HAM dalam Perspektif Peradaban Timur

Yosua Saut Marulitua Gultom
Mahasiswa Hubungan internasional UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
21 Januari 2024 18:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yosua Saut Marulitua Gultom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: https://law.ugm.ac.id/en/riset-publikasi/minat-kajian/human-rights-law/
zoom-in-whitePerbesar
Foto: https://law.ugm.ac.id/en/riset-publikasi/minat-kajian/human-rights-law/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hak asasi manusia (HAM) dalam sejarahnya merupakan prinsip yang dijalin oleh perjuangan kolektif, aspirasi, dan kemenangan individu maupun komunitas lintas waktu dan benua yang berupaya untuk memanusiakan manusia. HAM adalah narasi yang terbentang dari peradaban kuno hingga era modern, yang mencerminkan pemahaman umat manusia yang terus berkembang mengenai martabat dan nilai yang melekat pada setiap individu. Mulai dari pembentukan kerangka hukum awal hingga munculnya deklarasi internasional, kisah hak asasi manusia merangkum upaya tanpa henti untuk mencapai keadilan, kesetaraan, dan kebebasan bagi semua orang.
ADVERTISEMENT
Sepanjang sejarah, berbagai budaya dan masyarakat telah saling mengemukakan persepsi mereka terhadap konsep hak asasi manusia dengan cara mereka yang unik. Dari Kode Hammurabi di Mesopotamia Kuno, yang mengakui hak-hak individu dan meletakkan dasar bagi perlindungan hukum, hingga Magna Carta di Inggris pada abad pertengahan yang membatasi kekuasaan monarki dan memperkenalkan prinsip-prinsip pemerintahan yang adil, menjadikannya sebagai tonggak sejarah awal yang mengisyaratkan keinginan universal akan hak-hak dasar dan pembentukan kerangka hukum yang adil untuk melindunginya.
Menurut Ishay (2008), pada masa Pencerahan (abad ke-17 dan ke-18) hak asasi manusia mulai mengambil bentuk yang lebih universal dan eksplisit. Para intelektual seperti John Locke, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau menguraikan konsep hak kodrati, dengan menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak yang melekat dan tidak dapat dicabut yang harus dilindungi oleh masyarakat dan negara. Ide-ide ini memberikan landasan filosofis bagi gerakan hak asasi manusia modern. Perjuangan untuk hak asasi manusia mendapatkan momentumnya pada abad ke-19 dan ke-20, ketika individu-individu dan gerakan-gerakan yang berani berjuang melawan berbagai bentuk penindasan.
ADVERTISEMENT
Kaum abolisionis seperti William Wilberforce dan Frederick Douglass berkampanye tanpa lelah untuk penghapusan perbudakan, mengakui bahwa setiap orang berhak mendapatkan kebebasan dan martabat tanpa memandang ras atau latar belakang mereka. Kelompok Suffragettes seperti Susan B. Anthony dan Emmeline Pankhurst menantang norma-norma masyarakat, menuntut persamaan hak dan peluang bagi perempuan, termasuk hak untuk memilih. Abad ke-20 menyaksikan lonjakan gerakan hak-hak sipil yang mengatasi diskriminasi sistemik dan memperjuangkan kesetaraan ras. Tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr., Rosa Parks, dan Nelson Mandela menjadi simbol perlawanan yang ikonik, memimpin gerakan transformatif yang menantang struktur yang menindas dan berkontribusi terhadap perubahan hukum dan masyarakat yang signifikan. Selain itu upaya internasional seperti diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, mewakili komitmen global untuk melindungi hak asasi manusia dan menjamin martabat semua individu.
