Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Konsumsi Antibiotik Tanpa Resep Dokter: Berisiko dan ‘Jahat‘
25 Oktober 2023 7:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yori Yuliandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Namanya Abeni (bukan nama sebenarnya), seorang gadis belia usia 6 tahun di Abuja, Nigeria yang baru saja menjalani operasi jantung. Pasca operasi, ia mengalami infeksi pada luka operasi akibat antibiotik yang diberikan tidak sanggup mengatasi infeksinya.
ADVERTISEMENT
Karena kondisi yang semakin parah, dokter mengambil sampel darahnya untuk uji lab dan terungkap bahwa kuman yang menginfeksinya sudah kebal terhadap semua antibiotik yang tersedia di rumah sakit tersebut.
Akhirnya tim dokter berhasil mendatangkan antibiotik ‘tigesiklin’ dari kota lain. Obat ini memang sering dijadikan sebagai jurus pamungkas jika antibiotik lain tidak efektif dalam mengatasi infeksi. Kondisi kesehatan Abeni terlihat membaik setelah diberikan obat ini. Namun, tiga hari kemudian kondisinya tiba-tiba memburuk dan si gadis kecil pada akhirnya meninggal dunia.
Kisah tragis Abeni (dimuat pada The Guardian) adalah salah satu contoh nyata bagaimana resistensi bakteri menjadi ancaman mematikan bagi siapa saja dan dapat merusak kemajuan kedokteran modern. Kasus seperti ini bermunculan di seluruh dunia dan lebih lazim pada negara miskin dan berkembang, membuat para ilmuwan semakin khawatir.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah proyeksi menakutkan, para pakar memprediksi bahwa gagalnya antibiotik dalam mengatasi infeksi akan memakan korban tahunan sebanyak 10 juta kematian pada tahun 2050. Angka ini bahkan diprediksi melampaui angka kematian akibat kanker.
Badan kesehatan dunia (WHO) telah menempatkan resistensi antibiotik ini sebagai salah satu ancaman serius terhadap kemanusiaan. Dampaknya sangat luas dan tidak hanya terhadap bidang kesehatan, namun mencakup ekonomi dan keamanan global.
Maraknya Konsumsi Antibiotik Tanpa Resep Dokter
Berbicara tentang resistensi bakteri, ada satu praktik yang semakin mengkhawatirkan yang berkontribusi secara signifikan terhadap masalah ini: penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Sayangnya, praktik ini menjadi semakin umum di kalangan masyarakat.
Banyak yang berpikir bahwa antibiotik adalah obat ajaib yang bisa mengatasi segala jenis penyakit, sehingga mereka dengan mudah membelinya di toko obat. Salah satu kesalahan penggunaan antibiotik yang paling umum adalah ketika ditujukan untuk mengatasi gejala flu.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, pebisnis apotek yang semestinya tidak menjual antibiotik tanpa resep dokter terkesan abai dengan ancaman bahaya di balik praktik ini. Asosiasi profesi terkait juga terlihat tidak berdaya dalam membendung praktik ilegal ini. Akibatnya, antibiotik dapat dengan mudah diperoleh tanpa resep dokter.
Tidak jarang, justru pihak apotek yang menawarkan obat ini kepada pembeli. Parahnya lagi, praktik seperti merata di mayoritas daerah di Indonesia. Sebuah studi mengungkap bahwa 2/3 antibiotik yang digunakan masyarakat di Indonesia diperoleh tanpa resep dokter.
Antibiotik tanpa Resep Dokter Cenderung Tidak Efektif
Antibiotik harus dipilih dengan hati-hati berdasarkan jenis dan risiko infeksi yang sedang dihadapi seseorang. Terdapat setidaknya 10 kelas antibiotik yang memiliki cara kerja dan efek yang berbeda. Infeksi yang berbeda memerlukan antibiotik yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Tanpa penilaian medis yang tepat, ada kemungkinan besar bahwa antibiotik yang dibeli sembarangan tidak akan efektif melawan infeksi yang sebenarnya. Hal ini dapat memperparah perkembangan penyakit akibat ditundanya pengobatan yang benar.
