Pertanggungjawaban E-commerce dalam Jual Beli Barang KW

Yolanda Amorita Virginia Hartawan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 20:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yolanda Amorita Virginia Hartawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi transaksi online. Foto ini diambil dari https://pixabay.com/images/search/online%20shopping/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi transaksi online. Foto ini diambil dari https://pixabay.com/images/search/online%20shopping/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di Indonesia, jual beli barang KW atau palsu menjadi hal yang lazim dilakukan masyarakat. Kecenderungan masyarakat untuk membeli barang KW disebabkan oleh harganya yang lebih terjangkau dengan manfaat yang serupa dengan barang aslinya. Walaupun tidak dapat membeli barang yang asli, masyarakat tetap mendapatkan kepuasan dan kegunaan yang sama karena bentuknya yang mirip. Tingginya peminat barang KW di Indonesia menyebabkan produsen berbondong-bondong memproduksi barang tersebut dan mendirikan industri sendiri. Pendistribusian barang KW ini dilakukan secara bebas di pasar tradisional, pusat perbelanjaan, hingga situs e-commerce.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan hal tersebut, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (“USTR”) merilis daftar pasar terkenal berisikan e-commerce dan pasar fisik yang dianggap memfasilitasi dan meraup keuntungan dari pemalsuan merek dagang pada tahun 2021. Hasilnya, USTR berhasil mengidentifikasi 42 e-commerce dan 35 pasar fisik di seluruh dunia yang dinilai memfasilitasi penjualan barang-barang palsu dari Amerika serikat. Barang palsu yang ditemukan berasal dari kategori yang beragam seperti pakaian, aksesori, buku, dan lain sebagainya.
Sayangnya, dalam daftar tersebut, masih terdapat tiga nama e-commerce Indonesia yang masuk dalam pengawasan AS, yakni Bukalapak, Shopee, dan Tokopedia. Penjual di platform-platform e-commerce ini menjual barang asli yang berharga fantastis dengan harga yang lebih murah, bahkan dibanting 10x lipat dari harga aslinya. Merek fashion ternama seperti Gucci yang awalnya dibandrol puluhan juta rupiah hanya dijual dengan harga ratusan ribu disini.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, penjualan barang KW ini melanggar Hak Kekayaan Intelektual karena telah memalsukan merek serta menjiplak karya orang lain tanpa seizin penciptanya. Tidak hanya menjiplak, produsen Barang KW juga meraup keuntungan dari penjualan tersebut. Lantas, apakah peredaran barang KW yang melanggar hukum ini menjadi tanggung jawab dari e-commerce sebagai media transaksi jual beli online tersebut?
Dilansir dari Hukum Online, jika mengacu pada Pasal 22 ayat (1) PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“PMSE”), pihak e-commerce pada dasarnya bertanggung jawab atas konten informasi elektronik ilegal seperti halnya konten penjualan barang KW ini. Pihaknya akan dimintai pertanggungjawaban atas dampak atau konsekuensi hukum akibat keberadaan suatu konten informasi elektronik ilegal. Akan tetapi, ketentuan pasal itu tak bisa dilepaskan dari safe harbour policy.
ADVERTISEMENT
Safe harbour policy adalah kebijakan pemerintah yang memisahkan tanggung jawab penyedia situs jual beli daring dengan penjual yang menggunakan jasa mereka. Intinya, e-commerce tidak bisa langsung diperkarakan atas keberadaan konten penjualan barang KW tersebut. Pasal yang mendukung ketentuan ini yaitu Pasal 22 ayat (2) PP PMSE No. 80 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa ketentuan pada ayat (1) di atas tidak berlaku apabila pihak e-commerce yang bersangkutan bertindak cepat untuk menghapus link elektronik dan/atau konten informasi elektronik ilegal setelah mendapat pengetahuan atau kesadaran. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 22 ayat (2), kata ‘bertindak cepat’ diartikan sebagai perintah untuk ‘segera bertindak’ setelah mengetahui sendiri maupun menerima pemberitahuan dari pihak lain tentang adanya suatu konten informasi elektronik ilegal.
ADVERTISEMENT
Terdapat prosedur tertentu yang bisa dilakukan oleh pihak e-commerce. Prosedur yang bisa dilakukan oleh pihak e-commerce adalah melakukan takedown terhadap konten tersebut. Jika suatu platform tidak segera menindaklanjuti dengan melakukan takedown, maka platform itu bisa dianggap turut serta melakukan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”)
Selain dianggap mendukung perbuatan illegal, platform e-commerce juga bisa dituntut atas pelanggaran Pasal 55 KUHP jika tidak sigap menangani laporan pelanggaran HKI yang terjadi di platformnya serta teridentifikasi mengabaikan keberadaan kasus pelanggaran HKI. Bentuk laporan pelanggaran HKI dapat berupa gugatan kepada akun penjual maupun platform online itu sendiri. Namun, keberadaan peraturan masih gagal dalam menurunkan statistik produk KW yang diperdagangkan secara bebas di platform-platform e-commerce. Pertanyaannya baru yang muncul adalah, apakah platform tidak melaksanakan ketentuan yang diwajibkan kepada mereka dengan baik? dan efektifkah peraturan ‘bertindak cepat’ dalam memberantas pelanggaran hukum ini?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan tersebut dapat dijawab berdasarkan pernyataan dari Dirjen HKI Kemenkumham, yang beranggapan bahwa penegakan hukum dengan ketentuan yang sudah dipaparkan di atas kurang efektif karena sifat dari pemidanaan atas pelanggaran merek dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis masuk dalam kategori delik aduan. Oleh karena itu, apabila tidak ada pengaduan atau persetujuan dari pihak yang berhak untuk mengajukan tuntutan dalam suatu perkara pidana pelanggaran merek, maka platform tidak bisa dianggap turut serta melakukan pelanggaran HKI.
Hal tersebut Berbeda dengan UU Merek sebelumnya yaitu UU No. 15 tahun 2001 yang dinilai lebih efektif karena penindakannya bisa dilakukan atas inisiatif DJKI. Terlebih, penjual yang akunnya sudah di takedown, dapat membuat akun pengganti lagi dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Selain memperkarakannya melalui UU Merek dan Indikasi Geografis, pihak yang dirugikan akibat peredaran suatu barang palsu bisa menempuh tiga alternatif penyelesaian perkara lain. Alternatif Pertama dapat dilakukan melalui gugatan perdata kepada Pengadilan Niaga. Permohonan gugatan yang diajukan bisa untuk menuntut adanya ganti rugi beserta permohonan penghentian perbuatan atau kegiatan (produksi, pengedaran dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa tersebut). Sedangkan alternatif kedua yakni melalui mediasi. proses ini cukup diminati oleh pelaku usaha. Setelah itu baru melakukan alternatif pidana dengan delik aduan melalui proses penyidikan berdasarkan laporan/pengaduan kepada penyidik Polri atau PPNS DJKI (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual).