Maraknya Kriminalitas Dapat Membawa Kita Kembali Ke Masa Layaknya Orde Baru

Yudananto Ramadan Saputro
Mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman yang tertarik terhadap berbagai kajian sosial-politik. Terutama terhadap Orde Lama, Orde Baru, dan politik militer
Konten dari Pengguna
2 Januari 2022 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudananto Ramadan Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden RI Ke-2, Soeharto. (sumber: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden RI Ke-2, Soeharto. (sumber: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Netizen yang menghuni berbagai jagat sosial media di Indonesia baru-baru ini kembali dihebohkan dengan suatu anomali yang terjadi, khususnya yang datang dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
ADVERTISEMENT
Keriuhan itu muncul setelah berbagai tagar seperti #SriSultanYogyaDaruratKlitih dan #YogyaTidakAman bergaung di Twitter. Tagar-tagar itu muncul sebagai suatu konsekuensi logis dari sedang maraknya peristiwa Klitih yang terjadi di Yogyakarta.
Hal ini mengundang sorotan berbagai pihak. Pasalnya, keberadaan pelaku klitih dengan jelas dapat mengganggu ketenteraman warga. Walau sejatinya terdapat perbedaan mendasar terkait motif dan "derajat kejahatan" antara klitih dengan copet, jambret, begal dan sebagainya, namun bagaimanapun hal ini tetap dirasa penting untuk diberantas.
Bagi penulis, kriminalitas sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Kriminalitas muncul sebagai akibat dari adanya rasa ketidakpuasan individu atau kelompok terhadap kegagalan suatu sistem yang menaungi mereka. Maka dari itu, negara perlu hadir untuk menyelesaikan berbagai problematika kompleks yang mendasari terciptanya tindak kriminalitas ini.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, kriminalitas sudah menjadi hal yang mendarah daging. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan ditemukannya sebuah relief yang bernama Relief Karmawibhangga. Sebuah relief yang dibuat pada era Mataram Kuno dan terpampang pada dinding Candi Borobudur. Relief tersebut berisi upaya menanggulangi kejahatan pada masa itu.
Berbicara mengenai kriminalitas, penulis teringat akan sebuah memori tentang pengalaman Indonesia terhadap kriminalitas. Penulis khususnya teringat tentang kriminalitas yang terjadi pada masa Orde Baru yang memiliki "ciri khas" nya tersendiri.
Sekilas Tentang Orde Baru
Di Indonesia era Orde Baru, kriminalitas memiliki ceritanya sendiri. Hal yang paling disorot pada masa itu, adalah mengenai bagaimana pemerintah memberantas para pelaku kriminal. Barangkali saja, pola pemberantasan para pelaku kriminal di Orde Baru merupakan yang paling berbeda di dunia.
ADVERTISEMENT
Penulis melihat bahwa pola pemberantasan tindak kriminal di Orde Baru sangat erat berkaitan dengan orientasi dan tipe kepemimpinan sang pemimpin rezim. Ya, tipologi kepemimpinan Presiden Soeharto dapat membantu kita untuk menelaah pola pemberantasan para kriminal di era ini.
Soeharto adalah Presiden Indonesia ke-2 yang berasal dari golongan militer. Sebelum diangkat menjadi presiden oleh MPRS, ia adalah seorang militer aktif dengan jabatan terakhir sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (saat ini KSAD).
Rezim Orde Baru Soeharto berdiri dan mengklaim dirinya sebagai koreksi atas Orde Lama Soekarno yang dinilai gagal dalam menciptakan stabilitas terhadap 2 hal, yaitu politik dan ekonomi. Maka dari itu, tujuan berdirinya Orde Baru adalah untuk memperbaiki hal-hal tersebut.
Rezim Orde Baru percaya, bahwa kunci untuk bisa memperbaiki kedua permasalahan tersebut adalah dengan menciptakan stabilitas terhadap keamanan negara dengan menciptakan kontrol mutlak yang dipegang oleh penguasa. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang mbalelo dan kemudian menciptakan instabilitas.
ADVERTISEMENT
Maka untuk bisa menciptakan tujuan tersebut, rezim Orde Baru menaruh tanggung jawab terhadap ABRI, khususnya TNI.
Pemberantasan Kriminalitas
Konsekuensi dari komitmen Orde Baru yang berupaya menciptakan stabilitas politik dan ekonomi melalui pendekatan keamanan adalah mereka menjadi kerap bertindak agresif terhadap semua hal yang dianggap membahayakan stabilitas keamanan.
