Agen Body Shaming Terdekat

Leony Violeta
Mahasiswa Marketing Communication BINUS University
Konten dari Pengguna
23 Desember 2021 14:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leony Violeta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memasuki usia remaja hingga dewasa muda, tantangan terbesar yang paling menghantui adalah konsep mengenai fisik. Jujur saja, selama saya hidup, tidak ada satu pun saya lihat manusia lain tidak membicarakan penampilan fisik. Mulai dari rambut, munculnya jerawat, perubahan bentuk badan, dan banyak lainnya. Sadar tidak sadar, semakin dewasa, semakin banyak “tuntutan” mengenai penampilan diri bahkan beralih mengambil kontrol atas tubuh kita sendiri. Bahkan bisa dibilang, membicarakan bentuk fisik seseorang adalah bahan topik baru untuk berbasa-basi saat ini. Jika dilihat lebih dekat, tidak perlu muluk-muluk memandang body shaming hanya terjadi di lingkup luar. Keluarga yang kita ketahui sebagai unit terdekat, justru menjadi pelaku body shaming. Menurut sumber femina.co.id, lebih dari 62,7% wanita pernah mendapatkan perilaku body shaming dari keluarga terutama Ibu (Putri C. A., 2021). Cukup ironi membayangkan sebagai anak perempuan, tumbuh dan besar di keluarga yang terlalu menuntut. Salah satunya adalah tuntutan menjadi perempuan sesuai harapan keluarga. Selalu tertanam di pemikiran bahwa wanita sejati adalah seseorang yang memiliki fisik sesuai standar kecantikan masyarakat. Memiliki kulit putih, rambut panjang dan legam, serta yang terpenting adalah tubuh yang langsing.
ADVERTISEMENT
Memiliki tubuh langsing adalah dambaan mayoritas perempuan. Begitu juga dengan keluarga saya terutama Ibu yang cukup detail memperhatikan bentuk fisik. Sedari kecil, Ibu kerap menerapkan pola hidup seimbang. Memasuki masa pandemi, saya yang berusia 17 tahun dan berada pada jenjang akhir SMA, terpaksa harus menerapkan pembelajaran dari rumah atau online learning. Aktivitasdialokasikan secara penuh di rumah, membuat kebiasaan saya juga ikut berubah. Tak dipungkiri, dampak pandemi menyebabkan tubuh saya mengalami perubahan yaitu kenaikan berat badan secara berkala. Cukup drastis memang. Saya mengalami kenaikan berat badan dengan total 7 Kilogram. Pada awalnya saya tidak ambil pusing mengenai perubahan fisik ini, karena saya berpikir selama pandemi juga tidak akan bertemu siapa pun. Sisi introvert membuat saya merasa nyaman dan aman. Ditambah selama proses kenaikan berat badan tersebut, saya tidak mengalami keluhan kesehatan yang signifikan karena statusnya tidak tergolong obesitas, bahkan jauh dari kata obesitas.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya hal yang membebani diri saya adalah cemooh yang dilontarkan keluarga. Sebelumnya, saya mengetahui betul mana nasihat yang membangun dan mana cemoohan yang bersifat menjatuhkan. Selama ini, Ibu cukup banyak membicarakan betapa gendutnya saya, dan itu dipandang sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif. Budaya patriarki yang masih dipegang keluarga juga menjadi alasan adanya perilaku seperti ini. Juga seperti stereotip atas tindakan berdasarkan gender. Contohnya, “Anak perempuan tidak boleh jorok, harus bangun pagi” atau “Anak perempuan yang gendut akan susah mendapatkan jodoh”, dan sebagainya. Saya tidak merasakan bahwa keluarga adalah “rumah” yang nyaman. Saya justru ingin berlari dan tidak tahu kapan harus berhenti. Di saat keluarga adalah wadah bercerita dan berkeluh kesah, saya justru tidak bisa berbicara dan terus bersembunyi karena bayang-bayang menjadi wanita yang sempurna.
ADVERTISEMENT
Sekarang, hal yang berkaitan dengan berat badan dan penampilan fisik seperti love hate relationship. Saya tidak sepenuhnya menerima keadaan ini, tapi di sisi lain tidak ada cara lain untuk melarikan diri. Saat ini saya memang tidak menerapkan pola diet ekstrem, tapi mengatur pola makan agar tidak berlebihan, dan lebih berfokus pada rutin olahraga. Melewati banyak kesedihan dan berada di bawah tekanan yang tidak berujung usai, saya sadar bahwa tidak ada cara lain menghentikan omongan negatif dari orang lain, bahkan dari keluarga sendiri. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menutup kedua telinga dan fokus pada diri sendiri untuk menerima kekurangan sebagai keunikan yang berharga. Kita harus bisa memiliki pemikiran bahwa kita hidup tidak untuk memuaskan harapan siapa pun, termasuk keluarga jika itu membebani diri, karena di luar sana banyak kebahagiaan dan cita-cita lain yang menunggu untuk dikejar daripada hanya berada pada lingkaran “body shaming” yang tidak akan ada habisnya.
ADVERTISEMENT