, dia hanya bermain sebanyak 13 kali walau statusnya adalah pemain dengan bayaran termahal. Karena inilah, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk menghentikan kerjasama pada musim panas 2016 lalu.
ADVERTISEMENT
***
Michael Essien lahir dan besar di ibu kota Ghana, Accra. Tak seperti pesepak bola kebanyakan, dia baru bergabung dengan sebuah klub setelah lulus Sekolah Menengah Atas di Cape Coast pada tahun 1998.
Dasarnya memang berbakat, di Liberty Professionals, sebuah klub lokal di Accra, dia langsung mampu tampil impresif. Panggilan pun datang dari Tim Nasional Ghana untuk memperkuat tim U-17 mereka berlaga di Piala Dunia 1999. Essien pun akhirnya unjuk gigi di ajang tersebut dan tawaran menggiurkan dari Manchester United pun datang.
Mudah bagi United untuk menggoda Essien muda. Selain fakta bahwa mereka adalah klub terbaik Inggris pada dekade 1990-an, Essien sendiri merupakan penggemar berat Roy Keane. Namun, ketika kedua pihak sudah hampir sepakat, ibu Essien, Aba Gyandoh, mengintervensi.
ADVERTISEMENT
Daripada dibuang dulu ke Antwerp karena tidak bisa mendapatkan izin kerja di Manchester United, kata Aba, lebih baik Essien langsung ke Bastia yang memang menyediakan kesempatan lebih besar. Dan benar. Essien yang dikenal sebagai anak penurut ini memilih untuk berlabuh ke Prancis.
Di Prancis inilah kariernya melejit. Setelah sempat kesulitan pada musim pertama di Bastia, Essien akhirnya mampu memikat Olympique Lyonnais pada musim ketiga bersama Bastia. Akhirnya, bersama Lyon, Essien menjelma menjadi salah satu pemain terbaik di dunia, hingga kemudian, Chelsea datang meminangnya.
Michael Essien, bersama Frank Lampard dan Claude Makelele, membentuk identitas sepak bola ala Jose Mourinho di tanah Inggris. Mereka bertiga sama-sama tidak flamboyan, tetapi kuat, efisien, dan kejam. Energi Essien, efektivitas Lampard, dan kecerdasan Makelele membuat lini tengah Chelsea menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
ADVERTISEMENT
Essien sendiri merupakan pemain yang serbabisa. Selain gelandang tengah, menjadi bek kanan dan bek tengah pun pernah dilakoninya. Gabungan antara ketangguhan dan kecerdasan memang membuat Essien begitu fleksibel untuk ditugasi berbagai macam hal. Mourinho, sebagai manajer yang mendewakan dua hal itu, tak ayal menjadikan Essien sebagai salah satu pemain favoritnya.
Namun, Essien yang itu; Essien yang didewakan Mourinho itu, sudah lama lenyap. Setidaknya, kalau ukurannya liga top Eropa, Essien memang sudah terbukti sudah tidak mampu lagi bersaing.
Itulah mengapa, ketika Essien menolak tawaran dari Australia dan merapat ke Persib Bandung, walau tetap disambut dengan gegap gempita, pihak yang meragukan pun tak sedikit. Yudi Guntara, misalnya, sudah terang-terangan memperingatkan agar dia tak jemawa meski Persib bukanlah Chelsea atau Real Madrid. Cedera kambuhan Essien, menurut legenda Persib itu, menjadi alasan utama mengapa dia masih menyimpan sedikit keraguan.
ADVERTISEMENT
Michael Essien menyapa bobotoh. (Foto: Antara/Novrian Arbi)
zoom-in-whitePerbesar
Michael Essien menyapa bobotoh. (Foto: Antara/Novrian Arbi)
Namun, Michael Essien tetaplah Michael Essien. Tentu ada alasan mengapa dia bisa bertahan selama lebih satu dekade di liga-liga top Eropa. Kini, walau harus menerima sisa-sisanya saja, Persib tetap saja ketiban berkah.
Selama berkarier, Essien dikenal sebagai sosok yang sangat profesional. Dia tidak pernah membuat pers harus membuat cerita negatif tentangnya. Daripada minum-minum, kata Essien kala masih membela Lyon, dia lebih suka tidur. Dalam sehari, dia bisa tidur lebih dari delapan jam untuk memulihkan stamina. Hal-hal seperti itulah yang setidaknya bisa dan seharusnya ditularkan Essien kepada para penggawa "Maung Bandung" lainnya. Bukan soal tidur, tentunya, karena apa yang dilakukan pemain di kala senggang itu opsional, melainkan soal menghormati profesi.
ADVERTISEMENT
Essien sendiri sudah mengatakan bahwa kedatangannya ke Bandung dia harapkan bisa menjadi katalis bagi kedatangan bintang-bintang dunia lain ke Indonesia. Kini, kita dan para bobotoh Persib, khususnya, tentu mengharapkan agar Essien mampu mengeluarkan sisa-sisa kemampuan di waktu yang kian menipis. Kita pun tentunya menginginkan agar keinginan Essien menjadi katalis itu tercapai.
***
Baik musik maupun sepak bola, keduanya adalah dunia yang kejam. Punya kualitas saja tidak menjamin seseorang atau sebuah band bakal terus berada di puncak dan dikenang sebagai legenda. Lebih dari itu, ada berbagai faktor lain termasuk kekuatan mental dan keberuntungan.
Pada akhirnya, Michael Essien memang bukan Milo Aukerman dan Descendents-nya. Essien boleh jadi melegenda di negaranya, tetapi di kancah dunia, dia bahkan tidak seabadi Claude Makelele dan Frank Lampard. Jika mereka berdua boleh diibaratkan Descendents yang selalu segar dan abadi di ingatan, maka Essien adalah Sum 41. Sekali berarti, kemudian mati, lalu berusaha untuk hidup lagi.
ADVERTISEMENT