Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Isu Lingkungan yang Menumpuk di Gudang Media
29 Juni 2022 16:26 WIB
Tulisan dari Yolanda Florencia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bumi terus mengalami penambahan usia, masalah yang dihadapinya pun kian meningkat. Namun, media tampaknya enggan untuk lebih banyak menggaungkan isu lingkungan. Wajah bumi yang sudah compang-camping dianggap kurang seksi sehingga porsi pemberitaannya jauh lebih sedikit dibandingkan topik ekonomi, politik, bahkan infotainmen.
ADVERTISEMENT
Padahal, keberadaan jurnalisme sains sangat dibutuhkan untuk mendorong kesadaran masyarakat akan masalah-masalah iklim. Tak peduli sebanyak apapun proyek yang dilakukan oleh para penggiat lingkungan dan seinovatif apapun hasil temuan para ilmuwan bagi bumi ini, informasinya akan kurang dilirik masyarakat apabila tidak disorot oleh media.
Karena itulah, organisasi gerakan lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kerap mengadakan kolaborasi dengan para jurnalis. Direktur Eksekutif WALHI, Meiki Wemly Paendong mengutarakan strategi organisasinya dengan mengadakan sejumlah kolaborasi bersama para jurnalis di Talkshow Parade Jurnalistik 2022.
Selaku penggiat lingkungan, Meiki menuturkan keinginannya untuk menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas lagi. Namun, keinginan itu terbentur berbagai keterbatasan.
"Rata-rata kami orang lapangan, jadi kemampuan menulisnya itu masih kurang. Dengan segala keterbatasan itu kami berstrategi agar tetap terpublikasi dan siapa yang bisa membantu itu ya teman-teman jurnalis," ujar Meiki.
ADVERTISEMENT
Demikianlah kolaborasi antara WALHI dan jurnalis terbangun. Di kala WALHI melaksanakan suatu projek bertema lingkungan, mereka akan menginformasikannya kepada jejaring jurnalis agar temuan tersebut dapat terpublikasi.
"Apa pun hasil kegiatan, apa pun temuan yang kami hasilkan di lapangan, sebisa mungkin kami komunikasikan dengan kawan-kawan jurnalis dengan harapan mereka tertarik untuk meliput," tutur Meiki.
Begitu pula dengan hasil temuan para ilmuwan yang bentuknya masih kaku dan tersimpan dalam jurnal-jurnal yang cukup sulit diakses oleh masyarakat luas, juga memerlukan peran serta pers untuk membuat produk-produk jurnalistik yang dapat menyampaikan informasi ke segala lapisan publik.
"Ada kebutuhan jurnalisme yang harus jadi kepanjangan tangan dalam menginformasikan hasil-hasil temuan terkait perubahan iklim ataupun lingkungan," kata Meiki.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, isu lingkungan dianggap kurang menjual oleh media. Sebagai arus utama saluran informasi, media terbilang jarang mengangkat masalah-masalah iklim, kecuali ada momentum tertentu yang berdampak besar seperti bencana.
"Saat ini, kalau yang saya rasakan, isu-isu terkait lingkungan hidup dan perubahan iklim masih kalah dibandingkan isu-isu lain di luar itu, isu politik, entertainment, sosial, dan lain-lain," paparnya.
Topik bencana alam pun kerap hanya diberitakan secara sederhana, tidak dibahas secara mendalam dari sisi perubahan iklimnya. "Misalnya terjadi hujan badai dengan intensitas tinggi (dan) angin puting beliung yang tidak lazim kita alami, itu tanda-tanda nyata hasil dari perubahan iklim. Jadi, tidak semata-mata itu alami," ujar Meiki.
Karena ketidakpopuleran isu lingkungan dalam media, strategi WALHI memanfaatkan jejaring jurnalis untuk publikasi hasil proyeknya tidak selalu berhasil. Isu yang organisasinya ajukan beberapa kali ditolak karena tidak sesuai dengan agenda media.
ADVERTISEMENT
"kawan-kawan jurnalis ini ada batasan batasan tertentu, apalagi yang tidak bekerja secara independen atau berdasarkan instruksi dari pimpinan,” jelasnya.
Walaupun jurnalis yang dikontak oleh pihaknya memiliki ketertarikan akan isu lingkungan, mereka kurang berani mengangkat topik yang diajukan WALHI karena khawatir hasil tulisannya hanya menumpuk di gudang media, tanpa pernah dipublikasikan.
“Jadi bukan dari jurnalisnya sebenarnya, kalo jurnalis kan dia punya intuisi sendiri ya, tapi ada batasan. Isu ini setelah ditulis, tapi tidak terpublikasi, ada kejadian seperti itu,” katanya.
Kendati demikian, WALHI tidak cepat menyerah untuk memperjuangkan isu lingkungan yang digarapnya agar tersebar luas dan membuka wawasan masyarakat. Berangkat dari penolakkan para jurnalis yang sebenarnya tertarik dengan isu lingkungan namun terhalang agenda media tersebut, WALHI mengadakan suatu workshop mengenai proyek-proyek lapangan mereka dengan mengundang para pemimpin redaksi (Pemred) media-media Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Kami pernah berstrategi seperti itu, kita adain bareng AJI Bandung. AJI Bandung bagian yang ngundang Pemred, nanti WALHI yang presentasi (mengenai proyek lingkungan garapan WALHI) untuk menekankan bahwa isu ini penting untuk diliput,” tutur Meiki.
Harapannya, para Pemred yang diundang tertarik dengan topik yang sedang digarap WALHI dan mau menugaskan jurnalis lapangannya untuk meliput proyek mereka.
Segala upaya yang dikerahkan WALHI itu tak lain untuk mengambil kesempatan mempromosikan kegiatan ramah lingkungan guna memperlambat laju perubahan iklim. Apalagi, saat ini kesadaran masyarakat mengenai isu lingkungan sedang cukup tinggi, terutama para generasi muda.
“Tentunya keberadaan aktivisme jurnalistik sangat membantu kami dalam konteks kampanye isu perubahan iklim dan lingkungan hidup ini dapat sampai ke masyarakat karena bagaimanapun kami ada keterbatasan dan salah satu langkah taktis yang bisa kami tempuh adalah bentuk kolaborasi dengan dunia jurnalistik,” tandasnya.
ADVERTISEMENT