news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Dilema Identitas Bengkulu: Antara Sejarah, Budaya, dan Pergantian Julukan

Yogi Kurniawan
Campaign Officer SDGs Center UNIB
5 Maret 2025 12:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yogi Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Penulis
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, masyarakat Bengkulu ramai memperbincangkan wacana pergantian julukan yang erat dengan Provinsi Bengkulu, yaitu "Bumi Rafflesia," yang akan diganti dengan "Bumi Merah Putih." Gubernur Bengkulu yang baru, Helmi Hasan, menyuarakan agar Bengkulu disebut sebagai "Bumi Merah Putih." Ia menilai sebutan tersebut lebih erat kaitannya dengan Bengkulu karena adanya tokoh yang menjahit Bendera Sang Saka Merah Putih, yaitu Ibu Fatmawati. Selain itu, nama "Bumi Rafflesia" dinilai memiliki keterkaitan dengan kolonialisme karena berasal dari nama yang berhubungan dengan penjajah yang pernah datang ke Bengkulu.
ADVERTISEMENT
Pada 15 Agustus 2025, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Fatmawati Bengkulu, Prof. Zulkarnain, mengusulkan agar Provinsi Bengkulu disebut sebagai "Bumi Merah Putih." Ia beralasan bahwa julukan "Bumi Rafflesia" memiliki kesan lebih dekat dengan kolonialisme, sedangkan julukan yang baru dinilai lebih mencerminkan sejarah dan budaya masyarakat Bengkulu.
Asal Usul Julukan Bumi Rafflesia
Julukan "Bumi Rafflesia" yang melekat pada Bengkulu berasal dari sejarah penemuan bunga langka Indonesia, Rafflesia arnoldii, di wilayah tersebut. Bunga yang dikenal sebagai "Padma Raksasa" ini pertama kali ditemukan oleh Louis Auguste Deschamps, seorang ilmuwan asal Prancis, pada tahun 1797. Namun, spesimen dan catatan penelitiannya disita oleh Inggris selama perang dengan Prancis, sehingga dunia ilmiah baru mengenal temuan ini pada tahun 1954.
ADVERTISEMENT
Pada 19–20 Mei 1818, Thomas Stamford Raffles bersama Joseph Arnold kembali menemukan Rafflesia arnoldii dalam ekspedisi mereka di Bengkulu. Nama bunga ini pun mengabadikan kedua ilmuwan tersebut—"Raffles" sebagai nama genus dan "arnoldii" sebagai nama spesies. Hingga kini, Rafflesia arnoldii dapat ditemukan di Pulau Sumatra, terutama di Provinsi Bengkulu, yang menjadi alasan julukan "Bumi Rafflesia" disematkan pada daerah ini.
Dampak Pergantian Julukan Bumi Rafflesia
Mengganti julukan suatu daerah bukan sekadar mengubah nama, tetapi juga memerlukan banyak pertimbangan. "Bumi Rafflesia" sudah sangat familiar bagi masyarakat Bengkulu dan bahkan menjadi identitas dalam berbagai aspek. Dalam dunia usaha, banyak pelaku UMKM yang melabeli produk mereka dengan nama "Rafflesia." Begitu pula dengan komunitas dan anak muda Bengkulu yang kerap menggunakan sebutan ini dalam berbagai kegiatan.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka yang merantau untuk bersekolah, bekerja, atau mengikuti kompetisi di luar daerah maupun luar negeri, menyebut asal dari "Bumi Rafflesia, Bengkulu," menjadi kebanggaan tersendiri. Nama ini telah menjadi bagian dari identitas dan kebanggaan daerah yang mengakar kuat di masyarakat.
Memperkenalkan nama baru agar dikenal luas oleh publik membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hingga kini, Provinsi Bengkulu belum memiliki tingkat pengenalan setinggi daerah lain, seperti Bali yang dikenal sebagai "Pulau Dewata" atau Yogyakarta dengan julukan "Kota Gudeg," "Kota Pelajar," dan "Kota Budaya." Sementara itu, bunga Rafflesia masih menjadi simbol yang sangat melekat dengan keunikan dan ciri khas Bengkulu.
Pro dan Kontra Pergantian Julukan Menjadi Bumi Merah Putih
Sebutan "Bumi Rafflesia" sangat lekat dengan Bengkulu. Namun, nama tersebut hanya berfungsi sebagai identitas dan ciri khas daerah, tanpa adanya aturan baku yang menetapkannya—baik dalam regulasi daerah maupun keputusan kepala daerah. Hal yang sama juga berlaku untuk nama baru "Bumi Merah Putih," yang hingga kini hanya sebatas sebutan semata.
ADVERTISEMENT
Pergantian julukan menjadi "Bumi Merah Putih" dianggap terlalu umum dan terkesan mengikuti istilah yang digunakan dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yakni "Kabinet Merah Putih." Sebelumnya, saat menjabat sebagai Wali Kota Bengkulu, Helmi Hasan pernah memperkenalkan julukan "Bengkulu Kota Hadis" dengan harapan kota ini akan melahirkan banyak ahli dan penghafal hadis. Namun, dalam praktiknya, banyak yang menilai inisiatif tersebut tidak berjalan sesuai tujuan.
Ke depan, perubahan julukan ini akan menimbulkan pertanyaan: apakah memang merupakan kebutuhan masyarakat atau hanya keinginan sebagian pihak? Meski hanya berupa julukan, nama yang melekat pada suatu daerah menjadi ciri khas sekaligus bagian dari identitas yang memperkuat branding di tingkat nasional maupun internasional.
Jika pergantian julukan ini bukan suatu urgensi, pemerintah dapat mempertimbangkan opsi lain, seperti menambah sebutan untuk Bengkulu tanpa harus menghilangkan yang sudah ada. Banyak daerah di Indonesia yang memiliki lebih dari satu julukan, tetap mempertahankan identitasnya, sekaligus memperkaya keunikan dan daya tarik daerah tersebut.
ADVERTISEMENT