Redefinisi Pancasila oleh Orde Baru

Yudananto Ramadan Saputro
Mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman yang tertarik terhadap berbagai kajian sosial-politik. Terutama terhadap Orde Lama, Orde Baru, dan politik militer
Konten dari Pengguna
2 Februari 2022 21:18 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudananto Ramadan Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Soekarno berpidato pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. (Arsip Nasional RI).
zoom-in-whitePerbesar
Soekarno berpidato pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. (Arsip Nasional RI).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Orde Baru telah lama meninggalkan Indonesia. Namun Indonesia masih belum mampu melupakan sepenuhnya Orde Baru. Salah satu yang masih selalu menjadi jerat warisan Orde Baru terhadap Indonesia, adalah mengenai redefinisi Pancasila oleh Orde Baru yang sama sekali berbeda dengan apa yang dikonsepkan oleh Presiden Soekarno selaku konseptor Pancasila.
ADVERTISEMENT
Kondisi Politik Lokal
Pancasila—satu hal yang selalu disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia—bukan merupakan sesuatu yang lahir semasa Orde Baru berkuasa. Pemimpin rezimnya, Presiden Soeharto, juga tidak memiliki peran apa-apa terhadap pembentukan Pancasila ini.
Sebaliknya, Presiden Soekarno, pemimpin Orde Lama, yang kemudian dijadikan "musuh" politik Orde Baru, merupakan konseptor dan penggali dari Pancasila.
Ironisnya, lengsernya Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan dirayakan oleh Orde Baru sebagai bentuk penyelamatan Pancasila dari anggapan praktik sesat Orde Lama terhadap Pancasila, utamanya pada era Demokrasi Terpimpin.
Pada era berdirinya Orde Baru itu, dilakukan redefinisi terhadap Pancasila. Yang penulis maksud sebagai redefinisi adalah sebuah upaya mendefinisikan ulang makna Pancasila yang berakibat pada aktualisasi dan posisinya pada tataran kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Pancasila merupakan dasar negara yang dirumuskan secara kolektif lewat suatu musyawarah. Partisipan musyawarah pun tidak seragam, mereka merupakan orang dengan latar belakang yang sama sekali berbeda—akademis, ras, maupun politis. Namun, salah satu hal yang mereka cari adalah: dasar negara yang bisa mengakomodir perbedaan-perbedaan tersebut. Konsensus rapat pada akhirnya mencetuskan Pancasila. Sebuah dasar negara yang diklaim mengandung nilai-nilai universal yang fleksibel.
Orde Baru kemudian mengukuhkan Pancasila sebagai suatu sistem demokrasi khas Indonesia dengan bentuk Demokrasi Pancasila sebagai bagian dari konsensus politik nasional. Harry Tjan Silalahi dalam bukunya yang berjudul Konsensus Politik Nasional Orde Baru: Ortodoksi dan Aktualisasinya mengungkapkan bahwa konsensus politik nasional Orde Baru adalah suatu bentuk pemufakatan dengan mengejawantahkan pelaksanaan kehidupan demokrasi yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
ADVERTISEMENT
Tambahannya, bahwa terbangunnya konsensus ini merupakan suatu bentuk dari pengalaman traumatis bangsa Indonesia sebagai akibat dari berbagai kesalahan dalam pengamalan nilai Pancasila dan UUD 1945—utamanya di era Orde Lama.
Lewat suatu bentuk komitmen ini, Orde Baru berupaya untuk kembali membumikan Pancasila secara murni di benak dan tindakan seluruh masyarakat Indonesia. Beberapa dilakukan contohnya melalui program penataran P4 dan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang harus dianut oleh tiap-tiap individu maupun kelompok di Indonesia.
Semua itu dilaksanakan dengan ketat di bawah pengawasan pemerintahan Orde Baru. Asumsinya, masyarakat Indonesia belum paham mengenai Pancasila dan Orde Baru adalah ahlinya.
Sejak Orde Baru berkuasa, Pancasila menjadi sebuah jimat keramat. Pancasila menjelma sebagai suatu instrumen berupa senjata politik yang amat ampuh.
ADVERTISEMENT
Senjata politik berupa Pancasila ini baru muncul di era Orde Baru. Presiden Soekarno selaku konseptor Pancasila bahkan tidak pernah menggunakannya sebagai sebuah senjata politik.
Kita tengok ke belakang. Berapa kali percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno? Berapa kali dilakukan upaya-upaya kudeta? Menghadapi semua itu, ia tidak pernah mengeksploitasi Pancasila sebagai sebuah senjata. Apalagi mencap mereka menggunakan stigma "anti-Pancasila".
Individu atau entitas yang dilekatkan stigma tersebut, juga secara alamiah akan dilekatkan pada suatu stigma: radikal.
Stigma tersebutlah yang bahkan hingga pada saat ini masih kerap diobral. Betapa besarnya dampak yang diterima oleh seseorang yang tercap stigma tersebut. Menurut penulis, inilah salah satu bentuk redefinisi ekstrem terhadap Pancasila yang dilakukan oleh Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Lainnya, jika penulis boleh beranalogi, Pancasila yang dikonsepsikan oleh Presiden Soekarno adalah sebuah gelas berisi air. Gelas itu kemudian diisi oleh cairan minyak. Sebagaimana kita ketahui, sebanyak apa pun minyak dituangkan ke dalam air, mereka tidak akan bercampur antara satu sama lain walaupun berada pada wadah yang sama.
Itulah Pancasila, ia tidak berupaya untuk meleburkan berbagai keragaman yang ada. Ia justru berupaya mewadahi perbedaan-perbedaan tersebut dalam satu wadah besar di mana mereka bisa hidup bersama. Hal ini dikatakan sendiri oleh Presiden Soekarno pada suatu pidato di tahun 1966. Setahun pasca peristiwa berdarah G30S/PKI dan tahun di mana dimulainya pembantaian terhadap banyak orang yang dianggap terafiliasi dengan PKI.
ADVERTISEMENT
Memasuki masa Orde Baru, sifat Pancasila berubah. Dari sebuah ideologi yang inklusif, ia kemudian menjelma menjadi sebuah hal yang sifatnya eksklusif dan intoleran terhadap segala macam pluralitas, utamanya terhadap berbagai pemikiran politik.
Apabila semula Pancasila merupakan "gelas" berisi air minyak, saat ini ia menjelma secara ekstrem menjadi sebuah "payung" yang digunakan untuk menangkal segala macam hal yang tak diinginkan. Ia bukan lagi digunakan untuk menampung perbedaan demi kerukunan nasional, tetapi melarang dan menolak pemikiran politik lain yang notabene juga berjasa bagi kemerdekaan bangsa.
Atas nama Pancasila, Orde Baru melakukan serangan "tembak" kepada dua ideologi lain. Yaitu Komunisme dan Islamisme. Komunisme sudah dihajar lebih dahulu sejak Presiden Soeharto masih menjadi Pangkopkamtib. Sedangkan Islamisme selalu dipersulit langkahnya dalam percaturan politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ironi Orde Baru
Ketika Orde Baru berupaya dengan niat teguh untuk membumikan Pancasila, maka konsekuensi logisnya secara otomatis bahwa tindakan mereka akan senantiasa dijadikan sebuah tolok ukur sesuai norma dan nilai-nilai yang tertuang pada Pancasila.
Namun begitu, bagaimana mereka akan menjelaskan mengenai kebertautan antara berbagai peristiwa yang menyangkut pelanggaran HAM—Malari 1974, Operasi Petrus, Kerusuhan Tanjung Priok, Invasi Timor Timur, penculikan aktivis '98, dsb—dengan nilai pada sila kemanusiaan?
Bagaimana mereka menjelaskan mengenai beragam kebijakan yang memberangus kebebasan berpendapat dan berdemokrasi—kebijakan fungsi partai, floating mass, penetapan asas tunggal Pancasila, doktrin monoloyalitas Korpri, mobilisasi birokrasi dan ABRI, penetapan anggota fraksi ABRI di DPR tanpa lewat Pemilu, dsb—dengan kebertautannya pada sila keempat?
Bagaimana pula, mereka dapat menjelaskan mengenai berbagai tindakan oligarkis—kronisme politik-ekonomi, korupsi, kapitalisme kroni, serta adanya data yang mengungkap besarnya nilai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Presiden Soeharto—dengan keterkaitannya atas sila kelima?
ADVERTISEMENT
Sebuah ironi sebenarnya. Ketika seseorang dengan tegas memberi perintah, aturan, serta larangan kepada orang lain dengan sebuah harapan bahwa dirinya terlebih dahulu bisa memberi sebuah tauladan, namun ternyata dirinya sendiri tidak mampu mematuhi segenap aturan tersebut.
Apabila meminjam sebuah akronim Jawa, maka Orde Baru adalah jarkonibisa ngajar ora bisa nglakoni. Akronim ini adalah sindiran bagi mereka yang hanya bisa mengajari kebaikan dan melarang keburukan, sedang ia sendiri tak bisa mengamalkannya.
Orde Baru mengeklaim bahwa dirinya merupakan koreksi dari Orde Lama. Namun ternyata, dilihat dari skala tindak penyelewengan oleh rezim, kesalahan Orde Lama bukan hanya terulang kembali. Orde Baru justru menenggelamkan dirinya dalam jurang kesalahan yang jauh lebih dalam dari apa yang telah dilakukan oleh Presiden Soekarno.
ADVERTISEMENT
Hantu Orde Baru
Walaupun rezim Orde Baru sudah mati namun berbagai warisannya masih kental mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.
Bagaimana tidak, 32 tahun mereka berkuasa di Indonesia. Selama itu banyak sekali adegan yang sudah dilewati. Baik yang sifatnya alamiah maupun yang secara terang-terangan disutradarai oleh Orde Baru.
Sependek pengetahuan penulis, apa yang telah terjadi tersebut beberapa ada yang hilang, beberapa lagi justru ada yang menghegemoni terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Hegemon seperti inilah yang kemudian berkeliaran seperti "hantu". Bentuk fisik dari rezim ini sudah sama sekali tidak dapat kita lihat. Namun keberadaannya masih dengan jelas bisa kita rasakan. Salah satunya yaitu lewat Pancasila yang telah diredefinisi ini.
Orde Baru merupakan salah satu rezim yang terkenal akan keganasannya. Namun begitu—demi mencapai sebuah political recognition—pada kenyataannya mereka masih memerlukan warisan dari pendahulunya.
ADVERTISEMENT
Pancasila—sebagai suatu hal yang diwariskan Presiden Soekarno terhadap Indonesia—telah dipulas dan dikemas ulang oleh Orde Baru. Ia dikemas menjadi satu hal yang sama sekali bertolak-belakang dari yang semula diwariskan.
Referensi:
Silalahi, H. T. 1990. Konsensus Politik Nasional Orde Baru: Ortodoksi dan Aktualisasinya. Jakarta: CSIS.