Hilangnya Panggung Aspirasi Rakyat di Negara Demokratis

Yozi Yusandra
Research Assistant ITAPS FEM IPB
Konten dari Pengguna
19 September 2021 18:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yozi Yusandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Moment: 20 Tahun Reformasi (Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Moment: 20 Tahun Reformasi (Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Gawat darurat kebebasan berekspresi patut disampaikan hari ini, gerakan menyampaikan aspirasi yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia merupakan suatu bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja dan langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah. Hilangnya panggung aspirasi rakyat merupakan tanda bahaya demokrasi. Padahal rakyat adalah kuasa tertinggi pada setiap keputusan yang menyangkut kehidupan secara umum. Sebuah negara demokratis, kebebasan menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak dan ciri terbentuknya sebuah demokrasi.
ADVERTISEMENT
Tapi apa yang terjadi belakangan ini, seolah pemerintah tidak butuh antitesis dan agen kritik dalam setiap tindakan yang akan diambil. Padahal hal tersebut mencakup berbagai hal, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Penyampaian pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara tanpa terkecuali dan bukan sesuatu tindakan kejahatan kriminal sehingga harus dilakukan represifitas dan dituduh subversif oleh aparat penegak hukum dan pemerintah, tanpa melihat dan mendengarkan substansi yang akan disampaikan.
Tak asing di telinga kita, beberapa tahun terakhir ini telah banyak gerakan-gerakan independen yang dilakukan oleh kalangan aktivis dan mahasiswa yang terjadi setiap tahunnya dengan beragam permasalahan yang ingin disampaikan. Namun, nyatanya aksi tersebut tidak dihiraukan oleh aparat penegak hukum maupun pemerintah. Seakan tidak butuh rakyat lagi, padahal jika melirik kebelakang sebelum terpilihnya mereka sebagai penyambung lidah rakyat dalam hal mengurus negara serta rakyat mempunyai peran strategis untuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing dari pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT

Negara Demokratis dan Mimbar Aspirasi

Secara umum di Indonesia, demokrasi dapat diartikan pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Sedangkan pada penerapan seharusnya rakyat dapat dapat terlibat pada setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan berbagai aspek baik sosial, ekonomi maupun politik.
Sebagai bangsa yang demokratis aturan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan dilindungi pada pasal 28 UUD 1945 tentang “Hak Asasi Manusia” dan UU No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Hal ini jelas bahwa rakyat mempunyai legalitas hukum yang kuat untuk melakukan gerakan menyampaikan aspirasi dengan berbagai keresahannya kepada pemangku kepentingan/ pemerintah.
Aspirasi adalah segala bentuk kritikan, masukan, harapan sampai dengan pernyataan sikap yang didorong oleh keinginan kuat dari rakyat sebagai bahan pertimbangan dan koreksi untuk pemerintah ataupun lembaga terkait. Maka sudah selayaknya rakyat mendapatkan tempat untuk bersikap dan menuntut segala keinginan yang sempat dijanjikan dan belum sempat terealisasikan.
Mural di Karawang yang sempat dihapus, kembali dilukis lagi. Foto: Dok. Istimewa

Seni dalam Aspirasi

Bentuk aspirasi berupa seni mural merupakan salah satu cara alternatif yang dapat dilakukan rakyat kepada pemerintah, di samping musyawarah tidak dapat dilakukan dan suara tidak dihiraukan. Mural dapat diartikan karya seni dengan teknik menggambar atau melukis di media tembok, dinding ataupun media luas lainnya yang sifatnya permanen. Maka tidak ada salahnya, jika rakyat membuat sebuah seni untuk mengingatkan kepada pemerintah terhadap berbagai kebijakan yang telah dilakukan.
ADVERTISEMENT
Setiap rakyat mempunyai pandangan dan cara yang berbeda dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Hal ini tentunya didasari keresahan yang disebabkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam realisasinya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika rakyat mengeluarkan pendapatnya berbentuk seni. Seharusnya pemerintah bersikap terbuka dan menerima segala kritikan yang ada sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam hal kepentingan rakyat secara umum.
Lantas, bagaimana wajah demokrasi Indonesia hari ini? Apakah program-program yang katanya akan mensejahterakan rakyat dan memberikan kehidupan layak ditambah janji-janji penuntasan kasus HAM terdahulu dan memperkuat lembaga independen yang merupakan salah satu harapan rakyat untuk percaya pada pemangku kepentingan dan perpolitikan negeri ini sudah seutuhnya terjadi?
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menggelar unjuk rasa di depan Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (17/10). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Kemunduran dalam Demokrasi

Penerapan demokrasi pastinya telah melalui banyak proses sampai pada hari ini, melihat perkembangan demokrasi Indonesia yang sudah ada pada masa awal kemerdekaan sampai sekarang dengan berbagai perubahan dalam elemen-elemen ataupun substansinya. Maka pada hari ini dapat di gaungkan bahwa demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana tidak, dewasa ini telah banyak terjadi pembungkaman terhadap aktivis dan mahasiswa. Ciri-ciri demokrasi indonesia yang katanya keputusan pemerintah untuk semua rakyat serta adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia atau warga negara telah dinodai oleh berbagai macam kasus yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Tak lupa di benak kita semua deretan kasus seperti Tragedi Munir, Marsinah, dan Peristiwa Trisakti serta beragam kasus lainnya belum juga terselesaikan. bahkan sampai hari ini kasus perampasan hak nelayan dan petani kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Disisi lain, hadirnya berbagai macam aturan yang dibuat pemangku kepentingan, malah bukan menjadi perbaikan pada wajah demokrasi Indonesia. bahkan hal ini menyebabkan kemunduran pada realisasinya. Ketakutan rakyat pada aturan yang ada saat ini membuat ruang aspirasi itu seakan tidak ada.
Direktur (Amnesty International Indonesia) mengungkapan bahwa terdapat 132 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi yang disebabkan hadirnya UU ITE yang terdiri dari berbagai kalangan baik aktivis, jurnalis maupun warga biasa. Hal ini seakan memperjelas bahwa kemunduran demokrasi itu terjadi serta adanya upaya pembungkaman menyampaikan pendapat di muka umum. Kedudukan rakyat sebagai pemilik keputusan dan kuasa tertinggi sudah tidak terlihat bahkan hilang, hal ini tentu sangat kontras dengan tujuan negara demokratis. Serangkaian kasus tersebut menggambarkan potret demokrasi di Indonesia yang tidak berkeadilan dan melukai hati rakyat yang terus-menerus terjadi tanpa henti di negeri ini.
ADVERTISEMENT

Strata Pemangku Kepentingan dan Rakyat

Pada awal kemerdekaan rakyat dan pemerintah mempunyai tujuan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tetapi semenjak berubahnya zaman, tujuan dan kepentingan itu mulai berbeda bahkan kesenjangan sosial antara penguasa dan rakyat sekarang semakin terlihat. Kepentingan rakyat ingin mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera sedangkan pemerintah ingin melanggengkan kekuasaannya. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini wacana amandemen UUD 1945 untuk periode jabatan presiden, justru menjadi senjata dalam mempertahankan kekuasaan yang absolut oleh pemangku kepentingan.
Maka dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan dan mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak semua warga negara tanpa terkecuali, maka sudah selayaknya negara menjamin kebebasan tersebut serta mendengarkan berbagai aspirasi yang disampaikan oleh rakyatnya. Di samping itu, negara harus berbenah diri dan menerima segala masukan berbentuk kritik, harapan maupun solusi yang ingin disampaikan rakyat dengan berbagai ruang aspirasi publik yang seharusnya disediakan pemerintah sebagai upaya memperbaiki demokrasi di negeri ini. Rakyat dan pemerintah akan menjadi suatu kekuatan utuh dan kuat dalam mencapai dan mewujudkan tujuan bersama sesuai amanat yang sudah tertuang pada pancasila dan undang-undang dasar 1945.
ADVERTISEMENT