Lagi-Lagi Pendidikan Kita Tercoreng

I Putu Yoga Saputra
S2 Magister Administrasi Publik, Universitas Nasional - Juru Bicara Muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
Konten dari Pengguna
14 Maret 2023 15:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Putu Yoga Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perguruan Tinggi, Foto: Getty Images/iStockphoto/leolintang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perguruan Tinggi, Foto: Getty Images/iStockphoto/leolintang
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini pendidikan di Indonesia sedang dilanda kabar yang tidak baik. Seperti yang telah dikabarkan di berbagai media nasional bahwa Rektor Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara terjerat kasus korupsi dana sumbangan pengembangan institusi. Dana yang dikorupsi pun tidak tanggung-tanggung yaitu sebesar Rp 443 miliar.
ADVERTISEMENT
Ini bukan jadi kali pertama ada rektor terjerat kasus korupsi. Pada 2022 lalu, Rektor Universitas Lampung Prof. Dr Karomani juga terjerat kasus korupsi sebesar Rp 5 miliar perihal penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.
Bukan hanya korupsi, tercatat ada beberapa rektor perguruan tinggi yang sebelumnya juga menjabat sebagai jajaran komisaris di beberapa perusahaan BUMN yaitu Ari Kuncoro Rektor Universitas Indonesia, Dwia Aries Tina Pulubuhu Rektor Universitas Hassanudin, Arif Satria Rektor Institut Pertanian Bogor.
Tak heran jika jabatan rektor menjadi jabatan yang syarat akan konflik kepentingan. Rektor yang seharusnya fokus dan berorientasi pada penyelenggaraan pendidikan namun menjadi lahan strategis untuk kepentingan pribadi. Jika pimpinan universitas saja sudah melakukan konflik kepentingan atas jabatan yang diemban, bagaimana mampu meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas? Hal tersebut belum termasuk beberapa universitas yang seolah-olah mengobral gelar Honoris Causa ke beberapa politisi.
ADVERTISEMENT
Tentu asumsi jika universitas mengobral gelar tidaklah berlebihan, mengingat secara historis terdapat beberapa pejabat atau politisi yang tiba-tiba ketiban gelar Honoris Causa. Konflik kepentingan di ranah petinggi perguruan tinggi sudah semakin merajalela yang kemudian ini akan memberi efek domino pada pengelolaan lembaga perguruan tinggi kita.
Problem pendidikan di Indonesia tidaklah sederhana, seperti kuota masuk perguruan tinggi negeri yang tidak sebanding dengan lulusan Sekolah Menengah ditandai dengan data bahwa lulusan sekolah menengah berjumlah 2-3 juta siswa. Jika dibandingkan dengan jumlah penerimaan SNMPTN yang hanya berjumlah 100.000 orang.
Meskipun masih ada jalur-jalur lain yang dapat ditempuh oleh para lulusan sekolah menengah, tentu harapan terbesar para siswa adalah dapat menempuh jalur SNMPTN yang secara biaya pendidikan jauh lebih murah dari jalur-jalur lainnya. Artinya, jalur di luar SNMPTN hanya dapat diakses oleh kelompok-kelompok yang mampu saja, sedangkan calon mahasiswa yang memiliki latar belakang keluarga kurang mampu tentu akan sangat berat untuk mengakses jalur diluar SNMPTN.
ADVERTISEMENT
Apa yang telah dipaparkan di atas baru mengangkat problem tentang hal-hal yang sifatnya prosedural dan moral. Belum pada ranah substansial. Pendidikan kita selalu disibukkan dengan pembahasan masalah-masalah yang sifatnya prosedural dan moral, sehingga pembahasan tentang pendidikan secara substansial menjadi tertinggal. Mungkin saja, hal tersebutlah yang menyebabkan pendidikan kita tertinggal jauh dengan negara berkembang lainnya. Ada pun pendidikan Indonesia saat ini menempati peringkat ke-54 dunia (sumber: world population review).
Muncul pertanyaan yang mendasar dari saya, akan sampai kapan pendidikan di Indonesia seperti ini? Perdebatan di publik sangat jarang membahas tentang masa depan pendidikan kita. Pejabat dan politisi kita lebih senang membahas hal-hal yang sifatnya populis saja demi meningkatkan elektabilitas mereka. Sehingga perdebatan tentang masa depan pendidikan di Indonesia luput dari pembahasan. Padahal jika mengacu pada Pembukaan UUD 1945 NRI terdapat amanah penting yaitu kita bersama-sama ditugaskan untuk mewujudkan kecerdasan bangsa.
ADVERTISEMENT
Kita belum berbicara lebih jauh tentang infrastruktur pendidikan di daerah-daerah terpencil, kita juga belum membahas tentang cara meningkatkan mutu tenaga ajar di sekolah-sekolah, dan masih banyak lagi. Semua masalah ini perlu kita sikapi secara serius demi mewujudkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan berdaya saing di tengah disrupsi teknologi yang memiliki efek domino terhadap persaingan global.
Saya berharap, para penguasa memiliki political will untuk memperbaiki situasi pendidikan kita hari ini.