Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Jika Lionel Messi adalah malaikat, maka iblisnya adalah Cristiano Ronaldo. Semudah itu memang membedakan mereka. Yang satu adalah anak baik-baik dari Rosario, sementara sosok lainnya adalah berandalan dari Madeira.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa, membenci Cristiano Ronaldo terasa begitu mudah. Tak peduli sehebat apa dia di atas lapangan, khalayak lebih suka membicarakan arogansinya, mencemburui ketampanannya, dan mendengki atas kesuksesan serta kekayaannya.
Perjalanan seorang Cristiano Ronaldo untuk menjadi satu dari dua pesepak bola terbaik dunia memang panjang. Dari pemain sayap yang lebih sering mengeluarkan trik-trik tak berguna, dia kini menjelma menjadi salah satu pencetak gol paling mematikan sepanjang sejarah.
Meski memulai karier di akademi Sporting Clube de Portugal di Lisbon sana, Ronaldo besar dan mendunia di Manchester United. Seperti halnya David Beckham yang digantikannya, di klub berjuluk "Setan Merah" itulah Ronaldo berevolusi dari seorang pesepak bola menjadi seorang ikon.
Bicara kemampuan, Ronaldo boleh dibilang lebih baik dibanding Beckham. Jika Beckham "hanya" dikenal karena kemampuan eksekusi bola mati dan daya juangnya, maka Ronaldo (hampir) punya segalanya. Mulai dari kecepatan, kekuatan, kemampuan duel udara, sampai eksekusi bola mati, Ronaldo memilikinya. Bahkan, tak jarang pula orang menyebut dirinya sebagai purwarupa penyerang yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Tetapi, seperti yang telah ditulis di atas, orang tak pernah mau peduli akan hal itu. Persetan dengan semua kemampuan yang dia miliki, Cristiano Ronaldo, bagi para pembencinya, adalah seorang pemain manja, banyak tingkah, tukang diving, dan arogan.
Pada laga La Liga pekan ke-37 menghadapi Celta Vigo, Ronaldo tertangkap kamera sedang menuduh bek Gustavo Cabral menerima maletin. Dalam bahasa Spanyol, secara harfiah maletin berarti "koper". Dalam arti kiasan, ia berarti uang sogokan.
Tak ada bukti, memang, bahwa Cabral atau pemain-pemain Celta lainnya menerima koper berisi uang dan kalaupun memang mereka menerima sogokan, toh Real Madrid tetap menang 4-1 di laga tersebut.
Nah, alih-alih membicarakan dua gol yang dicetaknya, orang-orang lebih tertarik untuk membicarakan tuduhan Ronaldo itu. Tak heran jika sang megabintang meradang.
ADVERTISEMENT
[Baca Juga: Menyandingkan Rekor dan Gelar Real Madrid di La Liga ]
Dini hari (22/5) tadi, usai mengantarkan Real Madrid mengalahkan Malaga sekaligus menyegel gelar juara La Liga ke-33, Ronaldo pun buka suara. Kepada Marca, pria 32 tahun itu berkata, "Orang-orang banyak bicara tentang diri saya, tetapi mereka tak tahu apa-apa."
"Saya tidak pernah menonton televisi karena kalau saya melakukannya, saya jadi tak punya kehidupan, saking seringnya mereka mengata-ngatai saya, entah itu ada kaitannya dengan sepak bola maupun tidak. Menurut mereka, saya ini berandalan."
"Ketika orang berbicara tentang Cristiano (ya, dia berbicara dengan sudut pandang orang ketiga di sini --red), mereka pasti salah. Saya bukan orang suci, tetapi saya juga bukan seorang iblis," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Ronaldo benar. Dia bukan orang suci, bukan pula iblis. Semua yang dia lakukan, entah itu baik, seperti mendukung kemerdekaan Palestina, atau buruk, seperti ketika membuat Wayne Rooney diusir dari perempat final Piala Dunia, hanya membuat Ronaldo menjadi seorang manusia biasa.
Sebagai manusia, sebagai seorang atlet profesional, wajar rasanya jika Ronaldo selalu menginginkan kemenangan. Jika terkadang dia melakukan hal itu dengan cara yang tak semestinya, wajar saja. Kita memang tak perlu memberi aplaus, tetapi rasanya tak sewajarnya juga apabila kita menghujaninya dengan cercaan.
Ode untuk Zinedine Zidane
Sama seperti David Beckham yang hijrah ke Real Madrid pada 2003, Cristiano Ronaldo pun mematri status megabintang sepak bola dengan hijrah dari Manchester United ke Real Madrid enam tahun berikutnya. Di sanalah Ronaldo baru benar-benar menjadi fenomena dunia.
ADVERTISEMENT
Kebetulan, saat Ronaldo hijrah ke ibu kota Spanyol itu pula, Lionel Messi mulai membuktikan klaim bahwa dialah Diego Maradona berikutnya. Jadilah selama hampir satu dasawarsa ini dunia sepak bola dikuasai Messi dan Ronaldo. Seakan memang sudah digariskan sejak zaman azali, kedua orang ini pun bermain untuk dua tim yang telah berseteru sejak puluhan tahun silam, Barcelona dan Real Madrid.
