Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Perumahan Rakyat: “Yes!”, Tapera: “No!”
7 November 2024 13:43 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Yoga Suganda Sukanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik terkait rencana penerapan iuran masyarakat untuk perumahan rakyat yang dikelola oleh BP Tapera kembali ramai diperbincangkan di awal pemerintahan Presiden Prabowo. Betapa tidak, ditengah pelbagai himpitan permasalahan ekonomi yang mendera, masyarakat harus menerima kenyataan bahwa pendapatannya akan disunat sebesar 3% setiap bulan (2,5% dari pribadi dan 0,5% dari pemberi kerja). Gelombang penolakan pun kembali bermunculan, baik dari kalangan pengusaha maupun pekerja. Mereka tentu keberatan dengan bertambahnya potongan dari penghasilan yang diterima.
Perekonomian Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya ini ditunjukkan dengan PDB RI tumbuh lebih rendah, PMI manufaktur kembali terkontraksi, deflasi lima bulan berturut-turut, maraknya PHK, dan penerimaan negara yang turun. Hal ini menjadikan fenomena turunnya daya beli masyarakat dan menyusutnya kelas menengah di negeri ini pun bisa dipahami penyebabnya. Oleh karena itu, kebijakan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) perlu mendapat atensi khusus bagi pemerintahan Prabowo. Tenggat waktu maksimal pelaksanaan Tapera memang masih Oktober 2027, namun pemerintah agaknya bergeming dengan akan menerapkan kebijakan ini dalam waktu dekat. Padahal, baru-baru ini Ditjen Pajak juga baru saja memastikan bahwa PPN naik menjadi 12% terhitung 1 Januari 2025. Mengapa kondisi yang tidak menguntungkan masyarakat ini dibiarkan?
ADVERTISEMENT
Itikad baik pemerintah dalam mengatasi backlog alias defisit kebutuhan perumahan bagi masyarakat, yang mencapai 12,7 juta unit rumah (versi REI) atau 9,9 juta unit rumah (versi KemenPUPR), agaknya tidak menempuh mekanisme yang bisa diterima dengan nalar masyarakat Indonesia hari ini. Dukungan pemerintah agar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mempunyai tabungan dan fasilitas pinjaman khusus perumahan, justru dianggap hanya menambah beban dan kecurigaan khalayak. Betapa tidak, besarnya potongan yang dilakukan jauh dari harga rumah yang mungkin bisa diterima. Besarnya tabungan juga hanya akan diterima manfaatnya saat pensiun.
Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang terbentuk sejak tahun 2016 ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas tapera. BP Tapera sendiri “reinkarnasi” Bapertarum yang sejak tahun 1993 mengelola kebutuhan perumahan bagi PNS. Kontroversi langsung muncul ke permukaan terkait peserta yang tidak hanya dari kalangan aparatur
negara, namun juga mereka yang berkarier di BUMN, swasta, dan pekerja lain di luar kriteria tersebut. Belakangan, pengemudi layanan ojek daring pun tak luput dari target peserta Tapera. Padahal status pengojek daring tak lebih sebatas mitra dengan penghasilan yang tidak tetap.
ADVERTISEMENT
Kontroversi berlanjut dengan pengenaan iuran yang dikenakan, yakni sebesar 3% dari gaji peserta atau penghasilan pekerja mandiri. Adapun pemberi kerja dibebankan sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5% yang jelas semakin memperberat beban yang diampu masyarakat. Pengenaan iuran sendiri masih menunggu instruksi dari Kemenkeu dan KemenpanRB untuk ASN dan instruksi dari Kemenaker untuk pekerja BUMN dan swasta. Peserta dari kalangan pekerja mandiri akan diatur tersendiri oleh BP Tapera. Sikap antipati dari kalangan pekerja yang sudah memiliki rumah pun semakin tinggi seiring dengan mekanisme pencairan yang hanya bisa dilakukan pada saat pensiun.
Kekhawatiran Publik
Di luar kontroversi kebijakan serta respons negatif di masyarakat, publik perlu menilai secara objektif kinerja BP Tapera sebelum menjalankan amanah mengelola dana masyarakat lebih besar lagi. Hasil audit BPK tahun 2021 menyebut bahwa ditemukan 124.960 orang pensiunan belum mendapat pengembalian dana Tapera sebesar Rp 5.675 miliar. Hasil audit tersebut tentu menjadi “trust issue” bagi BP Tapera oleh masyarakat yang masuk kategori peserta Tapera. Pengelolaan yang buruk kepada hak aparatur negara di masa lalu tentu tidak ingin terjadi pula pada masyarakat luas di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus korupsi yang menjerat lembaga keuangan nonbank dalam beberapa tahun terakhir membuat publik skeptis terhadap BP Tapera. Tercatat kasus korupsi di Asabri, Pelindo, Taspen, Jiwasarya, hingga kini belum menemukan keadilan bagi seluruh pesertanya. Oleh karena itu, kebijakan untuk mengelola dana masyarakat oleh lembaga nonbank baru milik pemerintah sepatutnya dilakukan moratorium sampai seluruh kasus terselesaikan secara adil bagi semua pihak.
