Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bayang-Bayang Hiperrealitas Pada Abad 21
30 Oktober 2024 17:36 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mochammad Yogik Septiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada akhir-akhir ini atau pada abad 21 persoalan kehidupan manusia semakin pelik, semakin kompleks dan bahkan menjadi kabur. Realitas kehidupan yang demikian merupakan akibat dari adanya modernitas, realitas kabur, realitas semu. Abad ke-21 sering disebut sebagai abad pengetahuan, abad teknologi informasi, atau abad globalisasi. Istilah-istilah ini merefleksikan perubahan drastis yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Pada abad 21 Teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat cepat, mengubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan mengakses informasi. Kecerdasan buatan, internet of things, dan big data menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dunia semakin terhubung, batas-batas negara semakin kabur, dan interaksi antarbudaya semakin intensif. Hal ini membawa peluang baru, namun juga tantangan seperti persaingan global dan masalah sosial yang kompleks. Abad 21 juga melahirkan fenomena migrasi dari desa ke kota yaitu Urbanisasi. Semakin banyak orang bermigrasi ke kota-kota besar, menyebabkan masalah seperti kepadatan penduduk, polusi, dan ketimpangan sosial.
ADVERTISEMENT
Tinjauan Teori Jean Baudrillard: Apa itu Hiperrealitas?
Jean Baudrillard, seorang sosiolog Perancis, dikenal luas karena teorinya tentang hiperrealitas. Konsep ini menjadi semakin relevan di era digital saat ini, di mana batas antara realitas dan simulasi semakin kabur. Hiperrealitas, dalam pandangan Baudrillard, adalah suatu kondisi di mana realitas telah digantikan oleh representasi atau simulasi dari realitas itu sendiri. Simulasi ini begitu meyakinkan sehingga sulit untuk membedakan mana yang asli dan mana yang tiruan. Dalam dunia hiperrealitas, tanda-tanda (signs) lebih penting daripada realitas yang mereka wakili.
Konsep utama dalam Baudrillard adalah simulacra, yang mana simulacra adalah salinan yang tidak memiliki aslinya. Simulakra ini begitu sempurna sehingga sulit untuk membedakan antara yang asli dan yang tiruan. Oleh karena itu, lebih lanjut dalam konsepnya adalah hilangnya realitas. Realitas yang kita alami sehari-hari sebenarnya adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh media, iklan, dan budaya populer.
ADVERTISEMENT
Hiperrealitas tubuh subur dalam masyarakat perkotaan
Fenomena melampaui realitas, atau dalam hal ini disebut dengan hiperrealitas menjadi hantu-hantu yang membayang-bayangi manusia. Bayang-bayang hiperrealitas terjadi secara berulang-ulang pada masyarakat perkotaan. Dalam perkotaan tentu bayang-bayang hiperrealitas relevan dan berlaku bahkan tidak dapat dihindari. Sebagaimana dalam konsep tentang hiperrealitas yang mana realitas menjadi kabur akibat adanya simulasi-simulasi, maka perkotaan menjadi ruang yang subur. Pertama, kota sebagai panggung pertunjukan. Kota-kota besar seringkali didesain untuk menjadi panggung bagi konsumsi dan hiburan. Misalnya, pusat perbelanjaan yang mewah dengan arsitektur yang mencolok, atau kawasan hiburan yang dirancang untuk memberikan pengalaman yang unik. Kemudian, media sosial sebagai realitas alternatif. Platform media sosial menciptakan realitas alternatif di mana orang-orang menampilkan versi ideal dari diri mereka. Kota-kota besar sering menjadi latar belakang bagi konten-konten ini, menciptakan citra tertentu tentang gaya hidup perkotaan. Media sosial dan perkotaan menjadi sepasang kekasih yang menyebarkan virus-virus barat. Iklan dan branding kota menciptakan citra tertentu tentang suatu kota, yang seringkali tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Desain-desain perumahan kota yang memiliki bangunan-bangunan ikonik di kota-kota besar seringkali memiliki makna simbolis yang lebih kuat daripada fungsi sebenarnya. Tata Kelola perkotaan yang menyuguhkan bentuk liburan paling ideal. Pariwisata massal menciptakan pengalaman yang terstandarisasi dan seringkali tidak otentik. Kota-kota besar seringkali kehilangan identitas lokalnya karena pengaruh globalisasi dan homogenisasi budaya. Maka tidak heran apabila konsep jean Baudrillard mengenai dunia simulacra dan kehadiran hiperrealitas menjadi sangat relevan dan penting untuk dipahami.
ADVERTISEMENT
Apakah hiperrealitas berlaku dalam masyarakat pedesaan?
Pada abad 21 telah melahirkan fenomena migrasi masal dari pedesaan menuju perkotaan. Pada kehidupan kota merupakan kehidupan yang mencerminkan masyarakat modern, masyarakat digital, masyarakat yang kabur, semu dan penuh dengan simulasi-simulasi. Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya bahwa hiperrealitas tubuh subur di perkotaan. Namun bagaimana dalam masyarakat pedesaan?
Konsep hiperrealitas yang sering dikaitkan dengan kehidupan perkotaan yang serba cepat dan penuh dengan simulasi, mungkin terdengar asing ketika diterapkan pada konteks desa. Namun, jika kita cermati lebih dalam, kita akan menemukan bahwa elemen-elemen hiperrealitas juga dapat muncul di masyarakat desa, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Hiperrealitas di desa mungkin tidak sekompleks di kota, namun dapat muncul dalam bentuk yang lebih halus dan tersembunyi. Misalnya adalah tradisi adat yang termodifikasi. Ritual adat yang dimodifikasi untuk menarik wisatawan dapat kehilangan makna aslinya dan menjadi lebih bersifat pertunjukan. Selain itu juga seringkali kita mendengar adanya standarisasi desa ideal atau citra desa ideal. Media seringkali menampilkan citra desa yang sangat ideal, dengan alam yang indah dan masyarakat yang harmonis, tanpa menyoroti masalah-masalah sosial yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Pada diskursus ini dapat dikatakan bahwa hiperrealitas bukan suatu fenomena yang eksklusif bagi perkotaan atau tercentral pada kota. Meskipun dalam bentuk yang berbeda, elemen-elemen hiperrealitas juga dapat ditemukan di masyarakat desa. Penting untuk memahami dinamika ini agar kita dapat menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian nilai-nilai lokal.