Predrag Mijatovic dan Memori Final Liga Champions 1998

30 Mei 2017 5:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Mijatovic, pahlawan Real Madrid tahun 1998. (Foto: UEFA)
zoom-in-whitePerbesar
Mijatovic, pahlawan Real Madrid tahun 1998. (Foto: UEFA)
"Juventus adalah tim yang layak ditakuti. Mereka punya pertahanan dan serangan yang bagus, tetapi di final Liga Champions, mereka adalah pecundang." - Predrag Mijatovic
ADVERTISEMENT
20 Mei 1998, di Amsterdam ArenA, pasukan hitam-putih Marcello Lippi melakoni laga final Liga Champions untuk ketiga kalinya secara beruntun. Tahun 1996, mereka keluar sebagai juara. Tahun berikutnya, mereka dikejutkan oleh Borussia Dortmund, dan di tahun 1998, Juventus punya kesempatan untuk menebus kekalahan musim sebelumnya sekaligus membawa pulang "Si Kuping Besar" untuk ketiga kalinya.
Asa Juventus memang membumbung tinggi kala itu. Tiga final dalam tiga tahun, untuk ukuran siapa pun, klub mana pun, adalah sebuah capaian yang hebat. Pasalnya, Liga Champions bukan kompetisi biasa. Lebih dari itu, ia adalah sebuah klub elite tempat anak-anak tampan dan kaya bercengkrama sembari menertawakan mereka yang semenjana.
Real Madrid, lawan mereka kala itu, adalah bocah paling tampan dan paling kaya di grup itu. Meski sudah lebih dari 30 tahun tak pernah jadi yang terbaik, mereka tetap tim paling dihormati di sana. Pasalnya, mereka punya modal historis paling cemerlang. Sampai tahun itu, sudah ada enam replika piala yang berjajar di lemari trofi mereka.
ADVERTISEMENT
Walau begitu, Juventus tetap datang sebagai tim yang lebih diunggulkan kala itu. Selain karena ini adalah final ketiga mereka dalam tiga tahun terakhir, "Si Nyonya Tua" datang ke Amsterdam sebagai jawara Italia. Real Madrid, sementara itu, harus mengakui keunggulan Barcelona di ajang La Liga.
Sebenarnya, dari segi kualitas pemain, kedua tim sama kuat. Juventus yang mengandalkan para penghuni Tim Nasional Italia seperti Angelo Peruzzi, Mark Iuliano, Angelo Di Livio, Alessandro Del Piero, dan Filippo Inzaghi disokong oleh bintang-bintang asing macam Paolo Montero, Didier Deschamps, Edgar Davids, dan Zinedine Zidane.
Dari kubu Real Madrid, situasinya pun mirip. Mereka punya Manuel Sanchis, Fernando Hierro, Raul Gonzalez, dan Fernando Morientes yang diandalkan "Tim Matador". Untuk menyokong mereka, ada nama-nama tenar lain seperti Bodo Illgner, Christian Panucci, Roberto Carlos, Fernando Redondo, Clarence Seedorf, dan Predrag Mijatovic.
ADVERTISEMENT
Dipimpin wasit Hellmut Krug dari Jerman, pertandingan dimulai pukul 20.45 waktu setempat. Juventus dengan formasi 3-5-2, Real Madrid dengan formasi 4-3-1-2.
Deschamps (kanan) dan Raul tahun 1996. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Deschamps (kanan) dan Raul tahun 1996. (Foto: Wikimedia Commons)
Sejak awal, laga ini berlangsung berimbang dan menarik. Dengan pemain-pemain hebat yang mereka miliki, baik Juventus maupun Real Madrid terus saling menyerang. Setelah Juventus mengancam lewat Didier Deschamps, gantian Real Madrid yang membahayakan gawang Peruzzi lewat sepakan mendatar Raul. Meski begitu, laga babak pertama berakhir dengan skor kacamata.
Babak kedua pun berjalan seru. Dengan tempo sedang, kedua tim silih berganti melancarkan serangan. Juventus punya satu peluang bagus lewat Pippo Inzaghi yang sayangnya berhasil ditip Illgner ke belakang gawang.
Ketika pertandingan memasuki menit ke-66, Christian Panucci mengirim sebuah umpan silang ke kotak penalti Juventus. Bola kiriman Panucci itu sebenarnya tidak berbahaya. Namun, dari sisi yang berlawanan masuklah Roberto Carlos.
ADVERTISEMENT
Bek kiri asal Brasil itu berusaha untuk melakukan tendangan keras yang menjadi ciri khasnya. Upaya Carlos gagal setelah bola tendangannya diblok Iuliano. Namun, justru di sinilah bencana bagi Juventus terjadi.
Bola liar hasil blok Iuliano itu justru nyasar ke sosok pemain bernomor punggung 8 berkostum putih. Dengan kaki kirinya yang lincah, dia melingkari Peruzzi yang berusaha menerjang. Montero yang seharusnya mengawal dirinya pun terlambat bereaksi. Dengan sebuah tendangan yang tidak terlalu keras, si pemain ini mencetak gol tunggal kemenangan Real Madrid ke gawang kosong.
Pemain ini adalah Predrag Mijatovic.
Dibandingkan dengan Raul Gonzalez, nama Mijatovic memang tidak ada apa-apanya. Akan tetapi, dalam kurun waktu tersebut, penyerang asal Yugoslavia itu adalah salah satu yang paling ditakuti di Eropa.
ADVERTISEMENT
Posturnya tidak terlalu besar. Tingginya yang 178 cm itu tergolong biasa saja, bahkan kecil, untuk ukuran Eropa. Akan tetapi, seperti yang telah dia buktikan di laga final Liga Champions 1998, Pedja -- sapaan akrabnya -- punya kaki-kaki yang lincah dan mematikan.
Mijatovic diangkut Real Madrid dari Valencia pada tahun 1996. Rekam jejaknya di Spanyol kala itu begitu apik. 104 kali membela Los Ches, 56 gol berhasil dicetaknya. Jika satu dari dua klub terbesar Spanyol kepincut, ya, wajar saja.
Meski keberhasilan Mijatovic membawa El Real mengakhiri puasa gelar Liga Champions itu dilakukan di bawah arahan Jupp Heynckes, Fabio Capello-lah yang memboyong pria 48 tahun ini dari Mestalla. Sayang, walau berhasil membawa Real Madrid juara Supercoppa de Espana dan La Liga, Capello diberhentikan pada akhir musim. Alasannya adalah Capello tidak bisa membawa Real Madrid tampil atraktif dan untuk mencapai tujuan itu, Heynckes yang dikenal sebagai pelatih dengan sepak bola agresif pun ditunjuk.
ADVERTISEMENT
Tiga tahun di Real Madrid, Mijatovic kemudian hijrah ke Fiorentina. Namun, ketika dia menjejakkan kaki di Firenze, Mijatovic ternyata sudah habis. Selama tiga tahun, hanya empat gol yang bisa disumbangkan mantan bintang Partizan ini. Pada 2002, dia pun kembali ke Spanyol untuk memperkuat Levante sebelum pensiun dari sepak bola profesional pada 2004.
Bersama Tim Nasional Yugoslavia, Mijatovic pun punya karier menterang. Dari 73 kali tampil, dia mencetak 27 gol. Penampilan di Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 pun menjadi ganjaran atas kontribusi apik sang penyerang.
Jelang final 4 Juni 2017 mendatang di Cardiff, Mijatovic sudah menyatakan dukungan pada mantan klubnya. Pernyataan itu, meski pedas di kuping para Juventini, sebenarnya mengandung kenyataan tak terbantahkan. Pasalnya, Juventus memang merupakan tim paling buruk rekornya ketika sudah berlaga di final Liga Champions atau dulu, Piala Eropa. Delapan kali berlaga, Juventus hanya mampu menang dua kali. Satu dari enam kekalahan itu mereka derita berkat aksi Mijatovic.
ADVERTISEMENT
Akankah Juventus mampu mengusir citra buruk ini di final kesembilan nanti? Atau akankah prediksi Mijatovic menjadi kenyataan nantinya? Kita tunggu.