Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Manuver PKS di Pilkada Jakarta 2024
25 Juni 2024 11:12 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Yons Achmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kembali lakukan gebrakan politik. Kali ini, melakukan manuver cantik dan berani. “PKS Resmi Usung Sohibul Iman Sebagai Calon Gubernur Jakarta,” begitu judul berita CNN Indonesia (23 Juni 2024).
ADVERTISEMENT
Pada pilkada Jakarta November mendatang, wakil ketua majelis syuro PKS yang juga mantan rektor Universitas Paramadina Jakarta inilah bakal bersaing dengan nama-nama calon gubernur Jakarta lain seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil sampai Ahok. Rupanya, sebagai partai pemenang di Jakarta, PKS telah memantapkan diri memutuskan kader terbaiknya sebagai calon gubernur.
Saya kira, gebrakan dan manuver ini cukup menarik dalam konteks politik praktis, sebuah langkah yang cukup berani walau sebagian orang masih meragukan keseriusan PKS mengambil jalan ini. Hanya saja, kalau dilihat dari perspektif komunikasi politik, semuanya menjadi fenomena yang wajar-wajar saja.
Setiap manuver partai yang melibatkan elite-elite politik di dalamnya, dalam kajian komunikasi politik, kondisi demikian lazim dikenal dengan tahapan ZOPA (zone of prosible agreement). Di mana, partai mulai berani membuka diri, melakukan manuver untuk menjajaki beragam peluang (kemungkinan), meyakinkan diri membuka area yang lebih fleksibel (luwes) untuk memperoleh kesepahaman bersama (mutual understanding), kemudian menjadi landasan kesepakatan bersama di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Saya melihat memang ada keseriusan PKS di sini. Salah satunya tampak dengan aktifnya juru bicara PKS yang mewarnai pemberitaan diberbagai media massa, baik cetak maupun online. Peran aktif “Humas” yang kemudian informasinya terdistribusi secara masif di berbagai platform media sosial (medsos). Nama jubir PKS semisal Ahmad Mabruri sangat aktif melakukan rasionalisasi pencalonan Sohibul Iman ini. Umpamanya, menjelaskan bagaimana tokoh ini punya integritas dan kapasitas yang mumpuni.
Di bawah pimpinan Sohibul Iman, dijelaskan misalnya PKS memiliki peningkatan suara dan kursi secara signifikan di parlemen. Dari 40 kursi di 2014, menjadi 50 kursi di periode pemilu selanjutnya. Pada Pemilu 2014, PKS meraih suara sekitar 8,46 juta suara atau 6,77 persen. Kemudian di kontestasi politik selanjutnya, partai ini mengantongi 11,49 juta suara atau 8,21 persen. Fakta demikian konon dinilai membuktikan kepemimpinan yang teruji dalam membawa PKS naik kelas.
ADVERTISEMENT
Sebagai politisi, tokoh ini terpilih tiga kali menjadi Anggota DPR pada 2009-2014, 2014-2019, dan periode 2024-2029. Dia juga sempat menjadi Wakil Ketua DPR RI. Sebelum terjun di dunia politik, Sohibul Iman juga dikenal sebagai seorang teknokrat dan cendekiawan Muslim. Ia lama berkecimpung di bidang teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Kementerian Riset dan Teknologi.
Tak hanya itu, dia pernah memimpin Universitas Paramadina sebagai Rektor, dan memimpin berbagai lembaga nirlaba yang fokus dalam pengembangan inovasi, teknologi, dan sumber daya manusia strategis. Atas dasar ini, Sohibul Iman dinilai figur yang tepat untuk memimpin Jakarta. Ia perpaduan antara seorang birokrat yang andal, politisi yang mumpuni, dan intelektual yang disegani di dunia Pendidikan.
ADVERTISEMENT
Layaknya partai yang sedang menawarkan kandidat, mereka tentu akan mempertimbangkan beragam faktor terkait modal dasar elektoral. Umpamanya popularitas, akseptabilitas dan juga elektabilitas. Semuanya itu perlu diujicobakan dalam persepsi opini publik. Sebuah langkah dalam komunikasi politik untuk membangun kepercayaan (trust building).
Di sini, PKS melalui para juru bicaranya, elite-elite politik yang terkait, begitu juga sang tokoh kandidat itu sendiri sedang berjuang memperkuat aktivitas branding, publisitas, public relations politik agar sang tokoh mendapat tempat khusus di mata khalayak. Dan, pilkada 2024 mendatang, sesungguhnya memang panggung para kandidat dan tim sukses untuk mengelola kesan (impression management).
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana peluangnya?
Kita bisa membaca manuver ini, termasuk menjawab peluang-peluangnya, meminjam analisis pemikir seperti Gary W Cox dengan istilah struktur peluang (opportunity structure). Di mana, ketika partai mengusung calon terbaiknya sebagai calon pemimpin, di mana pun levelnya, biasanya memang dihitung dengan tiga pertimbangan kalkulasi politik. Di antaranya:
ADVERTISEMENT
Pertama, biaya memasuki area (cost of entry). Terkait dengan siapa pemodal dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk berlaga di pilkada mendatang. Bagi partai, tentu saja faktor ini yang kerap pertama mendapat perhatian. Hanya, kabar baiknya, calon-calon kader PKS di berbagai daerah toh tetap bisa memenangkan pertarungan dan banyak menduduki jabatan sebagai bupati, wali kota bahkan gubernur dengan modal kapital yang tak begitu gencar.
Hanya saja, pengalaman terbaru, setiap pemilu maupun pilkada sudah begitu sangat kental dengan nuansa transaksional. PKS ya boleh-boleh saja masih mengandalkan para kader yang militan untuk mengawal tokohnya menang dalam pilkada. Hanya saja, pilkada Jakarta tentu ”Agak lain”. Banyak kepentingan di sini, pertarungan sangat sengit. Hanya elite PKS yang bisa menjawab point pertama ini.
ADVERTISEMENT
Kedua, proyeksi keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefif of office). Di Jakarta, dari pengalaman periode kemarin, ketika kepemimpinan Anies Baswedan, tarik menarik kepentingan sangat kental. Tentu ini menjadi perhatian besar partai Gerindra pimpinan Prabowo, presiden terpilih. Sekaligus, menjadi tantangan berat PKS sebab “Koalisi istana” tentu bakal merebut posisi Gubernur DKI ini.
Hanya saja, bagi publik, kekuasaan PKS di DKI dalam merebut posisi Gubernur tentu saja diperlukan. Partai pemenang di Jakarta, perlu diberi kesempatan untuk juga memimpin sebagai Gubernur. Kolaborasi dan sinergi yang cantik antara Gubernur dan DPRD memperkuat bagaimana kerja-kerja perubahan, pemberdayaan dan penyejahteraan masyarakat menjadi maksimal bisa terlaksana. Singkat cerita, keuntungan duduk di kekuasaan sebagai gubernur Jakarta adalah posisi strategis yang tak perlu diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support). Nah, ini isu paling menarik. DPW PKS DKI Jakarta, sebelumnya sempat menyodorkan Anies Baswedan ke DPP PKS sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Anies disodorkan namanya dengan pertimbangan menampung inspirasi para kader. Ini membuktikan bahwa ada dinamika dalam tubuh PKS antara mencalonkan Anies Baswedan atau menyodorkan kadernya sendiri.
Kabar baiknya, siapa pun calonnya, kader-kader PKS biasanya bakal solid mendukung calon yang diusung. Problemnya, apakah Sohibul bakal mendapatkan calon wakil gubernur yang bisa mendongkrak suara? Ini pertanyaan yang perlu dijawab tuntas.
Di satu sisi, pencalonan Sohibul memang langkah berani, tapi di sisi lain, masuk jebakan “istana” dengan tak mendukung Anies Baswedan yang artinya peluang misalnya Ridwan Kamil atau tokoh lainnya ketika Anies tidak dicalonkan menjadi besar. Padahal, popularitas Anies Baswedan bagi warga Jakarta masih cukup tinggi, walaupun tentu perlu didukung riset terbaru.
ADVERTISEMENT
Saya kira, kini, yang terpenting adalah partisipasi publik, terutama untuk tetap bersikap kritis terhadap fenomena politik yang berkembang. Apatisme politik, hanya merugikan warga sendiri. Memang, banyak ruang gelap politik yang berlangsung, semuanya tentu karena pragmatisme partai politik.
Semuanya dimainkan oleh elite-elite partai. Di sini, kejelian perlu dinyalakan. Termasuk memikirkan ulang misalnya prediksi media seperti Tempo dengan Podcast “Bocor Alusnya,” di mana gosipnya, PKS memang diminta “Istana” menyodorkan nama selain Anies Baswedan yang saat ini sudah kejadian.
Imbalannya adalah kursi menteri di kabinet Prabowo-Gibran mendatang. Kalau itu yang terjadi maka Tempo benar. Kalau tidak, ya Tempo hanya “Omon-omon” saja. Begitulah politik, publik hanya bisa membaca dan meraba. Tapi setidaknya, kontribusi berbasis akal sehat tetap perlu ada agar politik tak berjalan seenaknya saja.
ADVERTISEMENT