Menjelajahi Jejak Mbah Pram

Yuana Fatwalloh
Journalist at Kumparan
Konten dari Pengguna
27 Mei 2018 4:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuana Fatwalloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Adalah kutipan Pramoedya Ananta Toer dalam novel 'Rumah Kaca' yang selalu menggugah semangat, saat tak ada gairah untuk menulis.
Dulu, nama Pramoedya Ananta Toer tentu tidak asing di telinga kami sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah. Pasalnya, karya Pramoedya Ananta Toer tidak pernah terlepas dari bingkai masa lalu.
Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab kami panggil Mbah Pram-- kala membicarakan karya-karyanya dalam ruang-ruang diskusi-- adalah seorang sastrawan ulung yang lihai memainkan pena di atas kertas. Terlebih, karya-karya sastranya selalu bersentuhan dengan polemik akar rumput, di mana penguasa kerap ketar-ketir dibuatnya.
Hari ini, saya berkesempatan berkunjung di pameran yang bertajuk 'Namaku Pram', catatan dan arsip mengenai perjalanan karya Mbah Pram selama hidupnya. Kebetulan, hari ini tepat 30 hari pameran berlangsung. Diketahui, pameran ini telah dibuka pada 17 April dan akan berakhir 3 Juni 2018 di Dia.Loe.Gue Jalan Kemang Selatan, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Menarik, adalah kesan pertama ketika memasuki pameran ini. Bagaimana tidak, kebanyakan pengunjung pameran 'Namaku Pram' adalah muda-mudi,  bahkan jarang saya temui pengunjung yang berusia lanjut. Padahal sebelum pergi ke pameran, saya sempat membayangkan jika pengunjungnya adalah orang-orang yang berumur, atau sejumlah orang yang gemar dengan historiografi dan sastra aliran realisme sosialis. Notabene, terlihat membosankan bagi sebagian generasi melenial.
Pameran 'Namaku Pram' terdiri dari beberapa bagian di antaranya adalah timeline yang berupa narasi biografi Mbah Pram dari kecil hingga dewasa. Kemudian, sejumlah buku, arsip, dan kartu pos dari istrinya kepada Mbah Pram di tahun 1970-an.
"Pah, aku baru saja kena flu, dan bagaimana dengan penjakit kau? Aku ada kirimkan djamu, kalau tjotjok bilang sadja nanti aku kirim lagi." demikian, yang ditulis Maemumah Thamrin dalam kartu pos.
ADVERTISEMENT
Berlanjut, anak-anaknya pun ikut berkirim surat kepada Mbah Pram. Seperti Astuti Ananta Toer, Ariana Ananta Toer, Ananda Rita Ananta Toer, Tatiana Ananta Toer dan Yudistria Ananta Toer.
"Mendapatkan ayahanda yang tertjinta.. Ayahanda bagaimanakah keadaannya sekarang? (Titiek berdoa ayahanda sehat wal'afiat). Ayahanda Titiek pada bulan Oktober sehabis ujian mau diopname, doakanlah ayah untuk anakmu ini yang selalu merindukan ayahanda. Peluk tjium untuk ayah," kata Astuti Ananta Toer di kartu pos di Jakarta pada 11 September 1971.
Koleksi pameran lainnya adalah tas yang dipakai oleh Pram ketika keluar dari Pulau Buru, foto Mbah Pram bersama Gunter Grass, (seorang sastrawan, seniman Jerman dan penerima Nobel Sastra untuk literaturl tahun 1999), dan penghargaan yang diterimanya dalam The Norwegian Aouthor Union Award, 2004, untuk sumbangan pada dunia sastra.
ADVERTISEMENT
Termasuk kartu nama kolega dan rekan-rekan sejawatnya. Salah satunya adalah kartu nama Pak Wi (Oei Hiem Hwie), mantan jurnalis di Orde Baru, pemilik Perpustakaan Medayu Agung Surabaya yang disimpan rapi oleh Mbah Pram. Hal ini, mengingatkan saya tentang Pak Wi-- kala saya mencari sumber skripsi di perpustakaannya-- ia kerap juga bercerita mengenai Mbah Pram dengan semangat yang berapi-api.