Hard power rezim Soeharto dalam upaya menciptakan stabilitas keamanan dapat kita lihat dengan jelas pada kasus penembakan misterius (Petrus) pada tahun 1980-an.
Petrus merupakan sebuah operasi pemberantasan kejahatan dengan target yaitu orang-orang yang dianggap telah melakukan perbuatan kriminalitas dan premanisme hingga menciptakan ketidaktenteraman di masyarakat. Kelompok kriminal yang diberangus ini disebut Gabungan Anak Liar (Gali).
Operasi Petrus tercatat merupakan salah satu dari beberapa tindak opresi yang dilakukan rezim Orde Baru dan digolongkan sebagai tindak kejahatan HAM. Operasi ini tercatat dimulai pada tahun 1982 hingga tahun 1985. Berbagai organisasi HAM menyatakan, bahwa pada kurun waktu tersebut korban yang berjatuhan akibat diberantas Orde Baru mencapai ribuan orang.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, Salim Said (2016) menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia umumnya bersikap positif terhadap operasi yang dilakukan oleh TNI ini. Alasannya, yaitu karena masyarakat umum kecewa terhadap Polri yang dinilai gagal mengatasi keganasan para penjahat.
Mulanya, operasi ini dilakukan pada tahun 1982 di Yogyakarta. Operasi Petrus ini dilakukan oleh satuan teritorial TNI setempat dibawah arahan langsung dari Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Dalam hal ini, yaitu yang dilakukan oleh Letkol Inf. Muhammad Hasbi selaku Dandim 0734 Yogyakarta. Salim Said (2016) mengatakan bahwa mulanya operasi ini hanya dilakukan oleh Dandim 0734 Yogyakarta, sebelum akhirnya diambil alih oleh Laksamana Sudomo dan diberlakukan di seluruh Indonesia.
Kala itu, Laksamana Sudomo melancarkan serangan pembersihan terhadap para bandit melalui operasi yang dinamakan Operasi Celurit. Sebelum beraksi, mereka biasa menginventarisir terlebih dahulu daftar-daftar nama preman yang akan diberantas. Maka keesokan harinya, masyarakat akan melihat mayat yang tergeletak di tempat-tempat umum.
ADVERTISEMENT
Dalam operasi ini, komandan satuan teritorial TNI setempat berada langsung di bawah kontrol Pangkopkamtib. Sedangkan, Pangkopkamtib merupakan jabatan yang berada langsung di bawah komando Presiden Soeharto. Struktur ini kemudian dapat membuktikan restu dan keterlibatan presiden akan kasus ini.
Di tahun 1983, Jenderal Benny Moerdani naik menjadi Pangkopkamtib menggantikan Laksamana Sudomo. Operasi tersebut pun masih terus dilancarkan olehnya. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa Kopkamtib adalah sebuah lembaga yang bertugas untuk menjaga dan mewujudkan keamanan serta ketertiban nasional yang menurut Keputusan Presiden No 9 tahun 1974, lembaga ini ada di bawah kontrol pemerintah, yang dimaksud disini, adalah Presiden Soeharto.
Penulis beranggapan, bahwa Kopkamtib tidak lain hanyalah sebuah lembaga tangan kanan pemerintah dalam upaya mewujudkan kehendaknya yang tentu dilakukan dengan cara-cara militeristik yang intimidatif, lembaga ini berdiri pada "struktur yang berbeda".
ADVERTISEMENT
Kopkamtib memang di desain sebagai lembaga super power dengan dibekali wewenang extra constitutional. Saking luar biasanya power yang dimiliki, lembaga ini memiliki kewenangan untuk melakukan veto. Kopkamtib dapat menerobos wewenang sipil dan berbagai undang-undang dengan dalih mewujudkan stabilitas dan keamanan nasional.
Presiden Soeharto dalam Pengakuan
Pada masa kepemimpinan Jenderal Benny inilah, pelaksanaan operasi ini mulai terendus oleh publik baik di dalam dan luar negeri dan mendapatkan banyak tekanan. Bagaimana tidak, pasalnya korban-korban Petrus yang berjatuhan setelah dibunuh dibiarkan begitu saja tergeletak di berbagai tempat umum.
Protes dari dalam dan luar negeri tersebut mulai "menggangu" ketenangan di pusat Jakarta. Disaat itu, Jenderal Benny tampil ke depan pers. Menurut Salim Said (2016) Pangkopkamtib itu menyebut korban Petrus sebagai akibat perang antar kelompok geng kriminal. Ia membantah keterlibatan pemerintah dalam kasus ini.
