news-card-video
11 Ramadhan 1446 HSelasa, 11 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pelajaran Berbeda dari Dua Raksasa Minyak Dunia

5 Agustus 2017 11:41 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yogie Maharesi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kilang minyak (Foto: Reuters/Todd Korol)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kilang minyak (Foto: Reuters/Todd Korol)
ADVERTISEMENT
Venezuela terjerembab ke jurang krisis terdalam setelah negeri kaya minyak di Amerika Selatan itu mengalami resesi menahun. Ekonominya kini lebih buruk dari ekonomi masa perang.
ADVERTISEMENT
Demonstrasi anti pemerintahan Presiden Nicolas Maduro, perampokan, pembunuhan dan penculikan menjadi keseharian. Antrian lebih satu kilometer selama seharian hanya untuk membeli makanan, kebutuhan pokok dan obat-obatan, adalah potret Venezuela terkini.
Memasuki malam, ibu kota Caracas menjadi kota mati.
Venezuela terancam menjadi Suriah selanjutnya, ladang perang dengan multikepentingan negara-negara luar merangsek dari segala penjuru. The Economist menyebut nasib Venezuela bisa serupa Zimbabwe.
AFP melaporkan dalam empat bulan terakhir tidak kurang 120 orang tewas dalam serangkaian aksi demonstrasi, kekerasan dan pembunuhan. Orang tua memberikan anak-anaknya cuma-cuma kepada keluarga yang bersedia mengadopsi, demi menyelamatkan pendidikan dan hidup sang buah hati dari ancaman kelaparan dan kekerasan.
Ketergantungan Minyak
Venezuela negara yang dikaruniai kekayaan minyak bumi. Menurut OPEC, cadangan minyak mentah Venezuela mencapai 300.878 miliar barel dan terbesar di dunia. Produksi minyaknya 2.653 juta barel per hari, dengan nilai ekspor 95% berasal dari minyak.
ADVERTISEMENT
Petaka bermula pada tahun 2014, ketika harga minyak dunia terus terperosok ekstrim hingga titik terendah US$30 per barel, sangat jauh di bawah nilai keekonomian. Tanpa menunggu lama, ekonomi Venezuela jatuh 18% pada 2016. Pendapatan negara turun hingga 40%, sementara beban utang US$120 miliar atau setara Rp1.500 triliun.
Nilai tukar mata uang bolivar terus merosot. CNNMoney melansir awal tahun 2017 nilai tukar US$1 setara 3.164 bolivar. Namun di akhir Juli, nilai tukar kian melemah hingga 8.820 bolivar.
Venezuela harus membayar mahal akibat ketergantungan ekonominya pada minyak, meski anjloknya harga minyak memang bukan faktor tunggal krisis Venezuela.
Terus berulangnya krisis listrik tanpa solusi permanen, serta dipertahankannya ketegangan dengan Amerika berdampak sangat buruk pada instabilitas politik yang merambah menjadi krisis pangan dan kemanusiaan. Namun kejatuhan harga minyak tetap mendeterminasi resesi ekonomi negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kesulitan pun berlipat ganda dengan besarnya nilai ekspor Venezuela –dan negara-negara Amerika Selatan umumnya– pada China. Ketika pada tahun-tahun belakangan ekonomi China melambat, Venezuela harus merasakan pahit getahnya.
Terlambat bagi Venezuela untuk mereformasi ekonominya agar tidak tergantung pada minyak. Kini resesi terlanjur terjadi dan sudah terlalu dalam.
Menengok Arab Saudi
Seperti Venezuela, Arab Saudi negara kaya yang menikmati oil boom selama dekade 2003-2013. Pendapatan negara Arab Saudi sebanyak 70% berasal dari minyak, dengan cadangan minyak 267 miliar barel.
Namun berbeda dengan Venezuela, Arab Saudi responsif terhadap fakta fluktuasi harga minyak bumi, serta penemuan sumber-sumber energi baru dunia. Peta persaingan ekonomi global pun bergerak dinamis.
Di saat yang sama, menurut McKinsey Global Institute, Arab Saudi menghadapi problem demografi dimana 50% populasi berusia di bawah 25 tahun. Arab Saudi harus menyediakan lapangan kerja bagi 4,5 juta penduduk usia produktif pada 2030.
ADVERTISEMENT
Maka Arab Saudi harus beranjak untuk menatap peluang dan tantangan ekonominya jauh ke depan, melampaui zona nyaman ekonomi berbasis minyak. Rencana besar reformasi ekonomi Arab Saudi pun dirumuskan dan tertuang dalam Visi Arab Saudi 2030, sebuah visi untuk menciptakan keanekaragaman sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dari pakem lama oil driven, Arab Saudi menggagas diversifikasi ekonomi untuk menopang ketergantungan pada minyak.
Arab Saudi bergerak cepat menjalin berbagai kerjasama ekonomi baru. Sektor pertambangan mineral, pariwisata, jasa keuangan, senjata, UKM, ritel, dan e-commerce, adalah sebagian saja dari mega proyek ekonominya. Arab Saudi ingin menjadi pusat investasi dan kekuatan ekonomi yang menghubungkan tiga benua yaitu Afrika, Eropa dan Asia.
Kunjungan Raja Salman ke Indonesia, Malaysia, Jepang dan berbagai negara lain beberapa waktu lalu, adalah juga dalam konteks menciptakan pasar baru bagi diversifikasi ekonomi. Arab Saudi tak ingin berlama-lama berkutat dengan fluktuasi harga minyak, caranya dengan menciptakan solusi besar yang komprehensif dan berjangka panjang. Kini mata dunia menanti wujud nyatanya.
ADVERTISEMENT
Tantangan Pengambil kebijakan
Turunnya harga minyak dunia hingga menyebabkan resesi Venezuela, sementara di sisi lain juga mendorong reformasi ekonomi di Arab Saudi, merefleksikan pentingnya diversifikasi ekonomi untuk melepas, atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada satu komoditas.
Pelajaran berharga itu penting bagi Indonesia dan setiap bangsa, bahwa sangat fundamental untuk membangun visi ekonomi baru guna menjawab tantangan besar di masa depan. Para pengambil kebijakan perlu merumuskan kerangka kerja, roadmap dan kebijakan pendukung diversifikasi ekonomi untuk memastikan terciptanya sumber-sumber baru bagi pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Diversifikasi akan menghidupkan ragam industri, daya saing ekonomi, produktifitas dan pilihan lapangan kerja yang luas untuk menampung angkatan kerja generasi mendatang. Selain ekonomi negara juga akan lebih tahan terhadap guncangan.
Yogie Maharesi Staf Departemen Sekretariat Dewan Komisioner, Hubungan Masyarakat dan Internasional Otoritas Jasa Keuangan (Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan OJK)