Dari sejumlah pameran itu, ada yang cukup mencuri perhatian saya. Adalah catatan Mbah Pram saat ia berada di Pulau Buru pada sebuah buku tulis berwana ungu yang berlogo swan no. 1. Catatan itu berjudul 'Sela-Sela Kehidupan di Pedalaman  Buru', yang menampilkan keseharian dan tradisi masyarakat lokal di Pulau Buru. Seperti, berburu dengan tombak, mencari sagu, dan menganyam.
ADVERTISEMENT
"Pada hari-hari menjelang musim kemarau laki wanita mempersiapkan membuat atap untuk perbaikan rumahnya," deskripsi Pram pada gambar seorang wanita sedangan menganyam.
Sementara, di halaman lain Pram juga bercerita mengenai sejumlah tahanan, salah satunya Rizai (54), tahanan Pulau Buru yang pernah mengalami romusha 6 tahun di Kalimantan.
Selain Rizai, ada pula Sugeng Panut. Kata Mbah Pram, Sugeng adalah mahasiswa yang tak sempat menyelesaikan studi akibat tragedi 65. 
"Mahasiswa calon biolog yang gagal karena terkena musibah 65 aslinya Kota Gede Yogya, badannya kurus kering. Tinggi sekitar 185 meter, berat tidak normal hanya 55 kilogram, usianya sekitar 40 tahun," terangnya.
"Selama dalam tahanan berhasil menekuni 3 bahasa asing; Inggris, Prancis, Jerman secara lancar. Selain itu sebagai pangon itik dia berhasil memahami karakter itik jantan dalam merayu setiap betina. Walaupun dia sendiri belum pernah merayu," sambung Mbah Pram menggelitik.
ADVERTISEMENT
Masih di tempat yang sama, ditampilkan replika ruang kerja Mbah Pram. Nampak mesin ketik dan sejumlah buku menjadi penanda bahwa tulis-menulis adalah bagian yang tak terpisahkan darinya.
Nyatanya, ia menyadari keberadaannya yang telah lanjut usia. Menjadi tua pun, Mbah Pram tetaplah seorang sastrawan yang cerdas dengan hidupnya. Mungkin, seperti catatan ini;
Tahun-Tahun Sekarat Seorang Kakek
Tentu, semakin tahun ia semakin jadi tua. Uzur. Celakanya, ia menyadari keadaan ini. Menyenangkan atau tidak bukan garapan seorang kakek untuk melakukan.
Setiap hari ia berbincang dengan sang maut yang tercipta dalam pikirannya sendiri. Bangun tidur, ambil koran, pertama-tama yang dicarinya adalah iklan dukacita: pedagang, puernawirawan berpangkat atau sipil, pedagang WNK, berbagai usia. Ia tersenyum dan mengangguk-angguk bila usia yang berkepentingan lebih muda dari usianya sendiri, tapi mengangguk hormat bila usai itu sepuluh bahkan dua puluh kali lebih tua daripada dirinya sendiri
ADVERTISEMENT
"Pada akhirnya hidup hanya begini ini," ia bergumam. "Cita cita tentang kehidupan yang lebih baik di hari esok.... di mana semua itu sekarang. Dalam remah dan sisa hidupnya pun nol. Romantika arah hari depan, wah, nyatanya hanya baik untuk barang dagangan politisi, yang sendiri juga tidak pernah yakin akan ucapannya sendiri."
Sekali lagi ia mengangguk-angguk. Sekali ini tanpa bergumam. Bukan karena terkejut pada gerutunya sendiri; tiba-tiba saja ia menyadari ada seorang aku dalam dirinya yang tidak lagi membutuhkan sangkalan, persetujuan, atau pun ajakan. Sang aku dengan dirinya nampaknya sudah jadi satu kesatuan. Tanpa suatu perencanaan ia mulai melangkah ke dunia metafisika. Bah! Ia menggeleng cepat.