ADVERTISEMENT
Adalah Presiden Soeharto yang kemudian dalam memoarnya berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) mengakui keterlibatan pemerintah dalam pembantaian tersebut.
Pengakuan dan tindakan Presiden Soeharto tersebut didasari atas kekesalannya terhadap Gali yang dinilai telah bertindak secara brutal. Ia mendeskripsikan Gali sebagai pembunuh, pemberontak, bahkan pemerkosa. Hal ini diketahui lewat tulisan Siegel (2000) yang mengutip sebuah pernyataan dari memoar Presiden Soeharto pada jilid pertama, yang kemudian pada jilid berikutnya, pernyataan tersebut dihapus.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Jenderal Benny, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan ketika memoar tersebut terbit, merasa kesal karena dipermalukan oleh atasannya (Said, 2016). Presiden Soeharto berkelakar bahwa operasi ini adalah tindakan untuk mewujudkan ketertiban umum dan melindungi masyarakat dari tindak kriminalitas Gali.
Ia menyatakan bahwa operasi tersebut merupakan sebuah sebab-musabab dari berbagai hal. Dan dalam hal ini, masyarakat menjadi pihak yang terdampak. Maka dari itu, Presiden Soeharto merasa perlu untuk melindungi masyarakatnya. Barangkali Presiden Soeharto benar apabila dikaitkan dengan tujuannya untuk menjaga stabilitas keamanan di masyarakat, hal ini juga sesuai dengan orientasi rezimnya.
Namun begitu, apakah tepat apabila operasi pembersihan tersebut dilakukan dengan cara-cara militeristik hingga berujung pada penghilangan nyawa seseorang? Presiden Soeharto berdalih menyelamatkan masyarakat dari Gali yang gemar melawan hukum, tidak berperikemanusiaan, hingga kerap membunuh, namun ia pun membersihkan Gali tersebut dengan cara-cara melawan hukum, prosedur yang non manusiawi, dan hingga menuju pada pembunuhan. Bukankah hal ini juga kemudian membuat pemerintah bertindak sama kejamnya dengan para Gali itu sendiri?
ADVERTISEMENT
Mempertanyakan Motif
Pemilik akun Twitter Moddie Alvianto (@moddiealdieano) melempar sebuah pertanyaan yang cukup menarik terkait motif dari para pelaku klitih ini. Apakah terjadi hanya untuk iseng-iseng? Bersenang-senang? Pencarian jati diri? Atau untuk eksistensi semata?
Bagi penulis, pertanyaan yang diajukan oleh Moddie tersebut bisa menjadi jawaban dari motif para pelaku klitih ini. Penulis melihatnya dari aspek kondisi pelaku dan derajat kejahatan yang dilakukan.
Secara umum, klitih dilakukan dengan melukai korban menggunakan senjata tajam. Setelah itu, mereka akan kabur begitu saja meninggalkan korban tanpa terlebih dahulu berusaha lebih keras untuk menggapai tujuan lain, menggasak harta benda korban misalnya. Hal ini tentu berbeda dari copet, jambret, begal, dan sebagainya yang tujuannya jelas: harta benda.
ADVERTISEMENT
Secara umum apabila kita lihat dari banyaknya kasus, klitih bertindak untuk tujuan non-materiil. Yang, bagi penulis sendiri, cukup misterius.
Dari aspek kondisi pelaku, secara umum klitih ini dilakukan oleh pemuda yang rata-rata masih berumur sekitar 14-19 tahun. Apabila dikaitkan dengan jenjang pendidikan, maka mereka merupakan pengenyam bangku SMP dan SMA.
Jikalau kita berbicara dari perspektif ilmu psikologi. Anak mulai dikatakan remaja jika sudah menginjak umur 11-19 tahun. Pada masa yang disebut masa transisi itu, remaja sedang mencari jati dirinya sebagai seorang remaja. Di masa itu pula, seorang remaja akan sering mengalami instabilitas emosi dan kejiwaan hingga cenderung akan salah bergaul dari norma yang sering berlaku di masyarakat.
Dilihat dari kedua aspek itu, maka sangat mungkin apabila para pelaku klitih melakukan aksinya dengan tujuan-tujuan yang dipertanyakan oleh Moddie.
ADVERTISEMENT
Ya, iseng-iseng, bersenang-senang, jati diri, atau eksistensi semata, semua bisa menjadi masuk akal disini. Mengingat hasil akhir yang didapat oleh para pelaku klitih ini cenderung "abstrak".
Mencari Solusi
Klitih sama sekali tidak bisa dipandang remeh. Negara perlu hadir disini, memastikan bahwa klitih bisa diberantas habis sampai akarnya. Diperlukan kerjasama lintas sektoral yang kompak.
Satu hal yang penulis khawatirkan apabila negara tidak lekas turun memberantas klitih, adalah: amukan warga. Warga yang sudah muak akan kriminalitas ini, ditambah sikap negara yang acuh terhadap klitih, bisa saja bersatu dan membawa pelaku klitih ke ranah hukum.
Tapi bukan hukum yang dilakukan di sebuah ruangan dengan tampilan meja hijau di bagian depan ruangan, hukum yang dimaksud ini bisa membuat seseorang lenyap seketika. Yaitu, adalah hukum jalanan.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis pribadi, hukum jalanan jauh lebih mengerikan daripada hukum formal. Hukum formal menghasilkan dampak persidangan yang jelas karena ada prosedurnya. Hukuman 5 tahun, 1 tahun, atau mungkin hanya beberapa bulan. Setelah itu, sang residivis masih bisa berkeliaran bebas dengan sehat.
Namun hukum jalanan, menghasilkan akibat yang sama sekali abstrak. Semua tergantung kepada para algojo di jalanan ini. Peluang, terbesar, para pelaku klitih ini akan digebug habis. Atau, paling apes, klitih ini bisa dibakar. Dampaknya pun tak bisa ditebak, korban bisa cacat, luka bakar parah, atau paling sial, tewas.
Sudah dijelaskan, puluhan tahun lalu, Yogyakarta memiliki pengalaman gelap terhadap kelompok kriminal Gali. Pemberantasan Gali di era Orde Baru tersebut dapat menjadi sebuah justifikasi warga Yogyakarta yang terlanjur muak atas tindakan para pelaku klitih. Apalagi, jikalau negara tidak lekas berupaya menyelesaikannya.
ADVERTISEMENT
Tidak peduli pelaku yang masih dibawah umur, masyarakat tetap bisa mengamuk. Penulis tidak bisa membayangkan apabila pengalaman sekitar puluhan tahun lalu terhadap Gali, terulang kembali pada klitih. Namun bedanya dari masa Orde Baru, hal ini dilakukan secara horizontal. Yaitu antar masyarakat dengan masyarakat.
Karena menurut penulis, tindakan pemberantasan kriminalitas dengan pendekatan keamanan layaknya Orde Baru memang memiliki dampak yang cukup signifikan. Tentu saja, dengan adanya hal ini masyarakat akan merasa takut untuk berbuat kejahatan.
Tetapi hal ini juga bisa dilihat dari aspek lain. Yaitu dari adanya aspek mengenai pembatasan ruang gerak kebebasan masyarakat. Masyarakat akan selalu was-was terhadap segala yang dilakukannya.
Masyarakat harus berpikir 2 kali jika ingin melakukan sesuatu. Mengingat, mungkin saja tindakan yang dilakukan itu dinilai oleh suatu pihak mengandung unsur kriminalitas. Walaupun sebenarnya tidak.
ADVERTISEMENT
Apalagi, jika kita kita mengingat situasi dan kondisi politik kala itu dimana rezim Orde Baru bertindak sangat agresif terhadap semua lawan politiknya.
Maka dari itu, kecekatan negara dalam memberantas klitih dapat menciptakan 2 hal: mengamankan masyarakat dari kriminalitas klitih dan mengamankan klitih dari amukan warga.
Namun bagi penulis, tidak mudah rasanya memberantas klitih ini. Kerjasama lintas sektorial yang sinkron harus dilakukan. Karena pelaku masih dibawah umur, tidak cukup hanya dilakukan pemberantasan lewat pendekatan keamanan saja. Tapi juga diperlukan sebuah pendekatan yang bersifat afektif, akademis, dan juga agamais.
Lantas, kalau sudah seperti ini, negara mau apa? Masih mau diam dan berkelakar bahwa klitih masih dalam batas wajar seperti anggapan GKR Hemas? Negara tidak bisa terus-terusan seperti ini. Ingat, akan ada harga yang harus dibayar mahal apabila negara terus-terusan apatis.
ADVERTISEMENT
Semakin marak kriminalitas dan negara tidak hadir disitu untuk menyelesaikan, maka peluang kita kembali ke masa layaknya Orde Baru akan semakin besar.
Referensi: