Malari 1974: Gerakan Mahasiswa Tunggangan Konflik Antar Jenderal

Yudananto Ramadan Saputro
Mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman yang tertarik terhadap berbagai kajian sosial-politik. Terutama terhadap Orde Lama, Orde Baru, dan politik militer
Konten dari Pengguna
16 Januari 2022 16:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudananto Ramadan Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ali Moertopo (kiri) bersama Soemitro (kanan). Foto: Repro Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74 karya Heru Cahyono.
zoom-in-whitePerbesar
Ali Moertopo (kiri) bersama Soemitro (kanan). Foto: Repro Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74 karya Heru Cahyono.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 1908, ketika Boedi Oetomo sebagai organisasi pemuda dan mahasiswa yang memiliki sistem pengorganisasian modern berdiri, pergerakan mahasiswa di Indonesia selalu memunculkan sebuah perkembangan yang progresif.
ADVERTISEMENT
Sejarah pergerakan mahasiswa kerap dipandang sejalan dengan bagaimana proses Indonesia terbentuk yang memang tidak dapat dilepaskan dari peran para pemuda-pemudi. Dalam sejarahnya, mahasiswa dipandang sebagai sebuah entitas yang dari masa ke masa selalu ada dan berperan dalam perubahan arah pergerakan negara.
Hal ini setidaknya dapat kita pandang dari bagaimana munculnya sebuah periodisasi terhadap berbagai kelompok pergerakan mahasiswa. Kelompok tersebut bergerak dalam konstelasi politik yang panjang dan rumit. Contohnya seperti kelompok angkatan 1908, angkatan 1928, angkatan 1945, angkatan 1966, angkatan 1974, dan angkatan 1998.
Pentingnya peranan mahasiswa dalam berbagai upayanya untuk mengubah arah haluan negara kemudian melekatkan mereka terhadap sebuah stigma, yaitu agent of change. Sebenarnya hal ini tidak dapat dipandang sebagai jargon semata. Perwujudan pergerakan mahasiswa sebagai agent of change dapat kita lihat misalnya lewat salah satu contoh, yang dilakukan oleh angkatan 1966.
ADVERTISEMENT
Kala itu, ribuan mahasiswa tumpah ke jalan sebagai respon atas keprihatinan mereka terhadap kondisi negara di era Presiden Soekarno. Demo ini berhulu dari tragedi berdarah G30S/PKI.
Beberapa pentolan PKI terlibat dalam tragedi itu. Namun, Presiden Soekarno tidak melakukan apa-apa. Presiden Soekarno masih begitu menyayangi PKI yang digunakan sebagai salah satu mesin politiknya. Ditambah, keadaan sosial-ekonomi negara kala itu juga sedang terguncang akibat konfrontasi politik Indonesia-Malaysia dan persoalan Irian Barat.
Protes besar mahasiswa yang dituangkan lewat Tritura perlahan-lahan mampu mendelegitimasi kekuasaan Presiden Soekarno hingga pada 1968, Presiden Soekarno lengser dan digantikan oleh Jenderal Soeharto yang naik sebagai presiden.
Namun begitu, dibalik gegap gempita pelengseran Presiden Soekarno dan kenaikan Jenderal Soeharto lewat aksi di 1966 tersebut, penulis melihat salah satu hal yang dapat menjadi bahaya laten eksistensi gerakan mahasiswa apabila gerakan semacam ini terus eksis. Penulis melihat bahwa gerakan tersebut kental dengan nuansa politis yang mempertaruhkan nasib politik dari pihak-pihak pro dan kontra Orde Lama.
ADVERTISEMENT
Seperti pula yang dikemukakan oleh Abdul Mun'im DZ dalam bukunya yang berjudul Gerakan Mahasiswa 1966 Di Tengah Pertarungan Politik Elite, bahwa gerakan 1966 jelas memiliki keterkaitan dengan pertarungan antar elite politik yang kala itu tenggelam dalam beberapa kubu: pro-Presiden Soekarno dan kontra-Presiden Soekarno; pro-komunis dan kontra-komunis; militer pro-Presiden Soekarno dan militer pro-Jenderal Soeharto.
Bukti dari literatur lain yang mengatakan bahwa gerakan 1966 bernuansa politis adalah yang bersumber dari Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I (Waperdam I) Presiden Soekarno dalam bukunya yang berjudul Kesaksianku Tentang G30S.
Dalam buku itu, Soebandrio mengatakan bahwa pada tanggal 16 Oktober 1965, Jenderal Soeharto selaku Menpangad yang kala itu berada di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjend Syarief Thayeb, membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang seiring berjalannya waktu, mereka sering berdemo di depan istana untuk mula-mula meneriakkan Tritura hingga pada akhirnya menuntut Presiden Soekarno untuk mundur dengan didukung oleh pasukan RPKAD (saat ini Kopassus) dan Kostrad.
ADVERTISEMENT
Dhaniel Dhakidae dalam bukunya yang berjudul Soe Hok Gie Sang Demonstran mengatakan bahwa gerakan mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok: gerakan moral yang bergerak atas dasar salah-benarnya negara dalam memberlakukan sebuah kebijakan yang berupaya untuk mengoreksi perilaku politik negara agar lebih populis, dan gerakan politis yang bergerak berdasarkan perhitungan politik dan pertimbangan kuat-lemah suatu entitas.
Ditinjau dari kerangka teori tersebut, maka gerakan mahasiswa tahun 1996 jelas memiliki nuansa politis. Penulis melihat bahwa gerakan tersebut merupakan sebuah entitas yang lahir dari konsensus politik Jenderal Soeharto dengan tujuan yang politis pula, yaitu untuk mendelegitimasi kekuasaan Presiden Soekarno dan mendukung kenaikan Jenderal Soeharto. Kala itu, mahasiswa digunakan Jenderal Soeharto sebagai kekuatan pendobrak untuk merusak kekuasaan Presiden Soekarno.
ADVERTISEMENT
Hal ini lebih lanjut tertuang di dalam buku Jusuf Wanandi yang berjudul Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998. Dalam buku itu tertulis, pasca KAMI dibubarkan Presiden Soekarno, para aktivis KAMI mendatangi kediaman Jenderal Soeharto untuk menanyakan mengapa ia membiarkan KAMI dibubarkan.
Lantas Jenderal Soeharto menjawab "kalau kalian ingin saya memimpin, kalian ikuti cara saya". Pernyataan tersebut membuktikan bahwa KAMI ada di bawah komando Jenderal Soeharto.
Melihat itu, penulis beranggapan bahwa mahasiswa dan pergerakannya merupakan sebuah hal yang "seksi" untuk dikuasai. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kuantitas mahasiswa, mobilitas, dan rasa solidaritas yang tinggi.
Selain itu, kepekaan mahasiswa yang tinggi terhadap upaya perubahan terhadap lingkungan sosial mereka juga menjadi salah satu faktornya. Umumnya, mula-mula mahasiswa membentuk sebuah gerakan berdasarkan aspek moral seperti yang sudah penulis jelaskan lewat pemikiran Dhaniel Dhakidae di atas.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, gerakan berbasis moral tersebut bisa berubah menjadi gerakan yang bersifat politis. Perubahan ini bisa muncul secara disadari maupun tidak. Menurut penulis, perubahan ini dapat terjadi apabila terdapat sebuah kekosongan ruang dalam pergerakan tersebut. Sehingga akan muncul suatu pihak yang dapat menggiring prinsip pergerakan mahasiswa.
Inilah alasan mengapa, dalam sebuah pergerakan kita akan sering menjumpai sebuah pekikan: "Hati-hati.. hati-hati.. hati-hati.. provokasi". Inilah pula, alasan mengapa kita akan sering menjumpai nada-nada berlirikan "satu komando, satu tujuan" dalam sebuah aksi.
Rapatkan barisan, perketat border, lihat kanan-kiri, perhatikan kawan seperjuangan, perhatikan instruksi pimpinan.
Karena, bagi penulis terdapat satu hal yang dapat memengaruhi sukses-gagalnya pergerakan mahasiswa, yaitu: prinsip.

