Qarabag FK: Prajurit Berkuda dari Kota Hantu

12 September 2017 16:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Qarabag FK (Foto: Reuters via Scanpix Denmark)
zoom-in-whitePerbesar
Qarabag FK (Foto: Reuters via Scanpix Denmark)
ADVERTISEMENT
"Aneh sekali rasanya," kata Mushfig Huseynov, "Bagaimana kamu bisa begitu cepat terbiasa dengan peperangan."
ADVERTISEMENT
Huseynov, 47 tahun, tidak sembarangan bicara. 24 tahun silam, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana perang meluluhlantakkan kampung halamannya. Lahir dan besar di Agdam, dia harus angkat kaki dari sana setelah gempuran misil tentara Armenia menyulap kota itu menjadi kota hantu. Kota yang, oleh orang-orang, disebut sebagai Hiroshima dari Kaukasus.
Agdam adalah sebuah kota yang terletak di wilayah Nagorno-Karabakh, atau Artsakh, kata penduduk setempat. Wilayah tersebut saat ini sudah berubah menjadi sebuah negara yang eksistensinya tidak diakui oleh dunia internasional. Secara de jure, ia masih merupakan bagian dari Azerbaijan, tetapi secara de facto, Nagorno-Karabakh dikontrol oleh orang-orang beretnis Armenia.
Semua berawal dari keinginan orang-orang ini untuk melepaskan diri dari Azerbaijan menyusul runtuhnya Uni Soviet. Alasannya, mayoritas penduduk wilayah ini memang merupakan orang etnis Armenia. Hanya saja, secara geografis, Nagorno-Karabakh memang terkurung di dalam batas wilayah Azerbaijan.
ADVERTISEMENT
Keinginan orang-orang Nagorno-Karabakh untuk memisahkan diri ini mendapat sambutan hangat dari Armenia. Bagi Armenia sendiri, wilayah ini secara historis memang merupakan bagian dari Kerajaan Armenia dan bukti sejarah memang mengatakan demikian.
Apa yang terjadi antara Armenia dan Azerbajian ini sebenarnya bukan yang pertama kali. Pada tahun 1920, setelah Kekaisaran Turki Usmani runtuh, Armenia dan Azerbaijan yang menjadi negara merdeka sempat pula berperang untuk memperebutkan wilayah ini. Namun, itu semua berakhir ketika Uni Soviet datang dan mengambil alih kekuasaan di sana.
Di situ, Uni Soviet kemudian membentuk oblast—semacam otonomi daerah—bernama Nagorno-Karabakh Autonomous Oblast (NKAO). NKAO inilah yang pada tahun 1988—dengan sokongan Armenia—mulai mengampanyekan dan pada 1991 akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan dari Azerbaijan.
ADVERTISEMENT
Enam tahun lamanya konflik ini berlangsung dan secara teknis, ia tidak pernah berakhir. Pada 1994, Rusia bertindak sebagai penengah dan hanya berhasil memaksa Armenia dan Azerbaijan untuk melakukan gencatan senjata.
Kota Agdam yang tak berpenghuni. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Kota Agdam yang tak berpenghuni. (Foto: Wikimedia Commons)
Meski begitu, Nagorno-Karabakh sampai saat ini tidak pernah betul-betul kembali ke Azerbaijan. Dari Stepanakert, kota yang dijadikan "ibu kota" oleh orang-orang etnis Armenia, mereka mengontrol wilayah ini dan terutama, terus mengawasi Agdam meski kota itu sudah tak lagi berpenghuni.
Agdam sejak masa perang memang merupakan momok bagi pasukan Armenia dan separatis Nagorno-Karabakh. Pasalnya, kota ini dulunya merupakan basis militer Azerbaijan yang cukup kuat, mengingat lokasinya yang memang berbatasan langsung dengan Azerbaijan. Bahkan, pada akhirnya kota ini dibumihanguskan juga karena alasan itu.
ADVERTISEMENT
Memasuki musim panas 1993, perang semakin menghebat dan Agdam digunakan oleh Azerbaijan sebagai basis pertahanan untuk melindungi wilayah-wilayah yang berada di tepian. Namun, pasukan Armenia mengira bahwa Azerbaijan kala itu sudah menyiapkan serangan skala besar dari kota itu.
Alhasil, sebelum diserang, Armenia pun lebih dulu bergerak dengan membombardir kota tersebut tanpa ampun. Juli 1993, Agdam yang usianya tidak sampai tiga abad itu tinggal nama. Jatuhnya Agdam itu merupakan kunci dari kemenangan Armenia pada peperangan itu karena pada bulan Mei 1994, ketika Protokol Bishkek—yang merupakan perjanjian gencatan senjata—ditandatangani, Azerbaijan yang awalnya didukung Uni Soviet itu praktis sudah tak punya kuasa lagi di Nagorno-Karabakh.