Selain akibat jenis antibiotik yang tidak benar, tidak efektifnya obat ini jika dikonsumsi tanpa resep dokter juga akibat aturan penggunaan yang tidak sesuai. Hal ini mencakup frekuensi dan durasi penggunaan obat. Konsumsi antibiotik dalam satu hari adalah bervariasi seperti setiap delapan jam atau 12 jam.
Sebagiannya ada yang perlu diminum cuma 3 hari saja, sebagian yang lain memerlukan konsumsi yang lebih lama seperti lima hari, seminggu, atau jangka waktu yang lebih panjang. Hal ini sangat bergantung kepada jenis infeksi yang diobati dan golongan antibiotik yang digunakan. Inilah pentingnya kenapa penggunaan antibiotik harus didasari oleh pemeriksaan profesional dan peresepan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Efek Samping yang Tidak Diinginkan
Tidak hanya cenderung mubazir, mengonsumsi antibiotik yang diperoleh tanpa resep dokter juga dapat memberikan efek buruk. Hampir keseluruhan antibiotik memiliki efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa di antaranya tergolong serius dan mengancam jiwa. Reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penisilin merupakan contoh efek merugikan yang cukup lumrah terjadi.
Dampaknya bervariasi mulai dari gatal pada kulit hingga reaksi anafilaksis yang bisa mematikan. Risiko efek ini lebih minim jika antibiotik diperoleh melalui konsultasi dengan profesional kesehatan.
Efek samping lain yang cukup dikenal dari beberapa jenis antibiotik mencakup kerusakan hati, ginjal, bahkan saraf. Bentuknya bervariasi seperti hepatitis, gagal hati, gagal ginjal, hingga kelumpuhan. Efek ini tidak hanya terjadi akibat penggunaan yang salah atau berlebihan, melainkan pada penggunaan normal.
ADVERTISEMENT
Risiko besar seperti ini merupakan salah satu faktor kenapa antibiotik digolongkan sebagai obat keras, sehingga penggunaannya harus berdasarkan resep dokter. Ini diperlukan supaya ada pertimbangan yang baik terhadap manfaat dan risiko dari penggunaan obat tersebut.
Berlikunya Proses Penemuan Antibiotik Baru
Untuk dapat menghasilkan satu antibiotik baru, para ahli bekerja sangat keras dan kadang memakan waktu puluhan tahun. Proses ini melibatkan penelitian yang mendalam, uji klinis, dan pengembangan obat yang cermat.
Para ilmuwan farmasi dan mikrobiologi harus memahami bagaimana bakteri beradaptasi dan menjadi resisten terhadap antibiotik yang sudah ada, sehingga mereka dapat mencari celah baru dalam mengatasi infeksi. Namun, penemuan antibiotik baru bukanlah tugas yang mudah.
Selain kompleksitas ilmiahnya, proses ini juga memerlukan sumber daya finansial yang besar. Penelitian dan pengembangan obat-obatan seringkali memakan biaya yang sangat tinggi, dan tidak selalu ada jaminan keberhasilan. Beberapa industri farmasi dunia menyatakan mundur dari upaya ini karena dianggap sebagai bisnis yang tidak menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah antibiotik baru yang berhasil diproduksi dianggap tidak mencukupi kebutuhan penanganan penyakit infeksi yang saat ini semakin susah diobati. Lebih parah lagi, antibiotik yang berhasil ditemukan dan dipasarkan memiliki umur pakai yang semakin pendek akibat tingginya angka resistensi bakteri.
Masih Mau beli Sendiri Tanpa Resep Dokter?
Pada akhirnya, praktik penggunaan antibiotik tanpa resep dokter adalah tindakan yang merugikan, baik bagi diri sendiri maupun kesehatan orang banyak. Selain membawa risiko efek samping serius, hal ini juga dapat memperparah resistensi bakteri.
Dalam konteks kesehatan global, konsumsi antibiotik tanpa konsultasi profesional secara tidak langsung adalah tindakan membunuh nyawa orang-orang yang hidupnya sangat bergantung pada antibiotik yang efektif. Karenanya, praktik ini merupakan tindakan tidak bertanggung jawab dan harus segera dihentikan.
ADVERTISEMENT