ADVERTISEMENT
Sejarah hak asasi manusia merupakan bukti semangat gigih semua pihak yang telah mengabdikan diri untuk memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Dengan mempelajari sejarah ini dan merefleksikan kemajuan yang dicapai, kita dapat memperoleh wawasan berharga mengenai nilai-nilai universal yang mendasari hak asasi manusia dan menumbuhkan komitmen kolektif untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif. Sayangnya, perjuangan HAM seringkali dihadapkan dengan tuduhan bahwa gagasan ini merupakan bentuk dari hegemoni liberal barat. Hal ini tentu akan mempersuli integrasi HAM dalam sistem negara-negara, sehingga terjadi resistensi yang kuat terhadap HAM. Namun apakah HAM memang benar-benar produk barat? Tulisan ini mencoba untuk melihat berbagai perkembangan historis HAM non-barat, khususnya perspektif India kuno dan konfusianisme Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Perspektif India Kuno
Foto: https://knowlaw.in/index.php/2020/11/08/history-development-human-rights-india/
Bagi masyarakat India Kuno, konsep HAM sudah tidak asing lagi. Banyak pemikir dan filsuf politik India yang menaruh perhatian khusus terhadap hak asasi manusia. Mereka telah menyatakan keprihatinannya untuk menjamin hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua manusia di mana pun sejak masa awal zaman Weda. Filsafat hak asasi manusia telah menduduki tempat yang sangat penting dalam masyarakat Brahmanis kuno. Melihat sudah lamanya para pemikir India hadir dalam diskursus HAM, maka tidak dibenarkan membatasi asal mula konsep hak asasi manusia hanya pada peradaban barat saja. Apa yang ditemukan negara-negara barat saat ini di bidang hak asasi manusia telah menjadi prinsip yang diterima dari warisan tradisi sejarah dan budaya India yang kaya sejak dahulu kala, yang dibuktikan dengan deklarasi yang dibuat dalam Weda. Salah satu deklarasi yang relevan ada dalam kutipan berikut: “Ajyestaso akanishtas ete
ADVERTISEMENT
Sam Bhrataro va vridhulu sowbhagaya
Samani prapa saha vaha ann abhagaha
Same yoktre saha vaha yunajmi
Araha habhimiva Abhitaha”.
Mengutip dari Begum & Begum (2008), “just as no spoke of a wheel is superior to other, no individual can claim to be, or regarded as, superior to others. Equality of all human beings and the duty of each individual to strive for the happiness of every other individual as also the equal right over food, water and other natural resources are found incorporated in these declarations.” Deklarasi Veda ini dengan tegas mendeklarasikan kesetaraan di antara umat manusia.
Pada zaman dahulu, kita dapat melihat bahwa masyarakat sudah menuntut hak asasi manusianya. Jika kita menengok ke belakang, maka yang terlintas di benak kita adalah bahwa hak asasi manusia terus berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan dan tatanan zaman. Hak setiap orang adalah untuk dihormati dan setiap orang mempunyai tanggung jawab terhadap hak orang lain. Meski ada perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa dan warna kulit. Namun perbedaan-perbedaan ini tidak mengubah hak-hak asasi tersebut. Para filsuf dan pemikir kuno menafsirkan teori hukum moral yang lebih tinggi di atas hukum positif yang mewujudkan nilai-nilai validitas universal, yang tujuannya adalah untuk membangun tatanan sosial yang harmonis dengan mencapai keseimbangan antara aspek kehidupan spiritual dan material. Itu adalah konsep dharma yang mengatur secara integratif semua tindakan sipil, religi, dan tindakan manusia lainnya dalam masyarakat baik raja atau rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Konsep "Dharmasastras" dan "Arthasastras" dalam Hindu dan pola hukum lainnya di masa lalu telah membentuk sistem yang menakjubkan. Sistem ini mengatur tugas Raja, hakim, subjek dan prosedur peradilan serta hukum. Konsep sentralnya adalah Dharrna, yang fokus pada tatanan sosial. Konsep “Dharma” ini dilihat sebagai nilai tertinggi, yang mengikat raja dan warga negara, laki-laki dan perempuan. Maka dari itu, hak asasi manusia hanya akan bermakna jika ada peradilan independen yang menegakkan hak-hak tersebut. Dharmasastra dalam hal ini jelas dan tegas. Independensi peradilan merupakan salah satu ciri menonjol dari sistem peradilan Hindu. Bahkan pada masa monarki Hindu, penyelenggaraan peradilan selalu terpisah dari eksekutif baik dalam praktik dan teori.
Sistem peradilan Hindu-lah yang pertama kali menyadari dan mengakui pentingnya pemisahan lembaga peradilan dari eksekutif dan memberikan bentuk dan bentuk praktis pada prinsip dasar ini. Perwujudan perspektif yang luas ini dijamin dalam Dharmasastra melalui skema atau koordinasi perilaku yang menakjubkan yang disesuaikan dengan kondisi, status, dan situasi kehidupan yang berbeda. Sehingga ruang lingkup dharma juga mencakup hak asasi manusia yang luas. Individu di India kuno ada sebagai warga negara dan dalam kapasitas itu, individu mempunyai hak dan kewajiban.
ADVERTISEMENT
Hak dan kewajiban ini sebagian besar dinyatakan dalam bentuk kewajiban (Dharma) – kewajiban terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, terhadap sesama, terhadap masyarakat dan dunia pada umumnya. Dalam perspektif India, dasar dari yurisprudensi hak asasi manusia kuno adalah Dharma - cita-cita teori hukum India kuno adalah pembentukan tatanan sosial-hukum yang bebas dari jejak konflik, eksploitasi dan kesengsaraan. Hukum “Dharma” seperti itu merupakan model tatanan hukum universal (Baboo, 2016).
Perspektif Konfusianisme
Sejarah Konfusianisme adalah tradisi terhormat yang pada dasarnya tumbuh dari konflik antar faksi yang melanda masyarakat Tiongkok selama ribuan tahun. Hakikat Konfusianisme adalah belajar menjadi manusia. Dalam perspektif ini, perlu ada proses transformasi diri yang tiada henti dan tanpa akhir, baik sebagai tindakan komunal maupun sebagai respons dialogis terhadap Surga. Perasaan diri ini dipahami tertanam dalam “di sini dan saat ini”, yang mencakup hubungan mutualisme antara diri dan komunitas, serta keselarasan antara manusia dan alam (Welming, 1998). Mengingat penekanan pada hubungan dan keluarga yang merupakan inti dari Konfusianisme, mudah untuk melihat bagaimana tradisi tersebut dapat disalahartikan sebagai perwujudan rasa hormat yang tidak perlu dipertanyakan lagi (unconditional) kepada penguasa.
ADVERTISEMENT
Sejarah menyatakan bahwa Konfusianisme kerap kali mendapat kritikan tajam, khususnya dari pemikir barat karena sifatnya yang hierarkis, yang menurut beberapa orang dapat melemahkan kebebasan dan kesetaraan individu. Salah satunya adalah Weatherley (2002) yang menyatakan bahwa penekanan pada menjaga keharmonisan sosial dan menjalankan peran serta kewajiban yang ketat dapat membatasi otonomi pribadi dan membatasi pengakuan hak asasi manusia sebagai hal yang berlaku secara universal bagi semua individu. Namun, penulsi berpendapat bahwa penting untuk mendekati Konfusianisme dengan nuansa yang mengakui keragaman interpretasi dan adaptasi sepanjang sejarah. Banyak cendekiawan dan praktisi Konfusianisme kontemporer menganjurkan penafsiran ulang prinsip-prinsip Konfusianisme dengan mempertimbangkan nilai-nilai hak asasi manusia. Salah satu pendekatannya adalah dengan menekankan prinsip-prinsip dasar Konfusianisme, seperti kebajikan (ren) dan kebenaran (yi), dan menafsirkannya kembali dengan cara yang selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini memerlukan pertimbangan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan, martabat, dan kesetaraan semua individu (Williams, 2006).
Foto: https://www.britannica.com/biography/Mencius-Chinese-philosopher
Salah satu pemikir konfusianisme terkemuka, Mencius, setuju bahwa moralitaslah yang membuat manusia berbeda dan lebih mulia daripada binatang. Dalam pandangannya, manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan rasa moralitasnya melalui pembelajaran. Bagi Mencius yang meyakini sifat manusia itu baik, kecenderungan-kecenderungan yang baru muncul masih perlu dipupuk dan dikembangkan. Keduanya meyakini bahwa manusia mempunyai potensi untuk unggul secara akhlak, dan setiap orang mampu menjadi orang bijak. Dari titik konvergensi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut Mencius (dalam Tiwald, 2012; Ni, 2014), potensi ini merupakan landasan utama martabat manusia.
ADVERTISEMENT
Welas asih, atau "ren", dianggap sebagai kebajikan paling penting dalam filsafat Mencius. Ini melibatkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain dan memperlakukan mereka dengan baik dan penuh perhatian. Mencius percaya bahwa sifat welas asih ini melekat pada semua individu dan harus memandu tindakan mereka terhadap orang lain. Hal ini dapat dilihat sebagai aspek mendasar dari hak asasi manusia, karena belas kasih mendasari gagasan empati, kesetaraan, dan pengakuan atas nilai dan martabat yang melekat pada setiap orang. Rasa malu, atau "yi", mengacu pada kesadaran moral atau akuntabilitas. Mencius berargumentasi bahwa individu memiliki rasa malu atau bersalah ketika mereka bertindak dengan cara yang bertentangan dengan standar moral mereka sendiri. Rasa malu ini dapat menjadi pedoman moral, membimbing individu menuju perilaku yang benar dan mendorong mereka untuk menghormati hak dan kesejahteraan orang lain. Kesopanan, atau "li", menekankan pentingnya perilaku yang pantas dan menghormati norma dan ritual sosial. Meskipun Mencius menekankan pentingnya kesopanan dalam menjaga ketertiban dan keharmonisan sosial, kesopanan juga dapat diartikan sebagai seruan bagi individu untuk memperlakukan orang lain dengan bermartabat, hormat, dan adil. Terakhir, pemahaman tentang yang benar dan yang salah, atau "zhi", mengacu pada intuisi moral bawaan yang memungkinkan individu membedakan antara yang baik dan yang jahat, benar dan salah. Mencius percaya bahwa perasaan moral bawaan ini ada dalam diri setiap orang dan dapat memandu pengambilan keputusan moral mereka.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Perspektif mengenai hak asasi manusia dari India kuno dan Konfusianisme menawarkan wawasan berharga yang menantang gagasan bahwa hak asasi manusia hanyalah sebuah konsep Barat. Kedua tradisi non-Barat ini mengandung unsur-unsur yang selaras dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia modern, yang menekankan nilai dan martabat yang melekat pada individu. Dari perspektif India kuno, teks seperti Arthashastra mengakui pentingnya pemerintahan yang adil dan perlindungan kebebasan individu. Konsep "dharma" mencakup tugas dan tanggung jawab moral, menyoroti pentingnya keadilan dan perilaku etis dalam masyarakat. Prinsip-prinsip ini mencerminkan pengakuan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, seperti hak atas peradilan yang adil, kebebasan dari pemerintahan yang sewenang-wenang, dan upaya untuk mencapai keadilan bagi semua individu. Demikian pula, Konfusianisme, dengan penekanannya pada pengembangan moral, pemerintahan yang baik hati, dan penanaman kebajikan, dapat dilihat sebagai selaras dengan aspek-aspek tertentu dari hak asasi manusia. Pengakuan akan kasih sayang, empati, dan pentingnya memenuhi peran dan tanggung jawab sosial dalam ajaran Konfusianisme memberikan landasan bagi peningkatan martabat dan kesetaraan manusia.
ADVERTISEMENT
Perspektif non-Barat mengenai hak asasi manusia ini menantang gagasan bahwa hak asasi manusia hanya berasal dari tradisi Barat dan menyoroti universalitas prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Penulis dalam menyajikan dua perspektif tersebut ingin menunjukkan bahwa beragam budaya dan peradaban sepanjang sejarah telah mengakui pentingnya kesejahteraan individu, keadilan, dan keadilan. Mengakui asal usul gagasan hak asasi manusia yang bukan secara unilateral berasal dari Barat akan memperkaya pemahaman kita tentang perjuangan global untuk keadilan dan kesetaraan. Hal ini menekankan bahwa pencarian hak asasi manusia tidak terbatas pada konteks budaya atau geografis tertentu namun merupakan aspirasi bersama umat manusia. Dengan mengakui kontribusi India kuno dan Konfusianisme, kita dapat mendorong pendekatan hak asasi manusia yang lebih inklusif dan beragam, dengan memanfaatkan tradisi etika dan filosofi yang lebih luas. Pada akhirnya, konvergensi perspektif non-Barat mengenai hak asasi manusia dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia modern memperkuat pentingnya mengakui dan menjunjung tinggi nilai dan martabat yang melekat pada setiap individu. Hal ini mendorong kita untuk terlibat dalam dialog dan kolaborasi lintas budaya untuk mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang hak asasi manusia yang mencakup keragaman pengalaman dan perspektif manusia.
ADVERTISEMENT