Iklim Hujan Aceh dan Mitigasi COVID-19

Yopi Ilhamsyah
Akademisi dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 8:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yopi Ilhamsyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hujan Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hujan Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Hujan membasahi Bumi Aceh selama April hingga Mei. Hujan sejatinya menjadi rahmat tersendiri di tengah pandemi Covid-19. Air hujan diserap tanah dan diikat akar tanaman. Intensnya penggunaan air untuk membasuh tangan sembari bersabun menjadi tercukupi. Waduk dan embung kembali terisi. Sawah terairi. Tata kelola air yang tepat mampu menjaga ketahanan pangan Aceh selama COVID-19.
ADVERTISEMENT
Menurunnya emisi kendaraan berkontribusi membaiknya kualitas udara. Turunnya hujan turut menjadikan kualitas udara jauh lebih baik lagi. Kita bisa merasakan udara yang lebih segar selama musim hujan ini. Pasokan oksigen bersumber dari udara bersih menciptakan tubuh yang sehat. Kondisi sehat memperkuat imunitas tubuh yang berguna dalam memitigasi COVID-19 yang mengintai kita.
Air hujan yang turun dalam volume besar menyiram lingkungan di luar di mana droplet (percikan cairan) COVID-19 dan kotoran lainnya beredar. Kondisi basah satu bulan terakhir patut kita syukuri. Namun, kondisi hujan disertai pula berita banjir di berbagai daerah di Aceh. Mengapa demikian? Kalau kita amati siklus air dalam perspektif Hidrologi, tanah sejatinya mampu menampung seberapapun volume air hujan yang turun. Di dalam tanah ada lapisan akuifer. Di lapisan ini, air tersimpan. Masuk lebih dalam, air mengalami proses perkolasi (perluasan penyerapan air). Sementara di lapisan permukaan, air mengalir ke sungai dan dari sungai menuju laut.
ADVERTISEMENT
Di laut, air mengalami penguapan, tercipta awan. Awan terdorong ke daratan akibat perbedaan tekanan antara daratan dan lautan. Awan-awan bergabung membentuk awan hujan dan hujan kembali turun di daratan. Demikian seterusnya sampai manusia mengintervensi siklus ini dan menimbulkan banjir.
Hal ini karena tanah tidak mampu lagi menyerap air hujan. Tanah di sini bermakna permukaan bumi yang masih asri di mana vegetasi masih mendominasi. Kenapa tidak mampu? Karena telah terjadi transformasi di permukaan. Yang umum kita perhatikan adalah hadirnya bangunan untuk hunian manusia. Parahnya pembangunan ini tidak didukung saluran air yang memadai. Hujan lebat sebentar saja, timbullah genangan. Hujan intens dalam hitungan hari maka muncul banjir! Keadaan semakin parah akibat perilaku masyarakat yang tidak sadar lingkungan seperti membuang sampah sembarangan maka muncul genangan hingga berhari-hari.
ADVERTISEMENT
Hal lain penyebab banjir dan longsor di Aceh adalah penebangan hutan tanpa dibarengi konservasi. Analoginya coba kita tumpahkan air pada bukit tanah yang kita buat, air akan mengalir dengan cepatnya menuju lembah dibarengi longsoran. Kira-kira demikian perumpamaan kondisi hutan tropis Aceh yang mengakibatkan banjir dan longsor.
Banjir juga timbul karena vegetasi sungai yang berfungsi mengikat tanah dan air seperti bambu tidak ada lagi. Acap kali kita temukan lahan bantaran sungai telah beralih fungsi menjadi pertokoan, perkebunan bahkan pemukiman padat penduduk. Tanpa vegetasi, musim hujan kita kebanjiran, di kala kemarau kita kekeringan. Oleh karenanya penghijauan menjadi penting! Tentunya dengan pepohonan berakar tunggang serta maksimal dalam menyerap karbon untuk memulihkan siklus air berikut kondisi iklim yang berubah.
ADVERTISEMENT

Iklim Hujan Aceh

Selama ini dijelaskan bahwa pada Maret hingga Mei, Indonesia memasuki peralihan musim (pancaroba) dari hujan menuju kemarau. Lewat tulisan ini kami ingin meluruskan bahwa Indonesia sejatinya memiliki karakteristik iklim berbeda-beda di setiap wilayah sehingga dirasa kurang tepat jika disebut secara umum mewakili satu geografis Indonesia yang besar.
Ditinjau dari keragaman curah hujan, Indonesia memiliki tiga wilayah hujan. Ada yang berkarakter basah dikenal dengan pola Ekuator ditandai dengan dua puncak musim hujan yang jatuh pada April-Mei dan November-Desember. Karakteristiknya terlihat dari curah hujan yang mengambil pola mirip huruf konsonan “M”. Lokasinya ada di Sumatera dan Kalimantan bagian barat.
Karakteristik hujan Muson dengan musim kemarau dan hujan yang tegas, berpola mirip huruf “V”. Musim kemarau pada pola ini jatuh pada periode Juni hingga Agustus sementara musim hujan berlangsung antara Desember hingga Februari. Daerah-daerah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara mengalami pola ini.
ADVERTISEMENT
Karakter lokal di mana musim hujan jatuh antara Juni-Agustus, berlangsung di Kepulauan Maluku, berpola huruf “V terbalik”.
Bagaimana dengan Aceh?
Statistik curah hujan kami bersumber dari data BMKG Aceh Besar periode 1982-2018 (untuk mengamati kondisi normal) menunjukkan Aceh Besar mengalami dua puncak hujan. Hujan primer (utama) jatuh pada November dengan curah hujan sebesar 250 milimeter (mm) sementara hujan sekunder berlangsung pada April-Mei dengan curah hujan 150 mm. Kondisi ini cocok dengan pola hujan Ekuator seperti digambarkan di atas. Jadi April hingga medio Mei menunjukkan bahwa iklim Aceh memang sedang mengalami musim penghujan.
Apakah terindikasi anomali?
Anomali terjadi kalau curah hujan bulanan lebih besar atau kurang dari nilai rata-ratanya (kondisi normal). Anomali dapat ditimbulkan oleh siklus iklim seperti El Nino/La Nina, Indian Ocean Dipole, Madden-Julian Oscillation. Saat ini kami mengamati pengaruh siklus iklim tersebut terhadap hujan di Aceh tidak signifikan.
ADVERTISEMENT
I Made Sandy dalam “Iklim Regional Indonesia” memaparkan Aceh mempunyai lima karakteristik pewilayahan iklim. Aceh Besar termasuk dalam wilayah iklim utara, dengan ciri hujan tahunan rata-rata di bawah 2.000 mm. Hujan primer jatuh pada November sementara hujan sekunder berlangsung pada April-Mei. Hujan minimum berlangsung antara Juni-Juli.
Hujan primer dan sekunder yang masing-masing jatuh pada November dan April-Mei juga turun di seluruh wilayah iklim di Aceh meliputi pantai barat dan timur Aceh serta wilayah tengah selatan dan pegunungan tengah Aceh.
Yang membedakan hanya jumlah hujan yang diterima di masing-masing wilayah serta jumlah hujan tahunan rata-rata. Pantai barat dan selatan lebih basah (di atas 2.000 mm) karena berhadapan dengan arah datangnya angin. Pantai timur lebih kering karena daerah bayang-bayang hujan. Wilayah pegunungan tengah berkondisi basah sepanjang tahun akibat hujan orografi karena berada di dataran tinggi.
ADVERTISEMENT

Hujan Muson

Hujan April-Mei disebabkan hadirnya Daerah Konvergensi Antar Tropis (DKAT) di perairan Aceh. DKAT dibangkitkan oleh pemanasan permukaan karena pengaruh posisi matahari yang saat ini bergerak menuju utara. Angin Muson yang datang dari benua Asia mendorong awan hujan (dibentuk DKAT) ke seluruh Aceh.
Di wilayah barat, karena pengaruh rotasi Bumi, efek Coriolis, angin berbelok menuju pantai barat Aceh, membawa awan hujan dari Samudera Hindia. Udara lembab di kawasan pegunungan memicu sambaran petir ke permukaan seperti di Subulussalam dan warga yang tersengat pada 07 April di Beutong, Nagan Raya.
Tetap waspada dengan kondisi hujan yang masih berlangsung hingga pertengahan Mei. Pengelolaan air yang baik diharapkan mampu memitigasi COVID-19. Pada daerah kering, pembangunan sumur injeksi yang dapat menampung sekaligus mengalirkan air dengan cepat ke lapisan akuifer juga perlu dipertimbangkan.
ADVERTISEMENT
*Penulis: Dr. Yopi Ilhamsyah / Laboratorium Meteorologi Laut Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh