Untuk Kasus Rasialisme, Ultras Lazio Memang Penjahat Kambuhan

4 Oktober 2017 14:42 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lazio tetap identik dengan fasisme. (Foto: Reuters/Stefano Rellandini)
zoom-in-whitePerbesar
Lazio tetap identik dengan fasisme. (Foto: Reuters/Stefano Rellandini)
ADVERTISEMENT
Di tahun keduanya sebagai pesepak bola profesional, agak tidak adil ketika nama Claud Adjapong justru mencuat karena alasan yang salah. Meski performa Sassuolo di awal musim ini sedang jeblok, bagi Adjapong, saat ini dia sedang mengalami masa-masa yang cukup menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kini di bawah asuhan Christian Bucchi, Adjapong berhasil menggusur Federico Peluso dari tim inti. Dengan formasi 3-1-4-2 yang diusung sang allenatore, Adjapong dimainkan sebagai wing-back kiri. Tak hanya itu, pada awal September lalu, dia juga untuk pertama kalinya dipanggil untuk memperkuat Tim Nasional Italia U-21.
Meski berkulit hitam dan tidak punya nama Italia, Claud Adjapong adalah orang Italia. Dia lahir dan besar di Modena. Kini, dia pun sudah berhasil menembus tim utama Sassuolo setelah sebelumnya menuntut ilmu di akademi milik Neroverdi. Seharusnya, ini adalah momen di mana Adjapong mencuat sebagai salah satu bocah ajaib yang diperbincangkan karena potensinya, alih-alih karena dirinya menjadi korban aksi rasialisme suporter Lazio.
Sassuolo kalah 1-6 di Stadio Olimpico pada Minggu (1/10/2017) lalu. Bagi Lazio, kemenangan itu seharusnya menjadi bukti betapa impresifnya mereka musim ini. Namun, para suporter yang seharusnya ikut merayakan kehebatan Biancocelesti justru menjadi pihak yang merusak pesta.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan investigasi, pihak Serie A kemudian secara resmi menyatakan bahwa "2.000 dari 5.449 suporter di Curva Nord terbukti bersalah telah meneriakkan yel-yel yang berbau diskriminasi rasial". Selain Adjapong, satu pemain Sassuolo lain yang jadi target adalah Alfred Duncan. Sama seperti Adjapong, Duncan pun punya darah Ghana.
Lazio kemudian dijatuhi hukuman. Pada laga melawan Cagliari dan Udinese nanti, Curva Nord akan ditutup. Gli Aquilotti dihukum dua pertandingan karena sebelumnya, pada Derby della Capitale musim lalu, para suporternya juga sudah terbukti bersalah melakukan tindakan rasialis.
Sebelum hukuman Serie A ini jatuh, UEFA juga sudah menjatuhkan hukuman kepada Lazio. Pertandingan melawan Zulte Waregem di Olimpico tanggal 28 September lalu juga harus dilakoni tanpa penonton karena para Laziali juga meneriakkan yel-yel berbau rasial saat bertandang ke markas Sparta Praha dua musim lalu.
ADVERTISEMENT
Memang Penjahat Kambuhan
Para ultras Lazio memang merupakan penjahat kambuhan ketika kita bicara soal aksi rasialisme. Sudah tak terhitung berapa kali mereka dijatuhi hukuman. Namun, efek jera yang diharapkan tak kunjung datang.
Bicara soal tindak-tanduk suporter Lazio ini tentu kita tidak bisa tidak membicarakan sejarah Lazio sebagai sebuah klub. Awalnya memang tidak ada spirit fasis apa pun dari klub ini. Meski didirikan oleh sejumlah perwira tentara, ketika didirikan dulu, Italia belum jatuh ke tangan rezim fasis. Pada tahun 1900, ketika Lazio didirikan, Italia masih merupakan sebuah kerajaan.
Hanya saja, Lazio memang kemudian mengambil langkah yang di kemudian hari juga diambil oleh rezim fasis Benito Mussolini: mengadopsi elang sebagai simbol klub. Awalnya pun ini sama sekali bukan langkah berbahaya. Mereka yang mendirikan Lazio memang punya obsesi dengan kejayaan masa lampau dan oleh karena itu, nama Lazio pun dipilih.
ADVERTISEMENT
Tifosi Lazio dengan spanduk elang fasis. (Foto: AFP/Andrea Solaro)
zoom-in-whitePerbesar
Tifosi Lazio dengan spanduk elang fasis. (Foto: AFP/Andrea Solaro)
Nama Lazio berasal dari Latium yang merupakan nama Latin untuk daerah tempat kota Roma kini berdiri. Bahkan, kata "Latin" pun asalnya dari sini. Dari area inilah memang kebudayaan Romawi lahir hingga kemudian berkembang sebelum akhirnya mengalami kejatuhan.
Lazio kemudian menambah elang sebagai bagian dari emblem mereka untuk memperkuat citra Romawi kuno ini. Celakanya, beberapa tahun berselang, gerakan fasis di Italia pun mengambil langkah serupa. Kini, oleh para suporternya, elang ini digunakan sebagai sebuah pembenaran dari tindak-tanduk mereka yang amat kental nuansa fasismenya. Padahal, yang kerapkali mereka lupakan adalah, kejadian awalnya tidak begitu.
Akan tetapi, Lazio memang kemudian bukannya bisa bebas dari fasisme. Ketika Mussolini memerintahkan agar tiga klub di Roma—Roman, Alba-Audace, dan Fortitudo—dilebur menjadi Associazione Sportiva Roma, Lazio menolak. Namun, penolakan Lazio ini bukan merupakan bentuk perlawanan terhadap fasisme. Malah, Lazio bisa mempertahankan identitas mereka ini berkat bantuan seorang jenderal fasis bernama Giorgio Vaccaro.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, fasisme secara resmi memang bubar jalan ketika Mussolini digantung di jalanan kota Milan pada tahun 1945. Namun, seperti yang dituliskan Alan Moore dalam 'V for Vendetta', sebuah ide tidak bisa dimatikan karena ia kebal peluru. Fasisme pun demikian. Meski sudah tidak laku lagi, bukan berarti ia serta merta mati. Pada diri suporter Lazio, ide ini justru terus masih dipelihara hingga kini.
Sebenarnya, fasisme ini tidak melulu identik dengan para Laziali karena di kalangan rival mereka, Romanisti, pun ide ini juga masih hidup sampai sekarang. Pada tahun 2012 lalu, dalam lawatannya ke Roma, sejumlah suporter Tottenham Hotspur—yang identik sebagai klubnya orang Yahudi—ditikam dan diteriaki dengan yel-yel berbau anti-semit. Awalnya, ultra Lazio dituduh menjadi pelaku karena ketika itu Tottenham memang akan bertanding menghadapi Lazio. Namun, kemudian terbukti bahwa para pelaku penusukan adalah tiga orang Romanisti.
ADVERTISEMENT
Suporter Lazio dengan bendera Neo-Nazi. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
zoom-in-whitePerbesar
Suporter Lazio dengan bendera Neo-Nazi. (Foto: AFP/Gabriel Buoys)
Akan tetapi, para Laziali ini tetap lebih identik dengan fasisme itu sendiri karena mereka nyaris tidak pernah berhenti menggemakan ide ini. Contoh paling banal tentu saja terjadi pada 1998 lalu. Ketika itu, Adjapong baru berusia beberapa bulan.
Dalam sebuah laga Derby della Capitale, para Laziali membentangkan sebuah spanduk raksasa bertuliskan "Auschwitz adalah kotamu, dan oven-ovennya adalah rumahmu. Skuatmu berisi orang-orang negro, tribunmu berisi orang-orang Yahudi." Spanduk itu, tentu saja, ditujukan kepada Roma yang memiliki Cafu, Aldair, Pierre Wome, dan Paulo Sergio di skuatnya.
Lalu, pada tahun 2004, mereka kedatangan seorang pemain yang kemudian menjadi terkenal pula karena alasan yang salah: Paolo Di Canio.
Sebagai pesepak bola, Di Canio sebenarnya merupakan salah satu penyerang paling berbakat yang pernah ada di sepak bola Italia era 1990-an s/d 2000-an. Namun, orang satu ini memang tidak bisa diatur dan justru lebih kerap menuai kontroversi, seperti ketika dia mendorong wasit Paul Alcock ketika masih memperkuat Sheffield Wednesday di Premier League. Di Canio yang lahir di Roma dan besar sebagai suporter Lazio itu pun kemudian menjadi pemain kesayangan para suporter. Alasan utamanya adalah kebiasaannya memberi salam fasis ke arah Curva Nord seusai laga.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak hanya dia lakukan di Roma saja. Pernah suatu kali Lazio bertandang ke Livorno yang merupakan kota basis komunis terkuat di Italia. Di sana, Di Canio pun dengan lancangnya memberikan salam fasis kepada suporter tuan rumah yang punya ideologi bertentangan.
Salam fasis Paolo Di Canio. (Foto: AFP/Paolo Cocco)
zoom-in-whitePerbesar
Salam fasis Paolo Di Canio. (Foto: AFP/Paolo Cocco)
Tingkah polah Di Canio ini pun membuatnya menjadi pahlawan bagi para Laziali. Apalagi, pria kelahiran 1969 ini juga sudah secara terang-terangan menyebut Benito Mussolini sebagai orang yang "gagal dimengerti oleh banyak orang".
Selain itu, para ultras Lazio ini juga menjalin pertemanan dengan ultras-ultras lain yang dikenal dengan paham ekstrem kanannya. Di Italia, yang menjadi sobat kental para ultras Lazio adalah para ultras Hellas Verona. Dari sini, terlihat bahwa fasisme ini memang betul-betul dipelihara oleh para suporter Lazio dan tidak heran jika citra ini begitu kuat melekat pada diri mereka.
ADVERTISEMENT
Lalu, adakah solusi dari masalah ini?
Sayangnya, tidak ada. Setidaknya begitu dari perspektif sepak bola. Masalahnya, perkara ideologi, pemikiran, dan semacamnya ini bukanlah urusan sepak bola, melainkan masalah sosial. Sepak bola sebenarnya sudah menerapkan aturan tegas dan penutupan Curva Nord ini merupakan bukti bahwa di sepak bola, tidak ada tempat untuk ide-ide politis, apa pun itu.
Namun, di sinilah masalahnya karena mau seperti apa pun diusahakan, sepak bola takkan pernah lepas dari politik. Sebabnya, sepak bola memang merupakan olahraga milik rakyat dan tribun pun menjadi tempat bagi rakyat untuk mengungkapkan kemarahan, keresahan, serta kegembiraan mereka. Kalaupun pihak berwenang bisa melarang ide-ide politis semacam itu disuarakan di tribun, pada akhirnya mereka tidak akan pernah bisa menghapuskan ide—apa pun itu—dari kepala khalayak.
ADVERTISEMENT