---
Puing-puing Museum Roti Agdam. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Puing-puing Museum Roti Agdam. (Foto: Wikimedia Commons)
Sepuluh hari setelah Agdam jatuh, Qarabag FK memenangi laga penentuan musim 1992/93 melawan Khazar Sumgayit dengan skor tipis 1-0. Meski tidak meyakinkan, kemenangan itu sudah cukup untuk mengantarkan Qarabag menjadi juara Liga Azerbaijan edisi kedua.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak ada perayaan sama sekali kala itu. Setelah bertanding, para pemain Qarabag, termasuk di antaranya Mushfig Huseynov yang mengakhiri musim sebagai top skorer liga, segera pulang ke rumah masing-masing untuk mencari anggota keluarganya. Mereka berharap bahwa keluarga mereka termasuk di antara lebih dari satu juta orang yang kehilangan tempat tinggal dan bukan termasuk di dalam daftar 30 ribu orang yang kehilangan nyawa.
Huseynov tidak kehilangan anggota keluarga. Akan tetapi, perang tersebut merenggut nyawa mantan pelatihnya di Qarabag, Allahverdi Bagirov. Pada tahun 1992, Bagirov yang mulai ikut berperang sejak 1988 itu meninggal dunia akibat terkena ranjau anti-tank.
Milisi Nagorno-Karabakh. (Foto: Reuters/Vahan Stepanyan)
zoom-in-whitePerbesar
Milisi Nagorno-Karabakh. (Foto: Reuters/Vahan Stepanyan)
Wafatnya Bagirov itu tak hanya diratapi oleh orang-orang Azerbaijan. Ketika kabar itu muncul, seorang perwira tinggi tentara Armenia menelepon untuk mengonfirmasi kabar tersebut. Setelah mendapat konfirmasi, reaksi sang perwira itu sangat mengejutkan. Dia berkata, "Bagaimana bisa kalian membiarkan orang sepertinya meninggal begitu saja?"
ADVERTISEMENT
Bagirov meninggal dalam perjalanan pulang menunju Agdam dan setelah itu, pria kelahiran 1946 itu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Azerbaijan.
Selain kehilangan Bagirov, Huseynov—dan Qarabag, tentunya—,juga kehilangan rumah mereka, Stadion Imarat. Selama masa perang, stadion ini sempat dua kali dihantam rudal Armenia.
Beruntung, ketika rudal itu menghantam, tidak sedang ada pertandingan yang digelar di sana. Namun, menurut kesaksian Shahid Kasamov kepada Independent, kapten Qarabag kala itu, "Sebelum sebuah laga tahun 1992, lapangan di stadion kami berlubang akibat terkena bom. Kami pun kemudian harus mengisinya dengan tanah supaya kami bisa bermain."
Tentara Armenia di Nagorno-Karabakh. (Foto: Dok. Azerbaijan Embassy)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Armenia di Nagorno-Karabakh. (Foto: Dok. Azerbaijan Embassy)
Kini, Stadion Imarat pun tinggal puing-puing. Meski begitu, di lokasi ini masih kerap terlihat patroli penembak jitu pasukan Armenia yang berjaga. Bagi mereka, Agdam memang masih menakutkan karena sampai saat ini pun masih kerap terjadi duel-duel kecil yang menimbulkan korban tewas.
ADVERTISEMENT
Luluh lantaknya Agdam itu kemudian membuat Qarabag juga harus mengungsi. Beruntung, pemerintah Azerbaijan mau menampung mereka di ibu kota.
Akan tetapi, menjadi tim musafir memang tidak mudah. Jika selama bermarkas di Imarat—yang berkapasitas 10 ribu penonton itu—pertandingan-pertandingan mereka bisa disaksikan sampai 15 ribu orang, tidak demikian dengan saat mereka berada di Baku.
Sampai tahun 2009 lalu ketika Qarabag akhirnya pindah untuk sementara ke Guzanli Olympic Stadium, mereka bermain di Stadion Tofiq Bahramov yang berkapasitas 31.200 penonton. Namun, mengingat di Baku masih ada klub-klub seperti Inter Baku dan Neftchi Baku, Qarabag pun kesulitan mendapat massa. Seringkali, mereka harus mengirim bus-bus ke kamp pengungsian untuk mengangkut suporter mereka yang juga kehilangan rumah.
ADVERTISEMENT
Suporter Qarabag di Kopenhagen. (Foto: Reuters via Scanpix Denmark)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Qarabag di Kopenhagen. (Foto: Reuters via Scanpix Denmark)
Hal itu kemudian membuat prestasi mereka terus melorot dan akhirnya, krisis keuangan pun melanda. Sejak tahun 1998, kantong mereka megap-megap dan pada 2001, Qarabag pun berada di ambang kebangkrutan.