Tentang Malari 1974

Malapetaka 15 Januari (Malari) adalah sebuah peristiwa kerusuhan besar pertama di era Orde Baru yang dilakukan mahasiswa tepat saat kedatangan PM Jepang, Kakuei Tanaka ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Walau bukan kisruh terbesar dalam sejarah Indonesia berdiri, peristiwa ini menjadi begitu menarik untuk ditelusuri. Di dalamnya terkandung sebuah intrik antar elite militer dan politik yang faksional dan dapat memengaruhi bagaimana gerakan mahasiswa berikutnya berjalan.
Protes mahasiswa itu dilatarbelakangi oleh kebijakan Orde Baru yang dinilai terlalu terbuka terhadap investasi asing sehingga memunculkan cukong-cukong pemerintah, memicu timbulnya korupsi dan memperparah kesenjangan.
Aksi protes ini sebenarnya merupakan buntut dari protes panjang mahasiswa di tahun-tahun sebelumnya yang tidak digubris oleh pemerintah. Kekecewaan-kekecewaan tersebut, dirangkum oleh mahasiswa lewat Tritura (tiga tuntutan rakyat) Baru: bubarkan aspri (asisten pribadi Presiden Soeharto); turunkan harga; dan berantas korupsi.
Gerakan ini dilakukan lewat berbagai rangkaian kegiatan yang berturut-turut dilakukan mulai 31 Desember 1973 hingga 21 Januari 1974. Pada mulanya, rangkaian kegiatan ini berjalan lancar. Hingga pada tanggal 15 Januari, terjadilah sebuah kerusuhan.
ADVERTISEMENT
Pada 15 Januari, massa melakukan longmarch ke Universitas Trisakti untuk melakukan apel mahasiswa sembari menggaungkan Tritura Baru. Dari Universitas Trisakti, massa berjalan ke Jalan Juanda dan Gajah Mada.
Disaat inilah, kerusuhan terjadi. Sekelompok massa merusak berbagai kantor dan pertokoan. Utamanya yang memiliki hubungan dengan Jepang, termasuk kantor pusat PT. Astra, Toyota, hingga Coca Cola.
Gerakan yang semula muncul dengan berlandaskan moralitas untuk memperjuangkan kepentingan kolektif berubah menjadi sebuah kerusuhan. Saling tuding muncul setelah Malari. Siapa dibalik api ini? Hariman Siregar, mantan Ketua Dewan Mahasiswa UI, kepada Tempo bersuara:
Pasca peristiwa ini, isu semakin berkembang. Isu ini berkaitan dengan dugaan bahwa kerusuhan Malari dijadikan kuda tunggangan oleh suatu kelompok jenderal untuk meruntuhkan kekuasaan satu jenderal di lain sisi.
ADVERTISEMENT

