Kesehatan Dunia dalam Bayangan Pandemi Senyap Resistensi Antibiotik

Yori Yuliandra
Associate Professor, Dosen dan Peneliti pada Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Penerima beasiswa Australia Awards dalam bidang Farmasi, khususnya penemuan dan pengembangan obat dan antibakteri
Konten dari Pengguna
11 Mei 2024 14:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yori Yuliandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu yang lalu, dunia merayakan hari kesehatan yang jatuh pada tanggal 7 April setiap tahunnya. Tanggal ini sekaligus merupakan ulang tahun Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang didirikan pada tahun 1948. Tahun ini, topik yang diangkat adalah "My health my right" (kesehatan saya adalah hak saya). Tema ini dipilih karena di seluruh dunia, hak atas kesehatan saat ini semakin tertekan oleh banyak ancaman.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2019, WHO telah merilis laporan tentang 10 ancaman utama terhadap kesehatan global. Ancaman ini mencakup banyak hal mulai dari polusi udara dan perubahan iklim, pandemi flu, hingga keengganan masyarakat untuk menerima vaksin.
Salah satu ancaman utama yang perlu menjadi perhatian khusus adalah resistensi antimikroba. Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit yang menjadi penyebab infeksi menjadi yang tidak sensitif atau tidak responsif terhadap obat yang seharusnya efektif menghentikan pertumbuhannya atau bahkan membunuhnya.

Tren dan prediksi angka kematian akibat infeksi

Dalam dua dekade terakhir, kita telah melihat perbedaan tren infeksi penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2004, HIV/AIDS mencapai puncak letaknya sekaligus menyandang predikat sebagai penyakit infeksi penyebab kematian tertinggi di dunia mencapai angka 3 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Angka ini berangsur membaik seiring program pengobatan HIV/AIDS yang berdampak positif. Predikat penyakit infeksi paling mematikan ini diambil alih oleh tuberkulosis sekitar tahun 2015 dengan angka kematian tahunan sekitar 1,5 juta jiwa. COVID-19 kemudian muncul sebagai pandemi global dan menjadi penyakit infeksi paling mematikan pada tahun 2020 dengan angka kematian melebihi 3 juta jiwa.
Meskipun angka kematian akibat penyakit infeksi masih jauh di bawah penyakit jantung dan pembuluh darah, trennya terbilang sangat mengkhawatirkan. Hal ini terjadi terutama akibat memburuknya dampak resistensi antimikroba.
Para pakar telah memprediksi tingkat kematian akibat resistensi antimikroba dapat melampaui angka kematian akibat kanker pada tahun 2050. Hal ini terutama jika tidak diambil tindakan serius untuk mengatasi masalah ini. Angka 10 juta kematian per tahun merupakan prediksi yang mengejutkan, dan jika terwujud, akan mengubah zaman di dunia menjadi era pasca-antibiotik.
ADVERTISEMENT

Menghadapi pandemi senyap: resistensi antimikroba

Dalam beberapa tahun terakhir, resistensi antimikroba secara diam-diam muncul sebagai ancaman yang semakin serius terhadap kesehatan global. Pada tahun 2019 misalnya, kebalnya kuman penyebab infeksi terhadap obat telah menyebabkan sekitar 1.3 juta kematian akibat infeksi yang tak berhasil diobati.
Resistensi ini juga secara tidak langsung berkontribusi terhadap 5 juta kematian di seluruh dunia. Angka ini terbilang fantastis, melebihi kematian gabungan akibat HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria secara global pada tahun yang sama. Angka ini juga masih lebih tinggi jika disandingkan dengan kematian tahunan akibat COVID-19 di tahun berikutnya.
Ancaman pandemi akibat resistensi antimikroba disebut sebagai "pandemi senyap" karena tidak mendapatkan perhatian yang sama dengan pandemi seperti HIV/AIDS atau COVID-19, namun konsekuensi yang ditimbulkan bisa sama mematikannya, bahkan cenderung lebih berbahaya.
ADVERTISEMENT
Secara historis dan statistik, ganasnya HIV/AIDS dan COVID-19 berhasil dijinakkan dengan berbagai kemajuan di dalam dunia kedokteran dan farmasi. HIV/AIDS kini dapat dikendalikan dengan dikembangkannya obat-obat antivirus HIV yang terbilang efektif. Obat-obat ini kemudian dikenal dengan istilah obat antiretroviral. Di lain pihak, COVID-19 juga dapat dikontrol dengan pengembangan vaksin yang fenomenal yang kemudian mengantarkan ilmuwannya untuk menerima hadiah nobel di bidang kesehatan pada tahun 2023.
Sayangnya, penyakit infeksi yang bandel akibat resistensi antimikroba memiliki nasib yang berbeda.

Beratnya tantangan resistensi antimikroba

Ilustrasi antibiotik. Foto: Shutter stock
Berbeda dengan HIV/AIDS dan COVID-19, resistensi antimikroba adalah tantangan yang kompleks dan sulit untuk diatasi. Bahkan dengan perkembangan dunia medis dan kemajuan teknologi sekalipun, resistensi antimikroba, khususnya antibiotik, terus berkembang dan muncul dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
ADVERTISEMENT
Dalam 20 tahun terakhir, nyaris tidak ada obat antibiotik baru yang ditemukan di saat kebutuhannya justru meningkat. Di samping itu, kegagalan dalam mengontrol penggunaan antibiotik yang tidak tepat juga turut menyumbang perluasan masalah resistensi antimikroba.
Tidak hanya pada rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain, sektor pertanian dan peternakan juga memperburuk problem ini melalui penggunaan antibiotik secara berlebihan. Hal ini menyebabkan bakteri semakin terpapar dengan antibiotik, sehingga mempercepat berkembangnya resistensi.

Upaya global dan lokal?

Upaya global terkait permasalahan resistensi antibiotik bukannya tidak ada. WHO dan berbagai lembaga internasional telah mengakui urgensi masalah ini dan mengeluarkan pedoman dan kebijakan untuk mengatasinya. Hal ini mencakup pembatasan penggunaan antibiotik, penyuluhan publik tentang penggunaan yang tepat, dan peningkatan surveilans.
ADVERTISEMENT
Skema pendanaan juga tidak kalah banyak digelontorkan untuk mendukung penelitian dan pengembangan obat baru yang mampu melawan resistensi antimikroba. Hal ini ditujukan dalam mengatasi lesunya penemuan obat antibiotik dalam dua dekade terakhir.
Namun, meskipun upaya global sudah mulai dilakukan, masih terdapat banyak tantangan yang menghambat penanggulangan resistensi antimikroba secara efektif.
Kembali kepada perayaan hari kesehatan dunia, kesehatan adalah hak kita. Hak atas sehat dari penyakit infeksi adalah bagian darinya. Harapan tertumpu pada peningkatan kesadaran dan tindakan nyata dari semua pihak, baik pemerintah, institusi medis, dan masyarakat secara keseluruhan.