Negara dan Ucapan "Maaf"

Yudananto Ramadan Saputro
Mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman yang tertarik terhadap berbagai kajian sosial-politik. Terutama terhadap Orde Lama, Orde Baru, dan politik militer
Konten dari Pengguna
20 Februari 2022 9:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudananto Ramadan Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang tentara mengawasi para tahanan politik komunis di Tangerang, Oktober 1965. Foto: Getty Images.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang tentara mengawasi para tahanan politik komunis di Tangerang, Oktober 1965. Foto: Getty Images.
ADVERTISEMENT
Mengucapkan kata "maaf" merupakan perkara mudah, semua orang bisa melakukannya. Namun, tak semua orang itu dapat memaknai kata "maaf" yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Ia selalu berangkat dari sebuah kesadaran atas sebuah kesalahan yang telah dilakukan. Kesadaran itu, berangkat dari sebuah kerendahan hati, pikiran yang jernih, serta tekad untuk "berdamai" dengan masa lalu—dan penghapusan segala rasa dendam untuk ke depannya.
Meminta maaf bukan saja merupakan sebuah tanggungjawab individu. Dalam konteks yang lebih luas, permintaan maaf juga erat kaitannya dengan tanggungjawab negara serta kegagalannya dalam menjamin terciptanya sebuah kondisi yang ideal dalam masyarakat.
Pada tahun 1993, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah meminta maaf secara resmi kepada masyarakat Hawaii karena menganggap bahwa negaranya bersalah lewat keterlibatannya dalam keruntuhan monarki Hawaii.
Di Argentina, pengadilan berani menjatuhkan hukuman kepada 29 orang yang diduga terlibat atas sebuah genosida pada era kediktatoran Presiden Jorge Rafael Videla yang dikenal dengan peristiwa Dirty War.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2020, Raja Belanda pernah meminta maaf kepada Indonesia atas terjadinya sebuah tragedi kekerasan. Khususnya di tahun sekitar 1945-1949, yang secara umum berada pada era kepemimpinan Raymond Westerling.
Yang paling baru, adalah sebuah pernyataan maaf yang dilontarkan oleh PM Belanda Mark Rutte kepada Indonesia atas tragedi kekerasan di era revolusi Indonesia (1945-1949).
Mark Rutte "tunduk" kepada hasil penelitian akademis yang dilakukan oleh lembaga KILTV, NIOD, dan NIMH. Penelitian tersebut mengatakan bahwa militer Belanda sengaja melakukan sebuah kekerasan yang terstruktur dan sistematis.

Konteks Sosial-Politik Lokal Indonesia

Permintaan maaf Mark Rutte itu menjadi sebuah hal yang mengegerkan masyarakat Indonesia. Hal ini bukan hanya mengenai fakta bahwa Belanda telah melakukan kekerasan sistemik di Indonesia. Namun, sikap "dewasa" pemerintah Belanda untuk meminta maaf, yang juga dapat dilihat lewat konteks sosial-politik lokal Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, Indonesia dinilai pernah melakukan suatu tindak kekerasan sistemik yang berujung pada pembantaian dan penghukuman ratusan ribu hingga jutaan—jumlah ini masih kerap diperdebatkan—simpatisan dan kader PKI. Hal ini yaitu berkaitan dengan "operasi pembersihan" orang-orang PKI dari bumi Indonesia yang telah dianggap memberontak kepada pemerintah dan Pancasila.
Sejak PKI melakukan gerakan pada 30 September dan Soeharto memegang jabatan Pangkopkamtib, upaya pembersihan dimulai. Pembersihan ini tidak hanya bersifat konsitusional, namun juga fisik.
Selain itu, labelling dan stigmatisasi juga muncul dari adanya pembersihan ini. Bahkan hingga saat ini, orang yang diidentifikasi berpikiran "kiri" masih kerap terdiskriminasi dan tertuduh sebagai simpatisan PKI—harus dipahami bahwa kiri belum tentu komunis.
Hal itu merupakan inti dari propaganda negara. Yang hingga saat ini telah melekat pada kehidupan sosial-politik di Indonesia lebih dari 2 dekade.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai sesi diskusi yang digelar mengenai peristiwa pasca Gestapu, dirasa bahwa pembahasan masih hanya berkutat tentang kisah konflik horizontal yang melibatkan masyarakat komunis vs anti-komunis.
Seakan-akan, kekerasan tersebut hanya merupakan suatu hasil dari akumulasi kemarahan massal kaum anti-komunis yang sifatnya horizontal. Penulis tak menampik fakta bahwa kekerasan ini juga mengandung konflik horizontal.
Hal ini dapat kita lihat salah satunya dari tulisan Hermawan Sulistyo yang berjudul Palu Arit di Ladang Tebu. Dalam konflik pasca Gestapu yang berlatar tempat di Jombang dan Kediri tersebut, dikatakan bahwa penyerangan dan pembunuhan terhadap kader dan simpatisan PKI di kampung-kampung dilakukan salah satunya oleh kaum "sarung putih"—para santri dari golongan Pemuda Ansor.
Namun bagi penulis, tetap tidak masuk akal apabila kekerasan yang menghasilkan suatu dampak yang begitu besar ini hanya merupakan hasil dari konflik berskala horizontal. Konflik horizontal ini tergolong sangat kecil dari skala masalah yang sebenarnya terjadi. Maka, telah terjadi sebuah missing link dalam narasi besar yang selama ini telah melekat dalam pikiran kita.
ADVERTISEMENT
Jikalaupun benar bahwa penghukuman besar ini dilakukan oleh sesama masyarakat, penulis tetap melihat bahwa barangkali ada "kekuatan besar" di balik masyarakat, yang mensponsori atau bahkan mengoordinir masyarakat untuk bergerak.
Konflik ini lebih nampak seperti konflik vertikal, yaitu konflik yang melibatkan antara masyarakat dengan negara
Dalam konteks keberadaan negara sebagai back up dari masyarakat dalam upaya pembersihan ini, kita bisa memahaminya dari sebuah film dokumenter yang berjudul Jagal: The Act of Killing. Atau, kita juga dapat menelusurinya lewat bukti-bukti keterlibatan organisasi pemuda Muhammadiyah Kokam yang didirikan sebagai respons pemberontakan PKI. Sangat banyak kajian yang telah menelusuri permasalahan ini.
Yang penulis bayangkan, apabila konflik ini pure hanya bersifat horizontal, maka sifat kekerasan yang terjadi adalah: bentrokan lokal yang hanya terjadi di tempat tertentu dengan jumlah korban jiwa yang paling-paling hanya puluhan atau ratusan jiwa, sulit dibayangkan hingga ribuan nyawa akan melayang dari hasil saling "mengenyahkan" antar masyarakat dengan media yang seadanya.
ADVERTISEMENT
Namun, yang terjadi adalah sebuah kekerasan pada beberapa pulau di Indonesia. Utamanya Jawa, Bali, dan Sumatera dengan jumlah korban jiwa yang sangat tidak bisa dikatakan kecil.
Negara menghukum orang yang dianggap terafiliasi oleh PKI dan siapapun yang dianggap "kiri". Sekalipun mereka tidak mengetahui adanya rencana "kup" ini. Dalam hal ini, negara menerapkan prinsip kesalahan kolektif. Satu orang bersalah, maka semua orang yang satu golongan dengan ia harus ikut menanggung beban yang sama.
Negara yang dimaksud oleh penulis ini bukan saja negara di tempat konflik itu muncul. Namun, bisa saja negara lain yang juga ikut membantu terselenggaranya operasi ini.
Dalam konteks ini, berbagai literatur—salah satunya tercantum pada buku milik John Roosa "Dalih Pembunuhan Massal"—mengatakan adanya keterlibatan dari negara luar. Utamanya, negara yang kala itu memiliki kepentingan geopolitik untuk memenangkan cold war. Yang salah satunya, dapat dicapai dengan penghapusan ajaran komunisme.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, jumlah dari mereka yang sama sekali tidak terlibat langsung dalam peristiwa Gestapu namun menjadi korban bergelimpangan jauh lebih banyak berkali-kali lipat daripada mereka—orang-orang CC PKI yang mengoordinir Gestapu secara langsung.
Di Indonesia, pola pembantaian seperti ini tidak hanya terjadi pada era "65". Apa yang disebut sebagai Operasi Penembakan Misterius, dimana korban banyak berjatuhan, juga bukan merupakan konflik horizontal antar preman seperti yang dikatakan oleh Pangkopkamtib Benny Moerdani.

