3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Media Sosial sebagai Ruang Keadilan

Mochammad Yogik Septiawan
Peneliti Muda Academia Forum Karya Buku : Buku Syair-syair terbuang (ISBN Progresif) Buku Meniti jalan sunyi, menggapai mimpi (ISBN Umsurabaya Publishing)
28 Februari 2025 22:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mochammad Yogik Septiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/telepon-genggam-smartphone-1917737/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/telepon-genggam-smartphone-1917737/
ADVERTISEMENT
Memasuki era digital tentunya memberikan dampak kepada masyarakat. Baik itu berdampak baik maupun berdampak buruk. Ketika teknologi hadir dan turut serta dalam kehidupan sehari-hari manusia, ada ketegangan antara kelompok pro dan kontra. Sebagian besar akan berada pada posisi kontra, mungkin saja dengan dasar yang beragam. Penolakan tersebut lambat laun memudar, barangkali sudah bisa menggunakan teknologi modern atau juga sudah mengetahui dampak baik dari teknologi modern.
ADVERTISEMENT
Viralitas menjadi langkah paling efektif dalam melakukan pelaporan terhadap pelaku tindak kejahatan. Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar yang jelas, fenomena sosial yang terjadi menunjukkan dunia maya atau media sosial menjadi ruang pengungkapan dan perlawanan terhadap bentuk kejahatan. Sebagaimana di katakan oleh Marshall McLuhan seorang filsuf dan teoritikus komunikasi asal Kanada yang termuat dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: The Extensions of Man (1964). Bahwa menurutnya "The Medium is the Message" yaitu media membawa pesan. Media sosial tentunya menjadi ruang dimana manusia dapat menyampaikan informasi secara lebih luas. Oleh karena pentingnya media juga membawa kepada budaya viralitas di masyarakat saat ini untuk meminta keadilan.
Fenomena no viral no justice
Fenomena yang terjadi belakangan ini adalah budaya viralitas, budaya yang menunjukkan viral lebih penting daripada pihak berwajib atau institusi negara yang seharusnya menangani perkaranya.
ADVERTISEMENT
Pertama, tentunya kasus yang hampir 8 tahun baru di proses oleh pihak berwajib adalah kasus Vina Cirebon. Vina merupakan korban pemerkosaan dan pembunuhan yang di lakukan oleh sekelompok genk motor. Kasus tersebut terjadi sejak februari 2016. Sudah hampir 8 tahun polisi tidak melakukan penangan pasca terjadinya pembunuhan dan pemerkosaan Vina. Kasus tersebut kembali naik ke publik setelah di angkat menjadi film dengan judul "Vina sebelum tujuh hari". setelah viral di media sosial, pihak kepolisian akhirnya menangani kasus pemerkosaan dan pembunuhan tersebut. Tentunya budaya viralitas seakan menjadi lebih di dahulukan daripada melaporkan kepada pihak berwajib.
Kemudian adalah kasus kekerasan toko roti. Kasus yang terjadi di penghujung akhir tahun 2024 ini mendapatkan penanganan pihak berwajib setelah viral di media sosial. Penganiayaan dilakukan oleh GSH yaitu anak bos toko roti terhadap pegawai toko roti. Kasus tersebut menjadi viral setelah korban membagikan pengalaman pahitnya kepda media sosial. Unggahan viral tersebut mendorong pihak kepolisian untuk menyelidiki kasus ini. Akhirnya, Polda Metro Jaya bersama Polres Jakarta Timur berhasil menangkap GSH/anak bos toko roti di sebuah hotel di Sukabumi pada 16 Desember 2024.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan kasus Agus buntung yang terlibat pelecehan seksual. Setelah korban bermunculan ke publik membagikan pengalamannya atas perilaku agus buntung di media sosial, banyak netizen mendesak untuk segera di proses pihak berwajib. Pada Desember 2024, pihak kepolisian menetapkan I Wayan Agus Suartama, yang dikenal sebagai Agus Buntung, sebagai tersangka dalam kasus ini.
Dari berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa keadilan akan di dapatkan ketika kita menunjukkan kepada publik melalui media sosial.