Bicara Tentang Toxic Relationship

Yolanda Ulandari Linzonia
Hi! Saya Yolanda Ulandari Linzonia, 23 tahun.
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2021 15:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yolanda Ulandari Linzonia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Alena Darmel from Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Alena Darmel from Pexels
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini penulis sering mengisi waktu luang dengan membuat konten diskusi di sosial media Instagram. Penulis menggunakan fitur question box di insta-story sebagai sarana berdiskusi. salah satu kontennya berisikan pertanyaan "Pernah se-toxic apa hubungan kamu? (sama pacar/ teman/ keluarga)". Cukup banyak yang membagi ceritanya, mulai dari hubungan dengan pasangan sampai hubungan dengan orang tua dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Bicara Tentang Toxic Relationship dengan Pasangan
Memang pada saat ini toxic relationship lebih banyak dikaitkan dengan hubungan asmara. Toxic relationship yang marak terjadi di sebuah hubungan asmara dapat dilihat dari adanya keegoisan, rasa cemburu yang berlebihan, tidak menjadi diri sendiri, diri dikendalikan oleh pasangan, terkekang sehingga sulit bersosialisasi dengan orang lain, kekerasan verbal maupun kekerasan fisik, dan bentuk lainnya.
Jika dilihat dari catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2020, dinyatakan bahwa terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan dan terdapat sebanyak 1.309 kasus kekerasan dalam pacaran. Dari data tersebut telihat jelas bahwa toxic relationship memang banyak terjadi. Dalam hal ini bukan hanya perempuan yang menjadi korban dan laki-laki sebagai pelakunya tetapi bisa juga sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Berikut cerita teman online di Instagram penulis tentang pengalamannya berada di dalam hubungan asmara yang toxic:
"Mantan aku gaslighting," - F
"Mantan aku dulu gak bolehin aku punya teman cowo dan gak boleh aktif di sekolah," - S
"Aku gak dibolehin main sama sahabat atau teman cowo, pakaian yang ku pakai dan riasan yang ku pakai dikomentari, kalau aku mengunggah insta-story dibilang caper," - W
"Pacarku selingkuh, tapi aku maafin dan kita tetap bersama," - R
"Mantan aku dulu ngelarang aku main dan ketemu sahabat aku sendiri," - V
"Mantan aku pernah melakukan kekerasan ke aku," - F
"Diposesifin habis-habisan, jam istirahat atau pulang udah ditungguin di depan kelas, dan pernah mau pergi sama teman kelas malah di marahin," - I
ADVERTISEMENT
"Mantan aku tempramen dan posesif parah, aku gak diizinin untuk ngobrol sama teman cowo dan kalau aku ketakutan dia bakal gaslight aku kaya aku yang nyakitin dia terus," - L
Ini sebagian cerita yang dituliskan teman online di question box penulis, sebagian lainnya memiliki cerita yang hampir mirip dengan cerita-cerita di atas.
Jika kamu dalam situasi hubungan asmara yang toxic, cepat pergi. Jangan jadikan cinta sebagai alasan untuk tetap bertahan, karena kamu sendiri yang akan menderita.
Bicara Tentang Toxic Family Relationship
Toxic relationship bukan hanya terjadi di hubungan asmara saja tapi juga bisa dialami di dalam hubungan keluarga. Toxic Family ini sendiri merupakan sebuah kondisi keluarga yang menyakiti, merusak kondisi mental dan psikologis, bahkan fisik satu sama lain. Sering kita dengar bahwa terdapat orang yang merasa tidak mendapat dukungan, tidak diberi apresiasi, disalahkan, tidak diberi ruang untuk berkembang dengan kemauannya sendiri, bahkan terkena kekerasan fisik dan merasa tidak aman ketika berada di dalam lingkungan keluarga. Di mana dalam hal ini justru anggota keluarga lah yang menjadi faktor orang tersebut sulit untuk berkembang.
ADVERTISEMENT
Biasanya Toxic family sering terjadi karena disfungsionalnya peran orang tua. Dalam tulisan Forward & Buck pada tahun 2002 dalam bukunya yang berjudul Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life, ia menyatakan bahwa terdapat beberapa ciri dari toxic parents. Ciri ini berupa melibatkan anak dalam masalah yang dialami orang tua, sehingga anak merasa bersalah, mengatur tanpa adanya kompromi dengan anak, memberikan hukuman fisik dengan alasan kedisiplinan berlebihan, menyalahkan anak, tidak mengapresiasi dan menghargai usaha anak, mengungkit kembali kesalahan anak padahal sudah berlalu, bahkan sampai mengumbar keburukan anak kepada orang lain.
Berikut cerita teman online di Instagram penulis tentang pengalamannya berada di dalam toxic family:
"orang tua aku tempramen jadi dirumah vibesnya negatif atau gak enak," - F
ADVERTISEMENT
"Orang tua aku tiap aku dapet nilai yang udah bagus jawabannya malah coba kalau kamu gak pacaran pasti ipnya 4, padahal ip ku udah di atas 3,5 atau coba kamu gamain terus pasti nilainya bagus-bagus, padahal nilainya udah A semua," - S
"Abang aku gak pernah support semua pilihan ku, dari mulai kuliah gak didukung, kerjaan pun gak didukung," - J
"Papa ku sangat sensian, tempramen, gak bisa diajak bercanda, dan kalau marah suka teriak-teriak," - A
Dari cerita ini dapat terlihat bahwa terkadang berada di tempat yang harus nya paling nyaman, tetapi malah menjadi tempat yang paling tidak nyaman.
Dampaknya sangat tidak baik terhadap tumbuh kembang seseorang. Padahal keluarga merupakan salah satu lingkungan yang paling pertama dan utama dalam proses tumbuh kembang anak. Selain itu toxic family juga dapat berdampak pada penurunan kepercayaan diri, dan terbiasa menyalahkan diri sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang toxic juga akan membuat seseorang merasa tidak berharga, merasa tidak memiliki siapapun termasuk teman, dihantui rasa bersalah, emosional atau mudah marah, stress, ataupun gangguan mental yang lain.
ADVERTISEMENT
Jika kamu terkungkung dalam keluarga yang toxic, usahakan untuk berkomunikasi dengan baik dan lebih intens. Buat suasananya senyaman mungkin untuk mengutarakan pendapat dan apa yang kamu rasakan. Jika kamu butuh bantuan karena tindak kekerasan, segera cari bantuan dan jangan jadikan ikatan keluarga sebagai alasan kamu tidak bertindak apa-apa dan membiarkan dirimu terluka.