Mengenai Kolonialisme dan Ibu-ibu Pembeli Baju Lebaran di Tengah Pandemi

Yoga Pratama
Reporter, penulis di waktu luang
Konten dari Pengguna
12 Juni 2020 9:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yoga Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah warga dan pengendara motor memadati kawasan Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (18/5/2020). Foto: Antara/Arif Firmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga dan pengendara motor memadati kawasan Pasar Anyar, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (18/5/2020). Foto: Antara/Arif Firmansyah
ADVERTISEMENT
Adegan seorang petugas membuka gerbang toko di sebuah mal di Lebak, Banten yang kemudian diikuti oleh sekelompok orang―kebanyakan ibu-ibu―yang beramai-ramai masuk untuk beli baju lebaran di tengah-tengah imbauan PSBB ramai di media sosial. Peristiwa ini tentu mengundang komentar. Kebanyakan komentarnya bernada menyalahkan gerombolan ini.
ADVERTISEMENT
Namun, tak banyak orang menyadari kalau peristiwa ini sebetulnya adalah sepotong kecil dari puncak gunung es yang hanya tampak di permukaan saja. Lagi pula, menyalahkan mereka adalah pandangan yang bias kelas.
Mari kita pikirkan ulang. Kenapa kita cepat-cepat menghakimi perilaku mereka yang dalam peristiwa ini berlaku sebagai konsumen? Kenapa kita juga tidak menyalahkan para penjual?
Kenapa pula kita tidak menyalahkan pengelola mal yang mengizinkan para tenant buka toko? Di tengah-tengah pandemi?
Penjual yang membuka tokonya dan pengelola mal yang memberi izin operasional harusnya kita hakimi juga―kalau mau berlaku adil. Hanya saja gerak-gerik mereka tersembunyi di balik layar, bukan?
Dan yang terlihat di permukaan adalah para konsumen yang malang ini. Alhasil, kita enggan bersikap kritis dan memilih cepat-cepat menghakimi apa yang hanya bisa dilihat oleh mata telanjang saja.
ADVERTISEMENT
Memang betul bahwa para konsumen ini juga salah. Akan tetapi, bukannya tak ada pembeli kalau tak ada yang jual? Pihak pengelola mal sebetulnya bisa dengan mudah saja menghindari kegaduhan sosial ini serta taat pada aturan PSBB apabila tidak memberi izin operasional mal.
Memang betul juga bahwa para pengusaha mal mengalami kesulitan dalam membayar pajak ke pemerintah karena tak ada pemasukan sehingga akhirnya memutuskan untuk membuka mal dan mengizinkan karyawan tenant berjualan.
Akan tetapi, kenapa memberi izin operasional bagi tenant yang menjual barang selain makanan, minuman, dan obat-obatan di tengah ketentuan-ketentuan PSBB yang diimbau pemerintah?
Dalam suatu wawancara dengan sebuah media massa, seorang perwakilan dari asosiasi mal nasional ditanya apa pendapatnya soal fenomena warga yang bergerombol ke pusat perbelanjaan di Ciledug untuk beli baju lebaran.
ADVERTISEMENT
Jawaban beliau adalah sebagai berikut: “Selain karena memenuhi kebutuhan Lebaran, mereka juga rindu mal.”
Ada dua hal yang bisa kita pelajari dari jawaban di atas. Pertama, pengelola mal―yang memiliki wewenang atau kuasa atas izin operasional―seharusnya bisa bekerja sama dengan pemerintah dan seluruh elemen masyarakat dalam menanggulangi pandemi dengan cara patuh terhadap PSBB serta tidak memberi label “kebutuhan” terhadap baju lebaran.
Pakaian memang termasuk kebutuhan sandang, yang merupakan kebutuhan primer manusia. Namun, di tengah krisis seperti ini, baju baru untuk hari raya tidaklah mendesak.
Kedua, istilah “rindu mal” mengindikasikan kalau pihak pengelola cukup cerdik dalam melihat pasar. Tentu hari raya lebaran identik dengan masyarakat Muslim yang lebih konsumtif dalam membeli pakaian.
ADVERTISEMENT
Menjelang Idul fitri, permintaan pakaian naik di pasaran. Para pengelola melihat ini dan tentu saja tak menyia-nyiakannya. Mereka memberi izin operasional mal tanpa mempedulikan imbauan-imbauan PSBB.
Lagi pula, kelompok masyarakat manapun yang hobi berbelanja tentu saja rindu mal, tapi kepekaan terhadap krisis saat pandemi jelas lebih dibutuhkan oleh semua pihak, termasuk warga biasa dan pihak yang memiliki wewenang/kuasa publik apa pun.
