Lahirnya Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024

Yoggie Permana
International Relations Student UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Juni 2022 18:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yoggie Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster Ilustrasi Pemilu. Sumber: dokumentasi pribadi penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Poster Ilustrasi Pemilu. Sumber: dokumentasi pribadi penulis.

Pemilu memang baru akan diselenggarakan pada tahun 2024. Hajatan demokrasi yang berlangsung selama lima tahun sekali ini selalu mendapatkan perhatian masyarakat luas, termasuk adanya polemik isu penggunaan politik identitas yang sudah mulai muncul dan diperbincangkan.

ADVERTISEMENT
Melihat Pemilu sebelumnya yang diselenggarakan pada tahun 2019, terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam kontesasi pemilu ini. Salah satunya masih maraknya penggunaan politik identitas oleh para kontestan untuk dapat meningkatkan elektabilitas serta popularitas mereka. Kerap kali politik identitas digunakan secara berlebihan oleh peserta pemilu, hal ini mengakibatkan munculnya polarisasi di dalam masyarakat dan menimbulkan perasaan eksklusif antara kelompok satu dengan lainnya berdasarkan pada etnis atau kepercayaan. Adanya praktik ini di dalam pemilu tentu dapat meningkatkan rasa intoleransi dan berpotensi terjadinya disintegrasi sosial masyarakat (Prasetia, 2019).
ADVERTISEMENT
Politik identitas sendiri menurut Clarissa Rile Hayward merupakan politik di mana seseorang ikut serta terlibat dalam mobilisasi yang sama berdasarkan pengalaman, masalah politik, dan tujuan mereka dalam kebaikan kelompok mereka menurut mereka. Menurut Combahee River Collective yang merupakan kelompok feminis kulit hitam, politik identitas adalah politik yang secara konseptual berbeda, yaitu politik liberal yang diselenggarakan atas dasar kepenting individu atau preferensinya. (Hayward & Watson).
Kenapa marak munculnya penggunaan politik identitas di dalam Pemilu?
Penggunaan politik identitas dalam menarik suara masyarakat terbukti cukup efektif. Politik identitas memiliki peran yang besar dalam kampanye pilpres 2019. Bahkan, dapat dikatakan bahwa data dan fakta dinilai tidak banyak meningkatkan suara electoral. Politik identitas kerap kali digunakan sebagai senjata dalam memenangkan suara masyarakat.
ADVERTISEMENT
Adanya politik identidas dalam pemilu terbukti melahirkan polarisasi yang tajam (Ardipandanto, 2020). Exit Poll Indikator Politik terhadap 2.975 responden yang memberikan hak pilihnya pada tahun 2019 memberikan gambaran terpecahnya masyarakat di Indonesia. Indikator menemukan bahwa kelompok muslim tradisionalis dan nonmuslim cenderung memilih Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, sedangkan muslim modernis cenderung memilih Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pemilih nonmuslim yang memilih Jokowi dan Ma’aruf Amin naik naik 15 persen menjadi 97 persen dibandingkan pada tahun 2014. Demikian juga dengan pemilih yang dekat dengan NU memilih Jokowi-Ma’ruf. Pada Pilpres 2019, 56 persen warga Nahdiyin mengaku memilih Jokowi-Ma’ruf, naik 12 persen dibandingkan pemilu pada tahun 2014.
Sebaliknya, Prabowo-Sandiaga menang telak di kalangan warga Muhammadiyah, Persis, dan ormas-ormas modernis lainnya. Dikarenakan oleh politik identitas ini pemilih sudah memutuskan pilihannya jauh sebelum masa kampanye terbuka dimulai (Ristianto, 2019). Hal ini tentu membuktikan bahwa penggunaan politik identitas masih menjadi cara yang efektif bagi para kontestan pemilu dalam menarik suara masyarakat.
ADVERTISEMENT
Menurut Pengamat Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam pada acara diskusi Paramadina Democracy Forum (PDF) Seri ke-3, mengatakan jika ada momentum maka politik identitas masih besar kemungkinannya akan dipakai dalam kontesasi Pemilu tahun 2024. Hal ini dikarenakan politik identitas dinilai memiliki biaya yang murah dan efektif dalam memobilisasi massa. Meski begitu, terkait Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, Umam memprediksi politik identitas tidak lagi menguat apabila dibandingkan dengan Pilpres 2019. Umam berpendapat dengan adanya koalisi yang dilakukan oleh Prabowo Subianto dengan Joko Widodo dapat mengurangi dukungan dari kelompok kanan/konservatif terhadap Prabowo sehingga penggunaan politik identitas pada pemilu 2024 dinilai akan menurun (Mawangi, 2022).
Hal ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh ketua umum Partai Golkar Airlangga Hartanto yang meminta organisasi kemasyarakatan untuk tidak lagi memanfaatkan politik identitas menjelang pemilu tahun 2024. Airlangga Hartanto menilai penggunaan politik identitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat merupakan sikap yang dapat memecah belah persatuan bangsa (Savitri, 2022).
ADVERTISEMENT
Walaupun penggunaan politik identitas menjelang pemilu 2024 dinilai menurun, namun kita harus tetap waspada terhadap praktik politik identitas. Diperlukan juga antisipasi yang dapat memanfaatkan peran dari masyarakat luas untuk dapat mengambil bagian untuk dapat mencegah politik identitas yang dapat memecah belah bangsa sehingga politik identitas dalam pemilu sebelumnya tidak akan terulang kembali.