Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jati Diri Masjid di Minangkabau
26 Juli 2018 9:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Yomi Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang hingga sekarang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai – Adat bajanjang naik bertangga turun” yang artinya kurang lebih adalah adat bersendikan syariah, syariah bersendikan kitab Allah, syariah berkata dan adat yang memakai. Berbagai ajaran agama dan adat ini disampaikan melalui petatah petitih dengan menggunakan bahasa yang berhias hikmah.
ADVERTISEMENT
Hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat Minangkabau bercerminkan kepada Al-Qur’an dan Hadist. Di kampung-kampung, anak-anak akan terlebih dahulu dikirim ke surau sebelum mereka menginjak taman kanak-kanak ataupun sekolah dasar, bukan hanya untuk belajar agama namun juga belajar seni bela diri dan adat istiadat mereka.
Masyarakat Minangkabau bukan saja masyarakat yang sangat patuh kepada adat istiadat namun juga adalah masyarakat yang memegang teguh agamanya. Dua aspek sosial ini mengakar kuat dalam kehidupan hampir seluruh masyarakatnya dan menjadi identitas penting yang dibawa kemanapun mereka pergi.
Namun, seringkali identitas keagamaan masyarakat Minangkabau ini dipertanyakan oleh masyarakat luar ketika membahas sistim adat istiadat di Ranah Minang. Sebut saja sistim adat matrilineal dan segala aturannya, seperti garis keturunan anak yang mengikut garis keturunan ibu atau aturan mengenai waris yang diwariskan secara turun temurun kepada perempuan atau Bundo Kanduang.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar terkait sistim dan aturan adat matrilineal dimaksud, karena sudah banyak tulisan yang mencoba menjelaskan. Tulisan ini akan mencoba melihat aspek lain dari falsafah hidup masyarakat Minangkabau tersebut, yakni reka bentuk dan arsitektur surau dan masjid di Minangkabau.
Bagi masyarakat Minangkabau, Islam adalah ajaran doktrin dan bukan gaya hidup orang Arab, Islam bukanlah Arab dan tidak semua Arab adalah Islam. Itulah sebabnya dalam banyak reka bentuk surau dan masjid di Ranah Minang, masyarakat Minangkabau lebih memilih ragam corak arsitektur lokal dan bukan meniru masjid di Timur Tengah.
Dalam hal fungsi, masjid dan surau bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah namun juga merupakan pusat sosial kemasyarakatan. Masjid merupakan pusat pendidikan agama dan budaya bagi anak nagari, sebagai tempat bermufakat, tempat menyelesaikan silang sengketa, sebagai tempat tinggal bagi anak laki-laki menjelang dewasa dan sebagai tempat menyusun strategi perang ketika menghadapi tentara kolonial pada masa penjajahan dahulu.
ADVERTISEMENT
Berikut beberapa bentuk masjid dan surau di Minangkabau yang sarat dengan budaya lokal mulai dari yang terbaru hingga yang tertua.
Masjid Raya Sumatera Barat
credit photo by @distragustinanda
Hampir semua masjid raya provinsi di Indonesia menggunakan kubah sebagai penanda masjid, namun Masjid Raya Sumatra Barat justru menggunakan gonjong sebagai ciri khasnya. Masjid yang berdiri di Jalan Khatib Sulaiman Padang ini merupakan sebuah perpaduan sempurna antara budaya lokal dan modernitas, sebuah bangunan yang berangkat dari filosofi lokal yang dikembangkan dengan unsur-unsur modern.
Selain menggunakan empat gonjong disetiap sisinya, masjid ini juga menggunakan songket sebagai façade bagian eksteriornya dengan berbagai ukiran lokal yang sarat dengan filosofi dan pesan moral.
Surau Lubuk Bauk
Surau Lubuk Bauk terletak di Nagari Batipuh Tanah Datar, surau ini berdiri pada tahun 1896 dan memiliki 3 lantai yang masing-masing lantai memiliki fungsi yang berbeda. Selain bentuknya yang mengadopsi bentuk rumah gadang, Surau ini juga sepenuhnya terbuat dari kayu tanpa penggunakan paku sama sekali. Di Surau inilah dulunya Buya Hamka kecil tinggal dan belajar menimba ilmu, selain itu Surau ini juga menjadi lokasi pengambilan gambar film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk sebuah film yang diangkat dari novel yang juga ditulis oleh Buya Hamka. Berbagai feature di Surau ini melambangkan agama, adat dan pemerintahan di Kerajaan Pagaruyung kala itu.
ADVERTISEMENT
Masjid Rao Rao
Masjid Rao Rao, Masjid ini terletak di nagari kecil di kaki gunung Marapi dan dibangun pada tahun 1892. Ide pembangunan masjid ini datang dari tokoh muda Rao-Rao yang baru saja menyelesaikan pendidikan agamanya di Mekkah dan pulang menjadi juru dakwah bersama dengan para sesepuh yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai dan ninik mamak. Bersama mereka merancang sebuah masjid yang tidak saja baik secara ilmu reka bentuk namun juga indah dipandang mata dengan semangat mengamalkan ajaran agama secara menyeluruh dan sejalan dengan adat Minangkabau. Atap Masjid ini terdiri dari empat gonjong yang melambangkan empat suku yang ada di Nagari Rao Rao saat itu yakni suku chaniago, piliang, patapang dan bendang mandahiling. Tiang-tiang dan pola lengkung yang ada di Masjid ini memiliki nuansa Eropa mengingat Masjid ini dibangun pada masa penjajahan Belanda.
Pembangunan Masjid ini tidak selalu mulus, berbagai kendala seringkali menghambat penyelesaian Masjid ini terutama dana. Terkait hal ini, maka para pemuka nagari-pun datang ke Malaysia untuk mencari sumbangan dana. Masyarakat Malaysia menyanggupi untuk membantu pendanaan marmer Masjid yang didatangkan dari Italia. Proses pengiriman marmer Masjid ini cukup panjang, dengan menggunakan kapal api dari Italia singgah di Malaka hingga ke Teluk Bayur. Dari Teluk Bayur dilanjutkan dengan kereta api menuju Payakumbuh dan dari Payakumbuh marmer ini diangkut dengan pedati menuju Nagari Rao Rao.
ADVERTISEMENT
Demikianlah sedikit dari sekian banyak Masjid dan Surau di Minangkabau yang tetap mempertahankan identitas lokal dalam menjalankan dan mengamalkan syariat agamanya. Semoga dengan makin menguatnya semangat kembali ke Surau serta revitalisasi Rumah Gadang yang diangkat oleh masyarakat Minangkabau akhir-akhir ini, semoga juga dapat terus mempertahankan jati diri masyarakatnya. Tidak digerus oleh berbagai pengaruh dari luar yang mencoba untuk menancapkan kakinya di Indonesia. Seperti yang dulu pernah disampaikan oleh Presiden pertama RI, Bapak Soekarno “… jika kalian Muslim janganlah menjadi orang Arab…”.
credit photos by 1 @distragustinanda , 2. @een.bone 3. @NikenOlivia 4. @ruthwibisono