Konten dari Pengguna

Resistensi Antimikroba: Kenapa Dunia Harus Berkolaborasi?

Yori Yuliandra
Associate Professor, Dosen dan Peneliti pada Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Penerima beasiswa Australia Awards dalam bidang Farmasi, khususnya penemuan dan pengembangan obat dan antibakteri
22 Februari 2024 7:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yori Yuliandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi peneliti Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi peneliti Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Resistensi antimikroba merupakan isu global yang menjadi salah satu masalah utama di dalam kesehatan masyarakat saat ini. Dalam beberapa dekade terakhir, kebalnya bakteri patogen terhadap obat antiinfeksi menyebabkan peningkatan angka kematian dan morbiditas yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, resistensi antibiotik juga mengakibatkan biaya kesehatan yang tinggi dan menimbulkan beban ekonomi yang besar, baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Karenanya, kolaborasi antar negara di seluruh dunia dalam mengatasi resistensi antibiotik sangat penting

Empat alasan kenapa dunia harus berkolaborasi

1. Penyebaran resistensi yang bersifat global

Resistensi antimikroba tidak mengenal batas geografis. Mikroba, termasuk bakteri patogen yang sudah resisten, dapat dengan mudah menyebar melintasi negara dan benua. Arus globalisasi merupakan salah satu hal utama yang mempercepat penyebaran resistensi mikroba.
Arus globablisasi dan transportasi mempercepat penyebaran resistensi mikroba. Foto: Pexels
Seiring dengan meningkatnya perjalanan internasional, perdagangan, dan migrasi manusia, bakteri resisten dapat dengan mudahnya berpindah dari satu negara ke negara lain. Mudahnya akses transportasi global menjadikan semua negara dapat terdampak oleh penyebaran resistensi antimikroba.
ADVERTISEMENT

2. Pertukaran informasi dan pengalaman

Kolaborasi antar negara memungkinkan untuk menyatukan semua pengetahuan dan keahlian dalam mengatasi resistensi antimikroba. Hal ini juga mencakup riset dan pengembangan baru dalam bidang antimikroba, pengembangan tes resistensi, dan pengawasan epidemiologi.
Negara-negara bisa saling belajar dari pengalaman satu sama lain, mengadopsi strategi yang berhasil, dan meningkatkan efektivitas upaya masing-masingnya. Pertukaran informasi ini dapat mempercepat strategi penanganan resistensi antimikroba dan memungkinkan negara-negara untuk belajar dari kesalahan dan menciptakan solusi yang lebih efektif untuk mendapatkan praktik terbaik dalam mengatasi persoalan ini.

3. Berbagi sumber daya dan berkolaborasi dalam riset

Mengatasi resistensi antimikroba membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Negara-negara dapat saling berbagi sumber daya, baik itu dalam bentuk dana, maupun fasilitas riset dan pakar. Hal ini diharapkan dapat mempercepat penelitian dan pengembangan baru dalam hal resistensi antimikroba.
Kolaborasi riset dan keahlian. (Foto: Pexels)
Kolaborasi memungkinkan para ilmuwan dan peneliti dari berbagai negara bekerja sama untuk menjalankan penelitian-penelitian yang lebih besar dan berdampak. Hal ini juga dapat menyatukan keunggulan masing-masing negara dalam bidang penelitian dan mempercepat identifikasi solusi yang efektif dan efisien untuk mengatasi resistensi antimikroba.
ADVERTISEMENT

4. Harmonisasi regulasi dan kebijakan

Negara-negara harus bekerja sama dalam harmonisasi regulasi dan kebijakan terkait penggunaan obat antimikroba, khususnya antibiotik. Misalnya di dalam program pengendalian penggunaan antibiotik. Sudah umum diketahui bahwa penggunaan antibiotik yang serampangan merupakan salah satu faktor utama dalam perkembangan resistensi antimikroba.
Negara-negara perlu bekerja sama untuk mengembangkan kebijakan yang konsisten dan memastikan bahwa pemakaian antibiotik yang tepat dan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan. Pengawasan ketat seperti ini perlu dilakukan oleh semua negara untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam penanggulangan resistensi antimikroba.

Kolaborasi di tingkat ASEAN

Pada tingkat regional, negara-negara Asia Tenggara tengah gencar melakukan kolaborasi dalam upaya mengatasi resistensi antimikroba. Hal ini juga didukung oleh alokasi dana untuk penelitian terkait. Indonesia, melalui Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DRTPM) juga terlibat aktif di dalam upaya ini.
ADVERTISEMENT
Digawangi oleh Inggris melalui UK Research and Innovation (UKRI), beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Singapura juga turut berpartisipasi dalam kerjasama ini, diawali dengan networking event. Kegiatan ini dilaksanakan di Bangkok pada 20-22 Februari 2024 yang mempertemukan para pakar dalam bidang antimikroba di regional Asia Tenggara. Tidak hanya itu, lembaga penyokong dana dari setiap negara juga turut serta.
Delegasi Indoensia dalam kegiatan UKRI-SEA networking event. Ki-Ka: Nadya (DRTPM), dr. Priyo Budi Purwono (Unair), Dr. Elsa Herdiana Murhandarwati (UGM), dr. Nur Farhanah,SpPD (Undip), Dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis (USU), Dr. Yori Yuliandra (Unand), Prof. M. Faiz Syuaib (Direktur DRTPM), Prof. M. Nasrum Massi (Unhas), Prof. Rizky Abdulah (Unpad), Dr. Betty Suryawati (UNS), Dr. Neng Fisheri Kurniati (ITB), Dr. Masita Mandasari (UI), Rian Afriana (DRTPM). Foto: Yori Yuliandra
Indonesia mengutus 10 orang pakar dari perguruan tinggi terkemuka, di samping beberapa tenaga ahli dari kementerian terkait. Kegiatan ini merupakan langkah awal yang kuat dalam kolaborasi menghadapi resistensi antimikroba di wilayah ASEAN. Karenanya, diharapkan dapat muncul riset-riset yang berkualitas dan berdampak terhadap upaya perang melawan resistensi antimikroba.