Bermain di klub seperti Real Madrid sama sekali bukan perkara mudah. Suporter yang tak pernah puas dan presiden yang tak sabaran menjadi dua alasan yang paling kerap muncul ketika seseorang bercerita tentang betapa tidak menyenangkannya situasi di klub tersebut.
Setahun setelah Ronaldo datang, dia melihat sendiri bagaimana klub itu memperlakukan legendanya. Raul Gonzalez Blanco, pangeran yang pernah begitu dipuja itu, akhirnya ditendang karena pertama, dia sudah menua, dan kedua, Real Madrid sudah punya Ronaldo.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun kemudian, giliran pangeran lain, Iker Casillas, yang ditendang. Jose Mourinho yang ketika itu menangani Real Madrid menganggap bahwa mantan kapten Tim Nasional Spanyol itu sudah menurun. Casillas yang tak terima posisinya digantikan oleh Diego Lopez pun akhirnya dibuang ke Porto.
Melihat dua ikon ini diperlakukan demikian, Ronaldo seharusnya paham bahwa untuk bermain di Real Madrid, nama besar saja tidak cukup. Lebih dari itu, konsistensi dan tentunya, gelar, adalah hal utama di kubu Los Merengues.
Selama delapan tahun di Madrid, CR7 harus menghabiskan banyak hari-harinya untuk menerima fakta bahwa Barcelona, seteru abadi mereka, sedang berada dalam masa jaya. Tak hanya itu, tetangga mereka, Atletico Madrid, pun kemudian menjelma menjadi sebuah klub yang layak diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Tak heran jika sulit sekali mencari stabilitas di kubu Real Madrid. Dengan tekanan bertubi-tubi dari sang presiden, Florentino Perez, dan para suporter, mereka senantiasa dituntut untuk menjadi yang terbaik, tak peduli seberapa hebat Barceleona ataupun Atletico. Itulah mengapa, selama delapan tahun berlatih di Valdebebas, Ronaldo dan rekan-rekan sudah pernah ditangani oleh lima pelatih berbeda.
Nama-nama besar Manuel Pellegrini, Jose Mourinho, Carlo Ancelotti, sampai Rafael Benitez akhirnya harus rela bertekuk lutut di depan keagungan dan keangkuhan Real Madrid. Selain dengan Mourinho (lewat bantuan Rui Faria) yang sama-sama orang Portugal, Ronaldo sebagai bintang terbesar klub pun tak pernah memiliki kedekatan khusus.
[Baca Juga: Mereka, Para Letnan Kepercayaan Itu ]
Sampai akhirnya Zinedine Zidane datang pada awal tahun lalu. Di bawah sosok karismatik asal Prancis itu, Real Madrid pun seakan menemukan maginya kembali. Memainkan sepak bola yang sederhana, tetapi indah dan mematikan, selama satu setengah musim terakhir sudah ada empat trofi yang diraih El Real (1 Liga Champions, 1 Piala Super Eropa, 1 Piala Dunia Antarklub, dan 1 La Liga). Bersama Zidane, rasanya seperti begitu mudah, baik bagi Ronaldo maupun rekan-rekannya kini.
ADVERTISEMENT
Banyak sebenarnya pihak yang meragukan kehebatan Zidane sebagai seorang pelatih. Akan tetapi, mereka semua sepakat bahwa meski Zidane belum bisa membuktikan diri sebagai juru taktik nomor wahid, pria keturunan Aljazair itu adalah sosok yang sempurna untuk Real Madrid.
Ronaldo pun menunjukkan hal ini. Dalam unggahan di akun Instagram-nya usai Real Madrid merengkuh gelar juara La Liga, secara khusus dia mengucapkan terima kasih kepada Zidane. Apalagi, ini baru untuk kedua kalinya dia menjuarai liga setelah hampir satu dekade lalu bergabung.
Kata orang, it takes one to know one. Artinya, jika Ronaldo begitu menghormati Zidane, tentu ada alasan kuat di baliknya. Dan memang benar. Pasalnya, Zidane adalah salah satu pesepak bola terbaik sepanjang masa. Jangankan gelar juara kompetisi domestik atau Liga Champions, juara Piala Eropa dan Piala Dunia pun Zizou sudah pernah. Sehebat-hebatnya Ronaldo (dan Messi), dia belum bisa menyamai prestasi Zidane, khususnya bersama timnas.
ADVERTISEMENT
Melihat kedekatan dan rasa hormat yang ada di antara sang pelatih dengan bintang terbesarnya, Real Madrid tampaknya memang sudah menemukan sosok Pep Guardiola-nya. Meski Barcelona tentunya tak bisa dianggap remeh, setidaknya kini Real Madrid-lah yang berada di atas angin. Sampai kapan? Entahlah. Yang jelas, mumpung ini masih berlangsung, mari kita nikmati saja.