Kita bisa memetik satu pelajaran: ibu-ibu―sebagai representasi masyarakat biasa―yang bergerombol ke pusat perbelanjaan dan pengelola mall―sebagai pihak yang memiliki wewenang/kuasa―yang memberi izin operasional mal berada pada titik ekuivalen, maksudnya keduanya berada di posisi yang sama, sama-sama melanggar aturan PSBB.
Akan tetapi, adakah kita menghakimi atau menyalahkan si pemilik kuasa/wewenang? Tidak, karena kita belum mampu berlaku adil sejak dalam pikiran.
ADVERTISEMENT
Kita sepertinya masih hobi melanggengkan konflik horizontal. Kita masih enggan membahas sebuah permasalahan secara vertikal, secara struktural.
Kita masih lebih suka menyalahkan sesama. Sejatinya, kita dan ibu-ibu yang pergi bergerombol ke mal itu berada di posisi yang setara, yaitu di posisi hilir, sebagai kelompok masyarakat yang tak memiliki wewenang publik.
Kita malah enggan menyalahkan mereka yang berada di hulu, yang memiliki wewenang dan kuasa.
Dengan kata lain, kita masih menuhankan siapa pun yang berada di posisi otoritas. Kita enggan menyalahkan pihak hulu walau mereka salah. Kita selalu menganggap diri rendah dan terus-terusan merasa bersalah.
Di satu sisi, ada yang wajar soal itu karena apa yang dilakukan oleh yang berwenang berlangsung di balik pintu tertutup, alias orang awam tidak akan mampu melihatnya langsung. Namun, di sisi lain, itu adalah kebiasaan buruk. Itu adalah mentalitas terjajah.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan buruk tersebut menjijikkan. Kita boleh saja berdaulat secara politik sejak Agustus 1945, akan tetapi watak kolonialis di dalam kepala kita terproyeksi lewat penilaian kita pada saudara-saudara kita yang malang ini, yaitu sekelompok ibu-ibu yang pergi ke mal untuk beli baju lebaran di tengah pandemi. Kita enggan menyalahkan pihak hulu yang mengizinkan situasi ini terjadi.
Saya akan memberi sebuah perumpamaan. Menurut sebuah studi antropologi dari David Graeber, di negara Madagaskar, pejabat pemerintah yang berpatroli di desa-desa masih dianggap sebagai representasi “Tuhan” oleh masyarakatnya karena secara psikologis kehadiran mereka di jalanan mengingatkan warga akan penjajah Prancis di masa lampau yang memeras uang dan memberlakukan kerja paksa.
Gambaran psikologis itu membekas dan menjadi entitas koersif sehingga negara menjadi representasi otoritas atau figur “Tuhan”. Sikap menuhankan otoritas seperti demikian tampak dalam penghakiman kita terhadap ibu-ibu di mal Lebak, Banten.
ADVERTISEMENT
Perumpamaan lain dari sejarah negeri sendiri: pada abad 19, masyarakat petani Jawa dikatakan sangat patuh terhadap pemimpin lokal mereka, yaitu bupati. Apa pun yang bupati mau―kerbau untuk membajak sawah, tenaga untuk menggarap sawah milik petinggi Hindia-Belanda, dll, akan mereka berikan tanpa syarat.
Petinggi-petinggi Hindia memanfaatkan kepatuhan para petani itu. Mereka berkongkalikong dengan bupati agar petani dipekerjakan tanpa bayaran, sementara hasil taninya dijual di Eropa dan untungnya dinikmati oleh petinggi Hindia dan bupati saja. Para petani yang patuh itu tidak mendapat apa-apa dari keringatnya sendiri.
Itu adalah sebuah “laporan” dalam bentuk novel berjudul Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli. Kebetulan saja setting tempat dalam novel itu adalah Lebak, Banten. Siapa sangka pandangan psikologis yang kolonialis itu masih ada hampir dua abad kemudian. Saat ini kita masih menganggap diri rendah.
ADVERTISEMENT
Kita masih menyalahkan sesama. Kita masih enggan menyalahkan otoritas yang mengizinkan kegaduhan sosial seperti ini terjadi.
Di masa Multatuli, kepatuhan warga pribumi hanya bisa terhapus oleh pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan mampu menumpas kolonialisme.
Sekarang, kita tak bisa mengklaim diri terdidik apabila pola pikir kolonialis itu masih tertanam di kepala kita. Atau jangan-jangan ungkapan populer “sebetulnya kita belum benar-benar merdeka” itu benar adanya?