Di sinilah kemudian peruntungan Qarabag berubah. Adalah sosok Heydar Aliyev, mantan presiden Azerbaijan yang juga ayah dari presiden mereka saat ini, Ilham, yang kemudian datang sebagai penyelamat.
Sebenarnya, Heydar Aliyev bukan orang yang secara langsung menyelamatkan Qarabag, tetapi atas perintahnyalah klub berjuluk The Horsemen itu akhirnya mampu bertahan. Ketika itu, dia memerintahkan sebuah konglomerasi bernama Azersun untuk menyediakan dana demi menghapus utang Qarabag.
Azersun sendiri merupakan sebuah perusahaan induk yang bergerak di banyak bidang, mulai dari produksi makanan, retail, sampai pertanian. Perusahaan ini dipimpin oleh dua bersaudara keturunan Iran, Abdolbari dan Hasan Goozal.
ADVERTISEMENT
Heydar Aliyev bersama Bill Clinton. (Foto: Dok. Keluarga Aliyev)
zoom-in-whitePerbesar
Heydar Aliyev bersama Bill Clinton. (Foto: Dok. Keluarga Aliyev)
Langkah Aliyev untuk menyelamatkan Qarabag ini tentu saja merupakan sebuah langkah politis. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Qarabag—Kharabakh dalam logat Azerbaijan—masih merupakan milik Azerbaijan.
Qarabag pun kemudian selamat. Awalnya, sampai tahun 2003 mereka berlaga dengan menggunakan nama Azersun-Qarabag. Namun sesudah itu, nama Azersun ditanggalkan dan hanya berperan sebagai perusahaan penyokong di belakang.
Puncak kontribusi Azersun ini adalah ketika mereka mulai membangun kandang Qarabag yang sekarang, Azersun Arena, pada 2014. Setahun kemudian, stadion berkapasitas 5.800 penonton ini resmi menjadi markas The Horsemen untuk laga-laga domestik. Ketika itu, sampai saat ini, Qarabag sudah menjadi kekuatan absolut di persepakbolaan Azerbaijan, terbukti dengan empat gelar liga berturut-turut sejak 2013/14 dan tiga gelar Piala Azerbaijan beruntun sejak 2014/15.
ADVERTISEMENT
Meski berhasil, imbas dari relasi Qarabag, Azersun, dan pemerintah Azerbaijan ini menuai kritikan keras dari pihak Armenia. Menurut mereka, Qarabag—seperti halnya wilayah Nagorno-Karabakh—tidak seharusnya menjadi milik Azerbaijan. Selain dari pihak Armenia, anggota oposisi di Azerbaijan pun menilai ini merupakan sebuah pembohongan publik karena mereka tahu bahwa Azersun dan pemerintah Azerbaijan (baca: Ilham Aliyev) adalah mitra kolusi.
Qarabag saat menyingkirkan Kobenhavn. (Foto: Reuters via Scanpix Denmark)
zoom-in-whitePerbesar
Qarabag saat menyingkirkan Kobenhavn. (Foto: Reuters via Scanpix Denmark)
Namun, bagi orang-orang Agdam yang kehilangan tempat tinggal, Qarabag adalah simbol harapan. Dari puing-puing kota, ternyata masih ada sesuatu yang mereka banggakan. Terlebih, setelah selama ini hanya berkutat di Piala UEFA/Liga Europa dan Piala Intertoto, Qarabag kini telah berhasil menjejakkan kaki di kompetisi antarklub paling mewah sejagat.
Lalu, bagi Mushfig Huseynov, keberhasilan Qarabag ini juga memiliki arti mendalam. Meski dia sempat membela empat klub selain Qarabag, top skorer klub sepanjang masa ini kemudian menutup karier di klub kota kelahirannya itu pada 2007 silam. Lalu, pada tahun 2008, dia pun langsung terjun ke dunia kepelatihan dengan menjabat sebagai asisten pelatih hingga kini.
ADVERTISEMENT
Rabu (13/9) dini hari WIB nanti, Qarabag akan menjalani tes perdana mereka di Liga Champions. Pada debut ini, mereka sudah harus berhadapan dengan Chelsea yang merupakan salah satu mantan juara. Selain itu, di Grup C tempat mereka berada, juga terdapat dua klub raksasa lain, Atletico Madrid dan Roma.
Qarabag sendiri tahu bahwa di hadapan tiga jagoan itu, mereka bukan siapa-siapa. Akan tetapi, mereka sudah sampai di tempat yang bahkan, lima tahun lalu belum berani mereka impikan. Setelah selama ini hanya mampu mencuri perhatian dengan konflik dan kontroversi, biarlah Stamford Bridge nanti jadi saksi bagaimana kaki-kaki "Para Prajurit Berkuda" itu berbicara.