Adanya sanksi administratif yang diberikan kepada pihak yang tidak sejalan dengan program ini pun tak kalah kontroversial. Dengan dalih menjalankan amanah undang-undang, sanksi kepada pekerja dan pemberi kerja sudah menanti sebagaimana termaktub dalam Pasal 55 dan Pasal 56 PP Nomor 25 tahun 2020. Kekhawatiran demi kekhawatiran pun akhirnya menyeruak seiring dengan resistensi yang timbul di masyarakat. Hal ini bukan tanpa alasan, sanksi administratif dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi sanksi atau larangan lain yang bisa berdampak pada kantong pemasukan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Solusi
Pemerintah sudah sepatutnya melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan peraturan terkait BP Tapera. Penyelesaian terhadap hak peserta/PNS yang belum tersampaikan harus didahulukan secara transparan. Temuan BPK dapat dijadikan langkah awal dalam menindaklanjuti temuan dengan menggandeng BKN, Taspen maupun lembaga lain yang relevan. Suksesi kepemimpinan dari Jokowi ke Prabowo diharapkan bisa menjadi momentum yang akan memunculkan sentimen positif bagi masyarakat.
Keberpihakan pemerintah kepada masyarakat harus diwujudkan secara konkret dan relevan dengan kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Kebijakan guna mengatasi backlog selayaknya diwujudkan dengan pemberian fasilitas pemilikan rumah yang layak dan atau pemanfaatan lahan serta bangunan tapak maupun vertikal, dengan harga wajar serta terintegrasi dengan transportasi publik. Pemerintah juga harus mulai mengatur harga properti di negeri ini beserta kepemilikannya, tidak diserahkan ke mekanisme pasar semata.
ADVERTISEMENT
Potongan penghasilan yang dilakukan pemerintah dapat dilakukan secara berjenjang (tiering) sesuai dengan besarnya penghasilan masyarakat. Semakin besar penghasilan yang diterima, maka akan semakin besar persentase iuran yang diserahkan kepada BP Tapera. Kalangan pejabat negara maupun pengusaha tentu wajib berkontribusi lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang berpenghasilan sesuai standar minimum. Hal ini untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang diminta untuk gotong royong membantu MBR tanpa mereka rencanakan, meski dengan dalih dananya kelak akan dikembalikan disertai hasil pemupukannya. Selain itu, masyarakat juga dapat diperbolehkan untuk membayarkan iuran alias menabung lebih dari ketentuan sebesar 3%.
Hal lain yang mengundang kontroversi luas di masyarakat adalah keanggotaan yang mencakup seluruh lapisan masyarakat. Keanggotaan BP Tapera sebaiknya hanya bersifat opsional, kecuali bagi ASN. Hal ini penting bagi pemerintah dalam membangun kepercayaan BP Tapera sebelum melayani seluruh masyarakat. Setidaknya hal ini berlaku sampai dengan terselesaikannya seluruh kewajiban BP Tapera kepada ASN yang sudah pensiun, meninggal, dsb.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, berkaca pada maraknya perumahan bersubsidi yang tak layak huni, mangkrak, hingga ditinggal penghuni karena lokasi yang terlalu jauh dari pusat perekonomian, maka sepatutnya pembelian rumah pertama tidak perlu dibatasi lokasinya. Sepanjang sesuai dengan plafond, maka pembiayaan dapat dilakukan. Tak hanya itu, mengutamakan permukiman vertikal yang terintegrasi dengan transportasi umum di kota sangat urgen untuk diterapkan.
Pemerintah pusat telah mencanangkan Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah, sebagaimana termaktub dalam PP No. 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Selanjutnya, melalui Perpres Nomor 9 Tahun 2021 tentang Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) Pemerintah mencoba mengakselerasi pembangunan perumahan bagi MBR dengan pendanaan yang bersumber dari di antaranya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Dana Konversi Hunian Berimbang. Pemerintah menugaskan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono sebagai Dewan Pembina sekaligus anggota bersama Menkeu, Menteri ATR/Kepala BPN, dan Mendagri. Oleh karena itu, dengan akses yang cukup strategis lintas kementerian, sudah sepatutnya BP3 memainkan peranan penting dalam penyelenggaraan perumahan, utamanya bagi MBR.
ADVERTISEMENT
Di atas semua perbaikan tersebut, Pemerintah harus terus mendorong data yang terintegrasi, sebagaimana diatur dalam Perpres nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Hal ini mengingat data yang saling terintegrasi dari pusat hingga ke daerah menjadi kunci penting sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan pembangunan hingga menyampaikan kebijakan secara tepat, seperti yang tengah dirintis dalam pembagian bantuan sosial.
Perbaikan terhadap berbagai mekanisme pada kebijakan Tapera mutlak perlu dilakukan oleh pemerintah. Selanjutnya sosialisasi yang masif dapat segera dilakukan. Amplifikasi terhadap manfaat Tapera harus sampai dan diterima secara nyata oleh masyarakat yang masih memerlukan dukungan kebutuhan papan. Jika tidak, maka cepat atau lambat laju perekonomian akan berpotensi melambat dan menyimpan gejolak di masyarakat. Tak hanya itu suksesi kepemimpinan juga merupakan momentum yang tepat untuk membangun kepercayaan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga memiliki cukup banyak waktu untuk mereviu kebijakan Tapera, sepanjang seluruh stakeholder terkait mau mendengar dan berupaya dalam mengurangi beban masyarakat. Pahlawan nasional, MH. Thamrin, pernah mengatakan bahwa, “Setiap pemerintah harus mendekati kemauan rakyat. Inilah yang sepatutnya dan harus menjadi dasar untuk memerintah. Pemerintah yang tidak mempedulikan atau menghargakan kemauan rakyat, sudah tentu tidak bisa mengambil aturan yang sesuai dengan perasaan rakyat”. Oleh karenanya, jika pemerintah gagal mendekati kemauan rakyat terhadap kebutuhan papannya, maka semakin keras masyarakat menyuarakan bahwasanya “Perumahan Rakyat: “Yes!”, Tapera: “No!”.