Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hitam Putih Amerika Serikat
12 Juli 2018 0:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Yomi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar nama Amerika Serikat (AS), mungkin sebagian besar dari kita akan membayangkan sebuah negara adidaya, maju, demokratis, dan teratur. Negara di mana hak-hak individu dan HAM dijunjung tinggi, serta kehidupan sosial kemasyarakatan harmonis tanpa masalah.
ADVERTISEMENT
Benarkah demikian? Sebagian mungkin benar, namun sebagian ternyata tidak seperti yang kita pikirkan selama ini.
Kehidupan sosial kemasyarakatan warga AS dalam rentang waktu 4-5 tahun terakhir, diwarnai dengan ketegangan dan konflik yang melibatkan etnik, ras, dan warna kulit warganya. Beberapa kasus terkait isu warna kulit ini menjadi pemicu berbagai demo dan kerusuhan besar di beberapa kota di AS. Permasalahan rasial ini juga melanda kalangan artis di Hollywood serta mahasiswa dan akademisi di kampus-kampus.
Sentimen negatif terhadap aparat kepolisian yang dianggap brutal terhadap penduduk Afrika-Amerika merupakan salah satu pemicu gelombang demonstrasi dan kerusuhan di AS dalam beberapa tahun belakangan. Kematian Eric Garner pada 17 Juli 2014 di Staten Island-New York, Michael Brown pada 9 Agustus 2014 di Fergusson-Missouri, Freddy Gray pada 12 April 2015 di Baltimore-Maryland, dan Keith Lamont Scott pada 20 September 2016 di Charlotte-North Carolina, merupakan beberapa kasus besar yang menyulut kemarahan warga Afrika-Amerika terhadap aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
Berita tentang kematian ini begitu cepat menyebar di kalangan warga Afrika-Amerika dan memicu gelombang protes yang berakhir dengan kerusuhan masa.
Berbagai aksi kerusuhan ini diwarnai dengan penutupan berbagai ruas jalan dan tol, perusakan gedung-gedung di pusat bisnis, pembakaran kendaraan dan fasilitas publik, serta penjarahan pusat-pusat perbelanjaan. Kasus-kasus kerusuhan ini selalu merambat ke kota-kota lain di AS sebagai bentuk solidaritas sesama warga Afrika-Amerika.
Dalam menghadapi kerusuhan ini, seringkali Pemerintah Kota dan Negara Bagian memberlakukan jam malam serta menurunkan ribuan Garda Nasional sebagai back up petugas kepolisian.
Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya organisasi “Black Lives Matter”, sebuah gerakan sosial melawan rasisme dan kekerasan terhadap warga Afrika-Amerika di AS.
Hollywood sebagai pusat perfileman AS juga tidak luput dari isu dan sentimen warna kulit ini. Ajang penghargaan Piala Oscar bagi pelaku film di AS ini, sejak tahun 2015 dituduh bertindak diskriminatif dan rasis dengan sedikitnya aktor dan aktris kulit berwarna yang masuk nominasi dan menjadi pemenang penghargaan.
ADVERTISEMENT
Gerakan #OscarSoWhite-pun menyebar melalui media masa sebagai bentuk protes. Pada tahun 2016, artis Jada Pinkett Smith dan beberapa aktor lain mengajak kalangan selebritis Afrika-Amerika untuk memboikot acara penghargaan ini.
Terpilihnya Donald John Trump sebagai presiden Amerika Serikat yang Ke-45 pada Januari 2017, semakin mempertajam konflik antar warga di AS. Pasca-Pemilu Presiden, warga terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu pendukung Presiden Trump yang mayoritas adalah warga kulit putih pemilih Partai Republikan yang konservatif, dan kubu anti-Presiden Trump yang mayoritas merupakan warga kulit berwarna simpatisan Partai Demokrat yang liberal.
Bagi sebagian besar kubu anti-Presiden Trump, kubu pro-Presiden Trump dianggap sebagai pendukung gerakan white supremacist. Pertikaian dua kubu ini merambat hingga ke kampus-kampus di AS, beberapa pembicara ternama yang dianggap konservatif berulang kali dilarang dan didemo ketika menjadi pembicara di beberapa universitas terkemuka di AS, salah satunya adalah politikus konservatif Ben Shapiro.
ADVERTISEMENT
Hal ini memicu perdebatan mengenai kebebasan berbicara dan berpendapat di AS yang dianggap sebagai hak setiap warga.
Isu ras dan warna kulit di kampus-kampus AS juga menjadi sorotan ketika beberapa universitas merancang “safe space” bagi mahasiswa kulit berwarna yang tidak dapat dimasuki oleh mahasiswa kulit putih. Seperti Washington University di St. Louis yang membuat “safe space” khusus bagi mahasiswa kulit hitam.
Di tempat lain, mahasiswa Evergreen State College di Washington menuntut agar seluruh mahasiswa dan dosen kulit putih untuk tidak masuk ke lingkungan kampus selama “Day of Absence”. Salah seorang dosen kulit putih yang menolak untuk memenuhi tuntutan dimaksud menjadi sasaran demonstrasi mahasiswa dan membubarkan kelas dosen dimaksud.
ADVERTISEMENT
Gerakan-gerakan di kampus ini dikritik sebagai bentuk segregasi atau pemisahan warga berdasarkan warna kulit.
Selain itu, monumen-pun tidak luput dari isu rasial ini, lebih dari 30 patung dan monumen di berbagai kota di AS beberapa tahun belakang telah dirobohkan karena dianggap rasis. Mayoritas patung-patung ini adalah patung tokoh perang sipil AS yang dianggap mendukung perbudakan warga kulit hitam. Perang sipil AS pecah antara kelompok Negara Bagian Konfederasi dan kelompok Negara Bagian Union pada tahun 1981-1986.
Tak terlepas di situ, pilihan gaya hidup dan berpakaian pun merupakan hal yang sensitif di AS. Beberapa selebritis kulit putih mendapat kecaman dari masyarakat karena dianggap melakukan “cultural appropriation” terhadap budaya masyarakat Afrika-Amerika. Salah satunya adalah ketika Kim Kardhashian menggunakan gaya rambut “cornrows” yang dianggap merupakan budaya warga Afrika-Amerika.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak. Tulisan ini hanya diharapkan menjadi cermin bagi masyarakat Indonesia yang sering kali beranggapan bahwa negara maju hanya melulu memikirkan teknologi dan ruang angkasa. Ternyata mereka juga memiliki permasalahan yang sama seperti bangsa kita.
Live Update