Rekonsiliasi dan Permintaan Maaf

Kerangka berpikir "65" sebagai konflik horizontal yang umum di Indonesia bagi penulis telah menghambat berjalannya rekonsiliasi dan munculnya sebuah kata maaf dalam tataran yang lebih luas.
Memang, saat ini telah muncul upaya untuk saling memaafkan dari pihak-pihak terkait—antar anak para jenderal korban pembunuhan dengan para keturunan PKI. Namun, bagaimanapun itu hanyalah sebuah permasalahan antar individu. Rekonsiliasi dan permintaan maaf antar mereka tidak bisa melunasi "hutang" negara.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang harus dapat kita bedakan. Bahwa terdapat permasalahan pada tatanan individu, masyarakat, organisasi, negara, dan antar negara. Semua memiliki derajat yang berbeda.
Kuatnya labelling dan stigmatisasi komunis dan kontra-komunis juga menjadi salah satu hal yang menjadi penghambat penyelesaian kasus. Bagi penulis, salah satu hal yang paling tidak bermutu di Indonesia adalah kecenderungan untuk mengelompokkan orang sebagai "pro" atau "kontra" komunis.
Seolah-olah, kelompok yang menaruh simpati terhadap korban pembersihan komunis oleh negara, adalah PKI. Seakan-akan, kelompok yang mendorong negara untuk meminta maaf secara luas, adalah antek komunis. Masyarakat Indonesia menjadi lebih mudah untuk membenci antar sesama berdasarkan perbedaan pandangan sosial-politiknya. Kebiasaan macam ini sama sekali tidak akan membawa kedewasaan bagi masyarakat dalam bersosial-politik.
ADVERTISEMENT
Yang terjadi, seakan perbedaan itu merupakan hal yang destruktif. Seolah-olah, konflik itu semata-mata menghancurkan. Padahal, dalam tatanan negara demokrasi, konflik merupakan hal yang sah-sah saja. Hanya tinggal bagaimana pengelolaan atas konflik tersebut. Dan ini juga merupakan tugas dari negara.
Adalah bahaya, ketika negara bukan hanya gagal menangani konflik semata, namun justru "terjun" lebih jauh dan ikut campur terlalu dalam sehingga mengubah sifat konflik ini menjadi konflik vertikal.
Dalam konteks konflik vertikal yang melibatkan negara, permasalahan tidak semata-mata selesai apabila rezim yang dinilai bertanggungjawab itu runtuh. Pemerintah bisa datang-pergi, negara tidak.
Apabila rezim penguasa yang ketika konflik vertikal tersebut terjadi sudah runtuh dan rezim setelahnya menolak atau belum siap untuk meminta maaf, bukan berarti hutang itu lunas.
ADVERTISEMENT
Logika ini sama dengan kondisi hutang finansial bangsa Indonesia. Ketika suatu rezim pengutang itu turun, bukan berarti ia tak membebankan hutang tersebut pada rezim penerusnya. Termasuk, hutang politik dan moral kepada bangsanya.
Penulis tidak menunjuk satu organ pun dalam negara—mengingat negara terdiri dari banyak unsur. Yang dimaksud negara, adalah bagian kolektif dari beragam organ yang ada di negara tersebut, yang bertanggung jawab sebagai pihak pertama dan utama atas kegagalannya dalam mengelola stabilitas konflik.
Bagi penulis, apabila kita berhenti pada kerangka berpikir bahwa 65 murni sebuah konflik horizontal, maka yang terjadi adalah 2 hal: membebaskan negara dari barangkali kesalahannya; dan adanya pemupukkan permasalahan pada tatanan horizontal, di mana masyarakat akan terus-menerus memojokkan dan mencurigai satu sama lain. Apabila pola seperti ini terus dilestarikan, masyarakat Indonesia tidak akan pernah selesai bertengkar dengan masa lalu.
ADVERTISEMENT
Sudah amat banyak berbagai hasil kajian yang merekomendasikan langkah-langkah yang dirasa perlu diambil oleh negara demi menghapus memori pahit konflik 65 ini. Baik itu dalam bentuk literatur akademis, diskusi, simposium, bahkan international tribunal.
Penulis berpendapat, salah satu upaya untuk menghapuskan semua "dosa" masa lalu itu adalah dengan cara meminta maaf. Seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda melalui Mark Rutte.
Banyak kalangan di Indonesia yang berharap bahwa negara suatu saat dapat meminta maaf atas pelbagai tindakannya. Bukan menyangkut pada peristiwa 65 saja, namun segala peristiwa yang beragam soal pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat.
Pihak-pihak berharap, bahwa pernyataan maaf oleh Mark Rutte dapat menjadi sebuah katalisator bagi pemerintah Indonesia untuk terus-menerus menjernihkan pikiran, membuka mata, dan membubuhkan tekad untuk berdamai dengan masa lalu yang penuh dengan problematika terhadap salah satu kelompok warganya.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin, bahwa negara harus bertindak lebih jauh lagi. Mengingat bahwa kata maaf saja memang tidaklah mungkin bisa untuk mengubah semuanya. Tetapi, kata maaf itu bisa menjadi sebuah "pintu" untuk kita melangkah ke arah yang lebih jauh dan lebih "cerah" lagi.
Referensi:
Sulistyo, H. 2011. Palu Arit di Ladang Tebu. Pensil 324: Jakarta.