Dugaan Konflik Antar Jenderal

Para jenderal yang dimaksud penulis, adalah Letjen. Ali Moertopo-Soedjono Humardani selaku Kepala Opsus (Operasi Khusus) dan aspri presiden di satu sisi, dan Jenderal Soemitro-Sutopo Juwono yang bertindak sebagai Panglima Kopkamtib dan Kepala Bakin (saat ini BIN) di sisi lain.
Secara hierarkis, mereka berdua sebenarnya merupakan perwira tinggi dengan jabatan strategis yang sama-sama berada di lingkup ring 1 kepresidenan.
Namun begitu, besarnya pengaruh yang sama-sama dimiliki tersebut justru menimbulkan rasa tidak suka dan saling gesek hingga berujung pada upaya penyingkiran satu pihak terhadap pihak lainnya.
Kala itu, Ali dan Soemitro merupakan petinggi yang kerap pandangannya kerap berseberangan sehingga menimbulkan rasa tidak suka secara personal, tidak hanya secara kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang aspri presiden dan kepala Opsus, Ali memiliki kewenangan yang sangat besar. Ia dinilai dapat bergerak begitu leluasa dan berhak menyelenggarakan segala macam hal yang berkepentingan dengan mengatasnamakan Presiden Soeharto. Maka dari itu, beberapa pihak mengatakan bahwa lembaga ini adalah semacam "pemerintah bayangan".
Operasi yang dilakukan Ali juga bukan hanya dalam satu sektor tertentu, namun sudah menuju kepada urusan lintas sektoral seperti penggolongan kekuatan politik untuk Partai Golkar, Operasi Pepera Irian Barat, hingga masalah Indo-Cina.
Posisi Ali-Soedjono sebagai aspri presiden dan Opsus kerap berseberangan dengan Kopkamtib, lembaga yang dipimpin Soemitro. Kopkamtib merupakan lembaga super power yang memiliki kewenangan untuk mengorganisir seluruh aspek kemiliteran saat itu.
Meskipun merupakan bagian dari komunitas militer, namun Ali tidak pernah berkoordinasi dengan Kopkamtib. Salah satu yang dipermasalahkan adalah mengenai tugas Ali dalam menggalang para aktivis DI/TII untuk penggalangan kekuatan politik Golkar.
ADVERTISEMENT
Soal lain, adalah mengenai perspektif mereka dalam menanggapi gerakan mahasiswa. Ali menganggap, bahwa gerakan mahasiswa ketika itu sudah berbahaya. Namun, Soemitro menganggap bahwa gerakan ini masih dalam batas wajar dikarenakan sebuah konsekuensi logis dari semakin terdidiknya masyarakat.
Progresivitas Soemitro dalam bertindak juga semakin membuat renggang hubungan antar mereka. Soemitro dikenal sebagai jenderal yang cerdas dan penuh gagasan.
Apalagi pada era 70-an itu, Soemitro memang sedang kerap melakukan safari ke berbagai perguruan tinggi. Upaya ini ditafsirkan oleh segelintir pihak sebagai usaha Soemitro dalam menggalang dukungan massa untuk sebuah pemilihan presiden dan penggusuran terhadap Presiden Soeharto. Terdapat pihak-pihak yang mengatakan bahwa Soemitro berambisi menjadi presiden.
Dugaan itu diperkuat dengan munculnya "Dokumen Ramadi" yang di dalamnya dikatakan bahwa Soemitro hendak menggulingkan Presiden Soeharto. Walaupun belakangan Soemitro membantah tuduhan tersebut dan balik menuduh bahwa Ramadi adalah orang binaan Ali.
ADVERTISEMENT
Dari sisi lain, Soemitro mengatakan bahwa dalam melakukan safari tersebut, ia memiliki visi untuk merangkul kembali kekuatan mahasiswa yang saat itu dinilai terpinggirkan akibat hubungan antar pemerintah dan mahasiswa yang kurang harmonis.

Puncak Konflik dan Dugaan Penunggangan Aksi

Puncak konflik mereka adalah melalui kerusuhan pada aksi mahasiswa 15 Januari tersebut. Sebagai seorang panglima organisasi yang bertanggung jawab atas segala bentuk keamanan dan ketertiban, kerusuhan tersebut sudah barang tentu merupakan tanggung jawab seorang Soemitro.
Apalagi, dampak kerusuhan ini sangat tidak murah. Selain kerugian materiil, nyawa masyarakat juga menjadi taruhannya. Soemitro menjadi pihak yang tersalahkan atas kekacauan ini.
Namun, Soemitro bukan tanpa perlawanan. Soemitro balik menuding bahwa kerusuhan Malari ini merupakan rekayasa yang dibuat oleh Ali lewat beragam kaki tangannya dengan cara menunggangi aksi mahasiswa tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Ramadi merupakan orang garapan Ali-Soedjono lewat organisasi keagamaan Islam GUPPI. Heru Cahyono dalam bukunya Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari menuturkan bahwa rapat di rumah Ramadi bukan untuk membahas soal pembaharuan pendidikan Islam. Namun justru untuk menyiapkan gerakan huru-hara di Jakarta dengan cara menyusup dan menunggangi aksi mahasiswa dalam menolak kedatangan PM Jepang.
Kabarnya, massa yang menunggangi kerusuhan Malari tersebut adalah orang-orang DI/TII binaan Ali Moertopo yang berasal dari Karawang. Selain itu, juga terdapat elemen lain, yaitu preman dan tukang becak. Semuanya diorganisir oleh Opsus, organisasi yang dipimpin Ali.
Selain itu, Soemitro juga menuduh Jusuf Wanandi, salah satu yang menjadi pendiri CSIS selain Ali. Ia menuduh Jusuf menggolontorkan dana untuk gerakan ini. Juga terkait Jusuf yang sering berada di kantor GUPPI, padahal ia seorang non-muslim.
ADVERTISEMENT
Bambang Trisulo, juga dituding oleh Soemitro sebagai komandan pelaksana dari Opsus. Ia merupakan orang Orde Lama yang direkrut oleh Ali. Selama era Orde Lama, Bambang juga kerap memiliki pekerjaan untuk melibas lawan-lawan politik Orde Lama. Bambang dituduh Soemitro menggelontorkan 30 juta rupiah untuk menyukseskan gelaran kekacauan Malari.
Menurut laporan intellijen Soemitro, pada intinya Ali menggerakkan kekacauan lewat jaringan Opsus yang memanfaatkan para preman lepas, CSIS, serta GUPPI.

Buntut Kekacauan

Soemitro menjadi pihak yang tersingkirkan akibat kekacauan ini. Karena dinilai bertanggung jawab, Soemitro dicopot dari dinasnya sebagai Panglima Kopkamtib. Ia ditawari menadi Duta Besar Amerika Serikat, namun menolak dan memilih untuk pensiun dini.
Bagi penulis, penyingkiran Soemitro jelas berkaitan dengan progresivitas yang ia miliki. Sebagai salah seorang pemangku jabatan tertinggi, ia memiliki pamor yang dinilai dapat membahayakan kedudukan Presiden Soeharto. Pamor tersebut salah satunya muncul dari progesivitas ia berpikir dan bertindak.
ADVERTISEMENT
Soemitro seorang muslim, cerdas, progresif, dan juga jenderal. Ketiga itu merupakan kategori seseorang yang dinilai dapat membahayakan kekuasaan seorang diktator. Bagi penulis, bisa jadi, upaya penyingkiran dan ketidaksukaan ini mula-mula hanya bermuara pada diri Ali Moertopo. Namun, dengan potensi dan pergerakan yang ia tekuni, kebencian ini juga menjalar kepada diri Presiden Soeharto.
Penulis melihat, bahwa gerakan mahasiswa ini mulanya terbentuk dari keresahan bersama mahasiswa atas perilaku sebuah rezim. Nilai moralitas dijunjung lewat gerakan ini. Penulis pribadi tidak melihat bahwa gerakan ini sedari awal memang dirancang untuk sesuatu yang sifatnya politis.
Apabila yang dikatakan oleh Soemitro bahwa Ali adalah dalang dari kerusuhan ini, maka Ali merupakan orang yang cerdas. Ali setidaknya bisa menciptakan 2 hal besar lewat hasil menunggangi gerakan mahasiswa tersebut, yaitu: mereduksi peran dan fokus mahasiswa terhadap isu yang dibawa; serta menyingkirkan lawan politiknya.
ADVERTISEMENT
Referensi: