Sukarno, Sikap terhadap Partai, dan Refleksi Era Kontemporer

Yudananto Ramadan Saputro
Mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman yang tertarik terhadap berbagai kajian sosial-politik. Terutama terhadap Orde Lama, Orde Baru, dan politik militer
Konten dari Pengguna
30 Maret 2022 20:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudananto Ramadan Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Soekarno (Foto: Getty Images).
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Soekarno (Foto: Getty Images).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sukarno pernah berupaya untuk mengubur hidup-hidup partai politik. Hal ini ia lakukan sebagai tanggapan atas kemarahannya terhadap partai-partai yang pada masa itu dinilai hanya menjadi sumber berbagai keributan yang terjadi dalam konstelasi politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut David Reeve dalam bukunya yang berjudul Golkar, Sejarah yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika, pada 28 Oktober 1956 Sukarno membuat pidato sensasional yang menganjurkan partai-partai politik untuk dikubur.
Dalam pidato saat itu dan juga pidato 30 Oktober 1956, Sukarno menyatakan bahwa partai merupakan sebuah "penyakit liberalisme". Pasalnya, partai politik kerap gaduh dan saling sikut sendiri. Hal ini kemudian menciptakan instabilitas politik yang mengakibatkan kabinet sering jatuh-bangun, sehingga pula menciptakan ketidakefektifan pada kinerja pemerintah.
Akar Pemikiran
Jika ditarik ke belakang, ide penguburan partai-partai ini sebenarnya berkaitan dengan pergulatan pemikiran para tokoh bangsa di tahun-tahun sebelum kemerdekaan—1920 hingga 1940-an. Pada tahun-tahun itu, ramai perdebatan mengenai bagaimana negara kedepannya harus diorganisir.
Secara singkat, perdebatan menjurus kepada bagaimana budaya kebangsaan kedepannya akan ditumbuhkan. Budaya tersebut merujuk kepada dua bentuk: budaya Timur atau budaya Barat. Setidaknya persoalan itulah yang menjadi fokus perdebatan oleh Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Yamin, dan Soepomo.
ADVERTISEMENT
Kelima pemikir tersebut menarik garis batas yang tegas antara perbedaan kebudayaan Barat dan Timur. Walaupun mereka tetap memiliki kesimpulan dan sikap yang berbeda-beda. Tetapi secara umum, mereka mendeskripsikan budaya Barat sebagai corak hidup yang "materialistis, individualis, dan egois". Hal ini berbanding terbalik dengan kebudayaan Timur yang "komunal, solid, dan kolektif-integralistik".
Perdebatan-perdebatan ini bahkan semakin memanas di ruang sidang BPUPKI. Persidangan tersebut pada intinya membahas mengenai bagaimana Indonesia kelak akan memiliki sebuah acuan dasar bagi kehidupan bernegara yang tertuang melalui sebuah Undang-undang Dasar (UUD).
Pada saat itu, peserta sidang bersepakat bahwa UUD harus diejawantahkan melalui hal-hal yang memiliki "filosofi Indonesia". Filosofi Indonesia tersebut mereka yakini bersumber dari sifat-sifat "organik" masyarakat Indonesia yang kental dengan aspek kekeluargaan, solidaritas, hingga gotong royong yang diyakini bersumber dari budaya Timur.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga didasari atas tanggapan bangsa Indonesia terhadap masa kolonialisme yang identik dengan sifat-sifat Barat yang membuat masyarakat "sengsara".
Lebih lanjut, sikap terhadap kebudayaan Barat dan Timur ini disampaikan oleh tiga tokoh yang berpidato pada rangkaian sidang BPUPKI tersebut, yaitu oleh Yamin, Soepomo, dan Sukarno. Pada intinya, mereka mengatakan bahwa Indonesia esok harus memiliki corak kehidupan yang "kolektif-integralistik".
Yamin misalnya, menyatakan bahwa Indonesia kelak tidak boleh meniru model-model Barat. Ia merujuk kepada berbagai sistem kenegaraan turunan dari Barat, seperti federalisme, liberalisme, oligarki, hingga feodalisme. Ia meyakini bahwa Indonesia harus memiliki dasar yang bersumber pada tradisi dan kebudayaan asli Indonesia yang sudah ada, "individualisme harus ditolak".
Supomo pun demikian, ia menolak pandangan liberalisme yang individualistis. Ia menilai masyarakat Indonesia memiliki nilai dan sifat kehidupan yang "integralistik". Supomo mengatakan bahwa persatuan dan kekeluargaan sangat cocok bagi corak kehidupan masyarakat Indonesia. Ia juga beranggapan bahwa harus ada negara integralistik, yang "bersatu" dengan rakyatnya, yang "bercampurbaur", dan "bersangkupaut". Walaupun negara nantinya akan mengakui adanya golongan-golongan dalam masyarakat, tetapi golongan tersebut tetap memiliki tugas untuk harmonisasi kesatuan di antara mereka untuk menjamin terciptanya kekeluargaan yang akur.
ADVERTISEMENT
Sukarno setali tiga uang dengan Yamin dan Supomo. Ia menyatakan bahwasanya apabila kelak Indonesia memiliki badan perwakilan, mereka tetap harus bekerja berdasar asas musyawarah, kekeluargaan, bahkan gotong royong. Esensi kehidupan masyarakat Indonesia harus didasari atas sebuah kesatuan yang memiliki tugas bersama, yaitu membangun. Dalam pidatonya, Sukarno juga menyatakan bahwa individualisme dan liberalisme akan terhapuskan oleh adanya kekeluargaan dan gotong royong.
Sebagai seorang marxis, Sukarno percaya bahwa kesatuan dan persatuan adalah ujung tombak perjuangan nasional. Dalam tulisan dan pemikirannya, ia selalu menekankan pentingnya aksi massa yang sifatnya kolektif. Sedangkan, semua meyakini bahwa kolektivitas susah untuk dicapai melalui nilai-nilai Barat.
Dari BPUPKI, persidangan berlanjut ke PPKI. Dalam salahsatu rangkaian sidang tersebut, tepatnya pada 19 Agustus 1945, PPKI membahas wacana perancangan negara dengan satu partai. Partai tunggal ini akan dinamai dengan staatspartij (partai negara). Panitia kecil ditunjuk untuk mencanangkan partai negara ini dengan nama PNI-staatspartij.
ADVERTISEMENT
Referensi penyebutan partai ini muncul pertama kali dari Iwa Kusumasumantri. Tetapi, dari bukunya yang berjudul Sedjarah Revolusi Indonesia, Iwa mengaku bahwa ide ini pertama kali datang dari Sukarno.
Pernyataan Iwa yang mengatakan bahwa ide partai tunggal negara ini berasal dari Sukarno menjadi masuk akal apabila kita telusuri ke belakang. Sejak dahulu, Sukarno telah memercayai bahwa partai tunggal inilah yang akan menjadi motor pergerakan masyarakat. Partai inilah yang akan "menampung" masyarakat dari berbagai "golongan yang berbeda-beda".
Pada 1927 misalnya, ia pernah berpidato pada Konferensi Sarekat Islam dan mengatakan bahwa partai tunggal adalah cita-citanya. Ia beranggapan, bahwa keberadaan banyak partai tidak akan menjadi relevan di Indonesia pasca merdeka kelak. Asumsinya sama seperti kemerdekaan, partai-partai yang terbagi dari aliansi kelas ini akan hilang dan membaur menjadi satu keluarga.
ADVERTISEMENT
Dalam alam pikiran Sukarno, ia membayangkan bahwa partai tunggal ini nantinya akan menjadi "wujud nyata" dari ide kolektivisme kekeluargaan. Partai ini akan diorganisir berdasarkan pengelompokkan pekerjaaan dan fungsinya di masyarakat.
Ketika Pemilu kelak, rakyat tidak memberikan suaranya kepada partai, tetapi kepada "golongan-golongan" yang paling sesuai dengan kepentingan mereka. Penggolongan ini juga identik dengan kebiasaan Sukarno ketika berpidato. Ia lebih kerap menyapa masyarakat dengan penyebutan berdasarkan golongannya, seperti "rakyat jelata, tani, buruh, pemuda, alim ulama, bekas tentara". Inilah golongan fungsional yang ia maksudkan.
Konsep Sukarno ini juga didukung oleh kolega-koleganya. Seperti Sayuti Melik yang berpidato dan menyerukan untuk didirikannya PNI cabang daerah. Sayuti juga mengafirmasi konsep Sukarno dengan memerintahkan bagi para buruh agar bergabung ke dalam suatu himpunan. Menurutnya, himpunan ini nantinya akan bersatu ke dalam himpunan yang lebih besar lagi. Himpunan ini nantinya yang akan "mempertahankan kemerdekaan negara" dan menjadi "wakil rakyat" di lembaga perwakilan negara.
ADVERTISEMENT
Namun, ada juga pihak yang kontra akan konsep Sukarno ini. Tembok resistensi atas konsepsi ini justru muncul dari dalam pemerintah itu sendiri, yaitu Hatta dan Syahrir. Mereka menolak "struktur yang begitu monolitik".
Perjuangan Sukarno pada era ini akhirnya "berakhir" ketika Hatta justru menerbitkan Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang berisi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik yang seluas-luasnya.
Democratie met Leaderschap
Terbitnya maklumat tersebut tidak membuat Sukarno lantas menyerah dan tenggelam. Sukarno sendiri berkata, "Seperti rotan, saya hanya melengkung, tidak patah". Kelak, ketika tercipta sebuah momentum, ia berupaya mewujudkan kembali idenya tersebut.
Ia menemui momentum itu di dekade 1950-an. Dimana saat itu menggema usulan reorganisasi sistem politik sebagai akibat dari penilaian atas gagalnya stabilitas politik yang tercipta pada masa demokrasi parlementer.
ADVERTISEMENT
Pada periode demokrasi parlementer, kabinet-kabinet dinilai tidak pernah mampu mengurus urusan politik, sehingga membuat kabinet-kabinet tersebut jatuh bangun secara singkat, hal ini juga mengakibatkan pemerintah tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Di samping itu, para politisi sipil yang tergabung dalam kabinet maupun parlemen sering main sikut sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, politisi sipil di parlemen pun pernah bertengkar dengan Angkatan Darat di tahun 1952.
Hingga Pemilu 1955 digelar pun, tekanan politik dinilai tetap tak kunjung usai. Hasil dari Pemilu ini dinilai hanya "mencetak ulang" keadaan. Hal ini semakin menggerus legitimasi rakyat terhadap pemerintah.
Pada Oktober 1956, Sukarno masuk secara tegas ke dalam arena politik. Ia menyerang partai dan mengatakan bahwa mereka adalah "penyakit", bahkan, "kanker" yang muncul akibat dianutnya sistem liberalisme. Sukarno bertindak radikal dengan menyiapkan konsepsi tentang "bentuk baru pemerintahan" dengan kekuasaan secara langsung dipegang olehnya, lewat bentuk pemerintahan "demokrasi ala Indonesia", "demokrasi terpimpin".
ADVERTISEMENT
Dalam konsepsinya tersebut, pemerintah akan mencanangkan "kabinet gotong royong" yang didasari "prinsip kekeluargaan dan gotong royong" yang merupakan pengejawantahan atas "filosofi Indonesia".
Kabinet tersebut akan diawasi oleh "Dewan Nasional" yang tersusun dari segenap eksponen golongan fungsional—petani, buruh, wanita, alim ulama, dsb. Inilah pertama kali dimana golongan fungsional diakui secara politis. Hal ini semakin melegitimasi prinsip kekeluargaan.
Yang perlu dicatat, bahwa komposisi Dewan Nasional ini mayoritas tidak diisi dari kalangan partai, tetapi dari "ormas-ormas partai". Sukarno sepertinya mengerti bahwa ormas partai merupakan salahsatu "kekuatan inti" dari partai karena berkaitan dengan tugas penggalangan massa di daerah. Oleh karena itu, Sukarno ingin "memotong" hubungan antara partai dan ormasnya supaya partai tidak lagi memiliki massa di bawah.
ADVERTISEMENT
Ormas-ormas ini akan "merdeka" dari partai dan masuk ke dalam golongan fungsional di Dewan Nasional. Penguburan partai sebenarnya tidak masuk ke dalam konsepsi. Namun dengan Sukarno memotong ormas dari partai, ini jelas menunjukkan upaya Sukarno untuk menggembosi partai.
Angkatan Darat pun memiliki konsepsi yang sama dengan Sukarno, mereka segera membentuk organisasi fungsional yang serupa dengan nama "badan kerjasama" (BKS). BKS Angkatan Darat juga memiliki hubungan langsung dengan ormas-ormas partai besar. Lebih lanjut, Angkatan Darat bahkan membuat suatu "badan koordinasi" dari BKS yang bernama Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB).
Pada September 1958, Sukarno mengumumkan rencananya untuk membentuk suatu "konfederasi" dari golongan-golongan fungsional yang bernama Front Nasional, semacam FNPIB. Front Nasional ini nantinya akan menjadi "badan koordinasi" bagi golongan fungsional. Baru, lewat Front Nasional inilah, Bung Karno benar-benar akan membubarkan partai politik. Front ini nantinya akan mencerminkan "kepentingan rakyat" dan bukan "kepentingan partai".
ADVERTISEMENT
Namun dalam hal ini Sukarno dan Dewan Nasional mendapatkan hadangan, yaitu mencari cara supaya parlemen bersedia untuk membuat undang-undang tentang sebuah sistem yang substansi dari regulasi tersebut dapat melemahkan partai-partai mereka. Akan sulit bagi Sukarno dan Dewan Nasional untuk membentuk Front Nasional, karena mereka harus "melawan" partai yang merupakan penguasa proses konstitusional.
Sukarno menjadi kendur karena tidak ingin "mengadu" Dewan Nasional dengan parlemen yang jelas dapat memunculkan sebuah keributan. Tetapi di satu sisi, Sukarno membutuhkan organisasi ini untuk mewujudkan ambisinya—dan mewujudkan stabilitas politik versinya. Ditambah lagi ia juga tidak ingin kalah dari Angkatan Darat yang lebih dahulu telah membentuk FNPIB.
Pada akhirnya, akibat tekanan dari Sukarno, Dewan Nasional mengeluarkan sebuah konsepsi baru yang dinamakan konsep "semi-radikal". Dalam konsepsi ini, akan dibentuk satu front golongan fungsional dibawah pimpinan Sukarno, front ini akan bersaing dengan partai-partai di era Pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam konsep semi-radikal ini, partai-partai tidak dikubur, namun akan "diadu" dengan Front Nasional pada Pemilu esok. Ormas-ormas partai juga tidak jadi "dibonsai". Partai-partai akan tetap menguasai ormasnya.
Maka, selama hampir tiga tahun sejak pidato "kuburkan partai-partai" itu menggema, Sukarno ternyata tidak berhasil sepenuhnya memaksakan kehendaknya kepada parlemen. Bahkan, dikatakan David Reeve, mekanisme pembentukan dan pengembangan program ini juga tidak sangat jelas.
Refleksi Era Kontemporer
Ide Sukarno memang tampak tidak demokratis dan cukup kontradiktif dari apa yang ia sebut sebagai "demokrasi terpimpin". Bagaimanapun konsepnya, demokrasi seharusnya menjadi junjungan paling tinggi bagi para demokrat—julukan bagi para penganut demokrasi macam Sukarno.
Tetapi, Sukarno barangkali kelewat emosi dibuat partai-partai politik. Inefektivitas kinerja kabinet bukan hanya menyerang kabinet terkait, namun juga legitimasi terhadap rezim Sukarno secara keseluruhan. Barangkali saja, apabila partai-partai dapat menjaga setidaknya kondusifitas, Sukarno tidak akan repot-repot berpikiran menciptakan suatu sistem baru, terlepas bahwa konsep ini memang merupakan cita-cita Sukarno.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang salah dari ide Sukarno. Secara konsepsional, idenya sungguh "dahsyat". Ia berupaya ingin mempersatukan seluruh golongan yang ada di masyarakat menjadi lebih teratur dan potensial ketika situasi politik cenderung chaos.
Sukarno hanya ingin bangsa Indonesia hidup dalam tatanan yang lebih solid dengan memasukkan organisasi kepentingan ke dalam satu bingkai kekeluargaan. Namun sayang, idenya terbentur oleh "tembok resistensi" yang begitu tinggi, yaitu partai-partai.
Bagi penulis terdapat dua kemungkinan mereka tidak ingin dipersatukan menjadi satu golongan: pertama, mereka melihat bahwa konsep Sukarno tidak demokratis, atau yang kedua, mereka sadar posisinya akan menjadi lemah dengan sistem yang seperti ini.
Tetapi terlepas dari tidak berhasilnya upaya Sukarno dalam penguburan maupun penggembosan partai politik, hal ini dapat mengindikasikan bahwa sejak dahulu, terdapat sebuah problem yang membuat kinerja kepartaian selalu mendapat delegitimasi dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia pasca Orde Baru, partai muncul sebagai tanggapan dari upaya penegakan demokrasi yang "kaffah". Maka dari itu, partai politik sesungguhnya memiliki fungsi dan tanggungjawab atas demokratisasi.
Selain itu, secara konsepsional partai juga memiliki fungsi komunikasi politik. Disini, partai akan berinteraksi dengan konstituennya, mengagregasi dan mengartikulasikan suara konstituen menuju badan yang lebih tinggi.
Maka dari itu, partai tidak bisa bersifat elitis, mereka harus deep down to the earth's core. Derajat legitimasi partai bergantung dari seberapa besar partai tersebut dapat mengartikulasikan dengan baik kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat.
Semakin lihai partai dalam mengartikulasikan suara masyarakat, akan semakin tinggi derajat legitimasi yang diberikan oleh masyarakat, dan sebaliknya.
Pada tahun 2021 lalu misalnya, terjadi kudeta di lingkaran elite Partai Demokrat. Urusan internal partai tersebut membawa keriuhan dalam konstelasi politik Indonesia yang sangat tak dibutuhkan bagi masyarakat. Masyarakat hanya dipertontonkan bagaimana begitu "curang"-nya seseorang dalam upaya merebut kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, yaitu dalam wacana penundaan maupun pembatalan Pemilu 2024, partai juga menjadi dalang utamanya. Mereka secara jelas menyalahi hal yang telah diatur dalam konstitusi mengenai penyelenggaraan Pemilu. Mereka membawa hal yang tak bermutu ini ke ruang publik dengan dalih menyampaikan aspirasi dari masyarakat. Seharusnya, sebagai orang yang mengerti konstitusi, mereka adalah yang bertanggungjawab dalam mencerahkan masyarakat yang tidak tahu-menahu terkait penundaan maupun pembatalan Pemilu tersebut.
Yang paling baru, adalah munculnya argumen terkait kelangkaan minyak goreng. Di saat-saat genting seperti ini, argumen "kosong" tanpa tindakan nyata yang solutif sangat tidak dibutuhkan. Alih-alih meneduhkan, mereka justru menyulut api kepada publik. Hasilnya pun nihil, tak membawa perubahan apa-apa.
Memang, di era ini, ide pembubaran maupun penggembosan partai sudah menjadi tidak relevan. Selain karena sudah tidak ada lagi "Sukarno-sukarno" yang lain, dan juga karena kebutuhan demokratisasi, partai merupakan kebutuhan utama bagi penguasa untuk mobilisasi kekuasaan. Oleh karena itu, mereka sudah hampir pasti mendapat "posisi aman".
ADVERTISEMENT
Paling tidak, untuk saat ini, resiko terberat yang akan diterima partai adalah mengenai delegitimasi dari publik.
Di saat-saat seperti inilah, kita dapat memahami pemikiran Sukarno.
Referensi: