Jalur Rempah, Bukan Sutra

Yonvitner
Kepala Pusat Studi Bencana LPPM IPB-Dosen MSP FPIK IPB
Konten dari Pengguna
19 Mei 2019 18:56 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yonvitner tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: indonesiaplus.id
zoom-in-whitePerbesar
sumber: indonesiaplus.id
Yonvitner Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yonvitner Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Saya perlu luruskan bahwa Indonesia punya jalur rempah bukan sutra. Pemahaman ini penting untuk disampaikan kepada kita semua, terutama ketika penulis membaca tulisan Sintong Arfiyansyah tanggal 13 April 2019 di Media ini tentang Momentum Jalur Sutra Ekonomi.
ADVERTISEMENT
Penulis berpendapat kita jangan gagal paham tentang apa itu jalur Sutra Dana apa itu Jalur Rempah. Keberadaan jalur sutra bukan sekadar rute perdagangan biasa. Karena dalam mainstreaming perdagangan ekonomi Indonesia China, Silk Road Ekonomic Belt tidak hanya sekadar jalur barang, tapi lebih dari itu yaitu sebagai jalur ideologi.
Pernah penulis sampaikan pada media ini juga, kita perlu memperkuat ideologi dengan jalur rempah sebagai ideologi maritim. Ketika kita mengakui Jalur Sutera maka sesungguhnya kita mengakui keberadaan akses mereka dan paham ideologi maritim China dalam mengendalikan aliran ekonomi dunia.
Walaupun kita dapat manfaat dari hal tersebut. Partisipasi kita dalam The second belt and road forum for international cooperation (Belt ad Road Initiative/BRI) harusnya menjadi momentum untuk menyampaikan visi Indonesia tentang ideology maritime kita sebagai jalur rempah dunia. Penangguhan oleh Malaysia, Thailand menjadi bukti bahwa inclusive akses belum tentu menguntungkan produk negara tersebut. Walaupun sebagian besar negara Uni Eropa setuju, perlu diperhatikan bahwa negara tersebut tidak berada di perlintasan, tapi terminal jalur perdagangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kenapa Jalur Rempah
Peta Baru Indonesia. Foto: REUTERS/Beawiharta
Sangat banyak catatan sejarah kita yang menceritakan bahwa jalur perdagangan raja-raja nusantara sudah mendunia sejak lama. Catatan pertama Ptolomaeus abad pertama masehi mencatat kamper sebagai bahan dagangan untuk pengawetan raja mesir. Kamper atau barus ini banyak ditemukan di daerah Barus yang terletak di Sumatera Utara antara Singkel dan Sibolga.
Bahkan catatan Dick Read melihat ada kemungkinan perdagangan lewat darat dan laut antara Mediterania dan Samudera Hindia berjalan lebih dari 6 ribu tahun yang lalu. Salah satu buktinya pada tahun 1700 SM benda seperti cengkeh ditemukan di Terqa di Efrat Tengah. Padahal tumbuhan rempah ini hanya tumbuh di daerah tropis terutama di Maluku.
ADVERTISEMENT
Sementara China baru berlayar ke Asia Tenggara abad ke-7 dengan membawa barang dagangan di antaranya sutra. Dalam buku Majapahit sebagai peradaban maritim juga disampaikan bahwa biksu Faxian yang datang ke Tanah Jawa tahun 414 M kembali ke Lao-Shan. Dalam banyak catatan selanjutnya disebutkan banyak armada laut Jawa yang berdagang ke China, bukan sebaliknya pedagang China ke Nusantara.
Armada Laut China tidak satu pun melakukan ekspedisi ke Nusantara. Bahkan zaman Raja Airlangga tidak mencatat ada pedagang China ke Tanah Jawa yang tertera dari prasasti Pataka 1021 M. Kemudian tahun 1416 M baru tercatat Yingya Shenglan China sebagai warga kilalan yang tinggal di Jawa karena pelarian.
Kemudian juga pergeseran politik Jawa memperbolehkan mereka tinggal. Menurut Prapanca 1365 M keberadaan Yingya Shenglan ini juga tidak lepas dari kebijakan Majapahit. Keberadaan warga kilalan kemudian mulai mendorong mereka lebih aktif melakukan perdagangan.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat lama perjalanan sebagai umur jalur perdagangan, maka kita memiliki sejarah yang lebih tua dibandingkan China pada jalur maritim ini. Seharusnya ini kemudian tumbuh dan melekat dalam jiwa anak bangsa sebagai sebuah ideologi negara maritim dan bukan mendompleng Jalur Sutra. Meskipun faktanya 22 Juni 2014 Unesco menetapkan jalur sutra sebagai situs baru warisan dunia.
Namun, karena fakta perdagangan seharusnya Nusantara (Baca: Indonesia) juga diperjuangkan dengan situs dunia sebagai jalur rempah. Keberadaan Belanda dan VOC yang menguasai jalur transportasi maritim dunia pada era penjajahan harusnya menjadi modal Indonesia untuk memperkuat jalur rempah di dunia melalui berbagai diplomasi termasi BRI.
Ideologi Maritim
Rempah dan sayur untuk bahan masakan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Ideologi maritim dicirikan dari prinsip, pemahaman, tindak tanduk kita yang sepenuhnya mengikuti gerak gelombang laut yang dijalankan dengan tujuan kita sebagai pengelola laut. Kepentingan kita dalam jalur perdagangan adalah menguasai jalur, distribusi, dan logistik barang, mengatur barang dan keamanan perdagangan.
ADVERTISEMENT
Sering kali ideologi tumbuh bersamaan dengan penguasaan secara fungsi dan kemanfaatan. Sejak perdagangan barus, cengkeh, sampai perdagangan ikan akhir-akhir ini, sesungguhnya kitalah penguasa jalur perdagangan karena sebagian besar ada di ruang laut kita.
Walaupun pada saat akhir ini aliran orang dengan teknologi kapal tercanggih, serta barang komoditas olahan industri untuk kebutuhan masyarakat banyak dibuat negara luar, seharusnya kita yang dapat mengambil momentum memperkuat diplomasi maritim.
Satu-satunya cara mengambil momentum tersebut adalah dengan mendeklarasikan jalur tersebut sebagai bagian manajemen negara kita. Ruang lalu lintas yang ada di laut kita adalah bagian dari kedaulatan kita. Dengan apa itu bisa dilakukan, satu-satunya jalan adalah dengan kembali mengumandangkan kejayaan nusantara dalam jalur rempah.
ADVERTISEMENT
Kekuatan maritim nusantara paling tidak tercatat tahun 1026 ketika Airlangga menyatukan wilayah Siam, Campa, Cina, Koci, India Selatan, Birma, Kedah, Kutawaringin, dan Makasar. Sementara tahun 1365 M, Majapahit menyatukan nusantara termasuk sebagian Cina, India, Asia Tenggara dalam Nusantara.
Rempah-rempah. Foto: Pixabay
Jadi jika kita mengambil jalur sutra sebagai template untuk pemanfaatan ekonomi, berarti secara tidak langsung kita sudah mengakui kedaulatan China atas perdagangan laut, yang kemudian mengatur tata gerak dan distribusi perdagangan di laut.
Hal ini terlihat dalam pertemuan BRI tersebut, keinginan China untuk menyiapkan infrastructure global kepada negara peserta termasuk mengisi barang-barang kebutuhan negaranya. Selain itu juga menjadi catatan minus bagi kita untuk bersaing karena kita tidak memiliki barang dan jasa yang memadai untuk diperdagangkan.
ADVERTISEMENT
Kedua dengan mengakui jalur sutra, kita akan kembali tenggelam dalam hegemoni geopolitik China di Nusantara. Karena Indonesia adalah pemegang sah jalur rempah, bukan jalur sutra. Untuk itu penting bagi kita untuk kembali menguatkan ideologi jalur rempah untuk kembali kejayaan maritim Indonesia.(Yon)