Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.106.0
Konten dari Pengguna
Bahaya Pengkultusan Politikus Lewat Media Sosial
10 Juni 2025 13:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arif Raha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era media sosial yang serba cepat, ketenaran bisa datang dalam sekejap. Sebuah unggahan viral dapat mengubah orang biasa menjadi selebriti dalam semalam. Fenomena ini juga dimanfaatkan oleh politikus untuk membangun citra dan menarik dukungan. Namun, dibalik peluang ini, terdapat ancaman serius bagi demokrasi: pengkultusan politik.
ADVERTISEMENT
Dari Pemujaan Hingga Loyalitas Buta: Bagaimana Pengkultusan Terjadi?
Pengkultusan terjadi ketika seorang tokoh politik dipandang sebagai sosok yang sempurna, tak bisa salah, bahkan seolah memiliki kualitas ilahi. Dalam konteks politikus Indonesia, polanya kini mulai terlihat bagaimana ia terbentuk. Seorang tokoh yang menunjukan kedekatannya dengan rakyat kecil, miskin. tak segan-segan memberikan segepok uang di lapangan kepada masyarakat, berani marah-marah ketika melihat hal yang janggal dan yang terakhir mau terjun ke tempat yang kotor. jika ini semua di upload ke media sosial dalam sekejap akan meraup penonton setiap.
Penonton-penonton setia ini akan menjelma menjadi loyalis garis keras. Loyalitas buta ini semakin diperkuat oleh algoritma media sosial yang hanya menampilkan konten sesuai preferensi pengguna. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam ruang gema informasi yang memperkuat pandangan tanpa paparan perspektif lain. Selain itu, manusia cenderung mengaitkan keberhasilan atau kegagalan suatu ide dengan individu tertentu, sehingga seorang politikus dapat menjadi simbol harapan yang dikultuskan. Ketika misinformasi merajalela dan identitas kelompok menjadi bagian dari politik, pengkultusan semakin berkembang tanpa disadari.
Jokowi dan Fenomena Kultus Pemimpin di Indonesia
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyata pengkultusan politik terjadi pada Joko Widodo selama masa kepemimpinannya sebagai Presiden Indonesia. Jokowi, yang awalnya dikenal sebagai pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat, lambat laun menjadi figur yang dikultuskan oleh sebagian pendukungnya. Loyalitas terhadapnya begitu kuat hingga kritik terhadap kebijakan pemerintah seringkali dianggap sebagai serangan pribadi terhadap Jokowi. Bahkan, ketika muncul isu kontroversial seperti titipan keluarga Jokowi, sebagian pendukungnya langsung menolak mentah-mentah tanpa mempertimbangkan fakta yang ada.
Pengkultusan terhadap Jokowi membawa dampak buruk bagi demokrasi. Kritik terhadap kebijakan pemerintah seringkali dibungkam oleh pendukung fanatik, sehingga ruang diskusi menjadi terbatas. Polarisasi politik semakin tajam, dengan masyarakat terpecah menjadi dua kubu ekstrem: mereka yang mendukung Jokowi tanpa syarat dan mereka yang menentangnya dengan keras. Akuntabilitas politik pun terganggu, karena setiap upaya untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah sering kali dihadang oleh loyalis yang menganggap kritik sebagai fitnah. Fenomena ini menunjukkan bagaimana pengkultusan dapat menghambat demokrasi yang sehat dan mengurangi transparansi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dedi Mulyadi: Harapan Baru atau Bibit Pengkultusan Berikutnya?
Kini, fenomena serupa mulai terlihat dalam kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat. Dedi dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat dan memiliki gaya khas dalam membangun identitas budaya lokal. Popularitasnya yang tinggi di media sosial membuatnya memiliki basis pendukung yang kuat. Namun, ada kekhawatiran bahwa loyalitas terhadapnya bisa berkembang menjadi pengkultusan yang berbahaya.
Jika pengkultusan terhadap Dedi Mulyadi terjadi, dampaknya bisa serupa dengan yang dialami Jokowi. Kritik terhadap kebijakan pemerintah daerah bisa dianggap sebagai serangan terhadap pribadi Dedi, sehingga ruang diskusi menjadi terbatas. Polarisasi politik di Jawa Barat bisa semakin tajam, dengan pendukung fanatik yang menolak segala bentuk kritik. Akuntabilitas pemerintahan daerah pun bisa terganggu, karena pengawasan terhadap kebijakan gubernur menjadi sulit dilakukan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis dan menilai kepemimpinan berdasarkan kebijakan serta dampaknya bagi rakyat, bukan sekadar persona yang dibangun di media sosial.
ADVERTISEMENT
Melawan Kultus Politik: Tanggung Jawab Kita Bersama
Untuk menghindari bahaya pengkultusan politik, masyarakat perlu mengambil langkah kritis. Menumbuhkan nalar kritis adalah kunci utama dalam menghadapi fenomena ini, dengan selalu memverifikasi informasi dari berbagai sumber sebelum mempercayai suatu narasi politik. Masyarakat juga harus fokus pada kebijakan, bukan figur, dengan menilai seorang politikus berdasarkan program dan kebijakan yang mereka tawarkan, bukan sekadar persona yang dibangun di media sosial. Selain itu, penting untuk membuka diri terhadap perspektif berbeda dan keluar dari gelembung informasi agar diskusi politik tetap seimbang.
Demokrasi yang sehat tidak membutuhkan pemujaan berlebihan terhadap figur politik, melainkan masyarakat yang kritis dan berani mengawasi kekuasaan. Alih-alih membangun kultus individu, kita perlu memastikan bahwa politikus bekerja sesuai kepentingan rakyat, bukan sekadar citra di media sosial.
ADVERTISEMENT