Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Menengok, Dibalik Penjara
5 November 2017 20:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Yuana Fatwalloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bui, tangsi, rumah tahanan atau penjara adalah sebutan tempat “pembuangan” bagi orang-orang yang dianggap hina-dina, berjiwa kriminal, berlumur dosa dan perusak tatanan sosial. Mungkin hingga hari ini, stigma tersebut masih melekat erat di masyarakat luas. Namun, dibalik stigma tersebut ada hal yang menarik dibilik penjara. Adalah para tahanan yang hidup dan melanjutkan kehidupannya setelah dijatuhi hukuman penjara di meja hijau.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Deddy Arsya, “Mendisiplinkan Kawula Jajahan” mengungkapkan, bahwa Penjara sebagai alat hukum modern telah hadir sejak masa pemerintahan kolonial yang tidak hanya sebagai lembaga sosial, melainkan sebagai instrumen mengerikan yang sengaja dibentuk dan digunakan oleh penguasa untuk mengendalikan masyarakat yang dikuasai.
Dalam konteks ini, untuk melindungi tujuan-tujuan kolonial, yakni untuk mempertahankan hegemoni penguasa. Dengan penjara, penguasa mampu mengendalikan reaksi-reaksi terhadap hadirnya kekuatan kolonial. Namun, kenyataannya penjara yang digunakan sebagai upaya mendisiplinkan masyarakat di bawah kekuasaan kolonial tidak mampu mengubah wajah orang-orang di dalamnya menjadi “lebih baik”.
Dalam sejarahnya, banyak kaum pergerakan yang dipenjara semakin menjadi-jadi untuk melakukan perlawanan kepada penguasa kolonial. Seperti Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh lainnya yang mampu membangun bangsa-negara hingga saat ini. Jauh sebelum masa pergerakan, dalam naskah kuno masyarakat Minangkabau, yakni cerita-cerita rakyat [kaba] yang berkembang, penjara telah digunakan sebagai upaya melemahkan dan menjatuhkan lawan-lawan politik.
ADVERTISEMENT
Diketahui bahwa pola tersebut hingga saat ini masih hadir ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyak tokoh-tokoh yang pernah dan masih tidur di bilik-bilik penjara setalah “pesta politik”. Seperti mantan ketua KPK Antasari Azhar, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) cagub nomor dua di pilgub DKI Jakarta, dan masih banyak lainnya. Sehingga penjara bukan hanya sebuah institusi atau lembaga kemasyarakatan bagi meraka yang melanggar hukum. Melainkan, tempat bagi mereka yang dikalahkan oleh keadaan, notabene sebagai alat pembungkam bagi orang-orang yang berupaya untuk bersuara.
Dengan demikian, di masa milenial ini tidak sepatutnya jika masih mengikuti alur untuk berpikir negatif mengenai penjara dan orang-orang yang ada di dalamnya. Mari menjadi manusia yang lebih humanis dan berpikir terbuka, tengok mereka yang ada di dalam penjara sebagai menusia yang utuh. Bukan sebagai orang buangan yang tidak layak hidup berdampingan dengan orang lainnya.
ADVERTISEMENT