Merajut Bendera Reformasi

Yoggi Bagus Christianto
Kolomnis dan Mahasiswa FKIP UNS
Konten dari Pengguna
3 November 2021 16:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yoggi Bagus Christianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Negara Indonesia tidak dapat melupakan kenangan pahit yang terjadi di tahun 1998. Peristiwa tersebut sangat berdampak bagi langkah kesejahteraan negara, bahkan peristiwa tersebut tidak dapat dihapus dalam kenangan orang Tionghoa sebagai korban kekerasan. Reformasi tahun 1998 adalah gerakan yang besar untuk menghendaki adanya perubahan ke arah yang lebih baik dan sejahtera secara konstitusional baik perubahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan budaya. Gerakan Reformasi berusaha menata kembali tatanan negara ke arah yang jauh lebih baik, karena keadaan Indonesia pra-Reformasi telah dikuasai oleh rezim masa Orde Baru selama tiga dekade atau 32 tahun yang mulai keropos dan tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Kelahiran gerakan Reformasi menjadi jawaban atas keresahan dan doa dari rakyat yang sudah tertekan berbagai krisis. Tak hanya krisis ekonomi, hukum, politik, dan budaya yang semakin buruk bahkan krisis kepercayaan semakin melanda rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Reformasi sudah tidak dapat ditawar lagi oleh pemerintah, karena itu hampir seluruh masyarakat Indonesia mendukung gerakan tersebut apalagi masyarakat Solo dan Jakarta. Orde Baru berakhir ketika terjadi krisis di segala bidang baik ekonomi maupun moral sehingga para pejuang rakyat khususnya mahasiswa menghendaki adanya sebuah gerakan reformasi pada tatanan negara Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 yang mengakibatkan Soeharto harus tumbang menjadi peletakan batu pertama atau tanda dimulainya gerakan reformasi.
Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan gerakan reformasi memang tidak terlepas dari beban yang diwariskan rezim Orde Baru yakni kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, terigu, gula, minyak tanah, susu, ikan kering, dan telur menjulang tinggi, sehingga kemiskinan dan perut yang kelaparan menjadi masalah besar bahkan masyarakat harus antre untuk membeli sembako. Sementara, pengeroposan terjadi pada politik dan kondisi ekonomi sehingga tidak dapat terkendali. Harapan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik semakin kabur. Kondisi tersebut mengakibatkan hilangnya kepercayaan antara rakyat dengan rezim Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki Presiden Soeharto untuk lengser dan digantikan karena dianggap sudah tidak mampu mengatasi berbagai persoalan, khususnya ekonomi. Dengan pergantian pemimpin negara dianggap akan dapat menjadikan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya negara lebih sejahtera. Rakyat tidak mempermasalahkan siapa yang akan memimpin nasional kala itu, namun yang terpenting kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan segera terwujud. Namun demikian, harapan masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa agar pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang peduli terhadap kesulitan masyarakat kecil dan krisis sosial.
Secara lebih mendalam bahwa gerakan reformasi merupakan gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa sebagai reaksi atau respons atas praktik-praktik pemerintahan yang menyimpang dari harapan rakyat.
Penari membawakan tarian dengan bendera merah putih pada aksi 17 Jam Menari Untuk Indonesia di Bongkeng Art Space, Bandung, Jawa Barat, Senin (17/8/2020). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
1. Praktik pemerintahan Orde Baru yang hanya membawa kebahagiaan semu, ekonomi rakyat anjlok dan nilai tukar rupiah terhadap dolar turun drastis.
ADVERTISEMENT
Tahun 1997 sudah memberikan rambu-rambu bahwa akan terjadi krisis moneter yang hebat. Di mulai pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah terjun bebas hingga bulan September. Pada awalnya nilai rupiah di angka Rp 2.380 per satu dolar mengalami penurunan hingga 600 persen dalam jangka waktu satu tahun. Pada bulan Januari 1998 kondisi perekonomian dikejutkan dengan menguatnya dolar mencapai Rp 11.000. Puncak letusannya pada Juli 1998 nilai rupiah benar-benar terpuruk hingga menyentuh Rp 16.650. Hal tersebut yang membuat perut kelaparan karena harga barang khususnya barang pokok menjulang tinggi.
2. Pembangunan nasional meninggalkan pinjaman luar negeri yang sangat membebani rakyat.
Sebagaimana selalu dikemukakan dalam GBHN yang ditetapkan MPR disiratkan bahwa (1) bantuan luar negeri hanya bersifat pelengkap, artinya sumber dana pembangunan diutamakan berasal dari penggalian dana dalam negeri. (2) Penggunaan bantuan luar negeri harus sesuai dengan arah dan kepentingan pembangunan nasional. Arah dan kepentingan tersebut dapat diartikan bahwa dana utang tersebut akan dialokasikan kepada pertumbuhan ekonomi. (3) sifat bantuan luar negeri tidak mengikat dan tidak menimbulkan ketergantungan yang terus-menerus. Di samping itu harus ada perencanaan agar ketergantungan dapat menurun dan menjadi negara yang mandiri dalam pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
3. Kekuasaan ekonomi di Indonesia berada di tangan sebagian kecil penguasa dan konglomerat.
Kesempatan-kesempatan investasi yang besar hanya diberikan kepada orang Indonesia yang biasanya merupakan perwira militer atau segelintir warga keturunan Tionghoa
4. Merajalelanya praktik KKN pada hampir semua instansi dan lembaga pemerintahan
Pada masa Orde Baru yang mencolok kekuasaan terpusat, bahwa seluruh kebijakan yang dilahirkan untuk kepentingan penguasa atau hanya menguntungkan pihak istana.
5. DPR dan MPR tidak mampu mengemban amanat rakyat, justru menjadi kroni pemerintah
Pada masa Orde Baru seharusnya MPR menjadi lembaga negara tertinggi namun pada kenyataannya MPR hanya menjadi kaki tangan presiden dan lebih mementingkan partai atau golongan daripada kepentingan rakyat. MPR yang digembar-gemborkan sebagai kedaulatan rakyat tergantikan menjadi kedaulatan partai dan golongan dan akhirnya kedaulatan jatuh kepada tangan Presiden. Sementara DPR hanya bersifat pasif, usul inisiatif selalu berasal dari pihak eksekutif dan tugas DPR hanya menyetujui, sehingga tidak heran jika isu terbesar pada masa Orde Baru bahwa DPR sebagai stempel pemerintah.
ADVERTISEMENT
6. Penegakan hukum lemah dan demokrasi yang tertekan
Seluruh hukum disetir dan dibuat di istana Presiden dan dilaporkan kepada DPR dan ditulis dengan gaya DPR. Sehingga keputusan tidak dapat diganggu gugat meskipun hukum tersebut tidak benar.