Konten dari Pengguna
Meritokrasi ASN: Hambatan Penerapan, Peran Favoritisme, dan Hubungan Personal
25 April 2025 19:39 WIB
·
waktu baca 15 menitTulisan dari Yudha Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penerapan meritokrasi ASN di Indonesia, meskipun telah menjadi komitmen nasional yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang kompleks di lapangan. Hambatan-hambatan ini berasal dari berbagai faktor, mulai dari aspek politik, budaya, hingga keterbatasan sumber daya.
ADVERTISEMENT
Hambatan Umum Meritokrasi ASN di Indonesia
Berdasarkan berbagai kajian dan laporan, termasuk dari KASN, beberapa hambatan utama dalam penerapan sistem merit di lingkungan birokrasi Indonesia dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Intervensi Politik
Campur tangan dari aktor-aktor politik (partai politik, anggota legislatif, kepala daerah/menteri) dalam proses manajemen ASN masih sangat kuat. Intervensi ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari tekanan dalam rekrutmen, penempatan pada jabatan tertentu, promosi, hingga mutasi pegawai. ASN seringkali berada dalam posisi sulit, menghadapi tekanan untuk loyal kepada kekuatan politik tertentu, yang berujung pada mutasi paksa, ancaman demosi, atau sebaliknya, tawaran posisi strategis sebagai imbalan atas dukungan politik. Hal ini secara langsung mencederai prinsip netralitas dan objektivitas ASN.
Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Budaya KKN yang masih mengakar menjadi penghalang serius bagi terwujudnya birokrasi yang bersih dan profesional. Nepotisme (pengutamaan kerabat) dan patronase (pemberian jabatan sebagai imbalan dukungan) secara spesifik disebut sebagai praktik yang menghambat meritokrasi, di mana jabatan diperjualbelikan atau diberikan berdasarkan hubungan, bukan kompetensi.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan Kompetensi dan Sistem Penilaian Kinerja
Terdapat kesenjangan antara kompetensi yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi yang dimiliki oleh ASN. Hal ini diperparah oleh sistem penilaian kinerja yang seringkali dianggap belum efektif, tidak akurat, bersifat formalitas, dan belum mampu mencerminkan kinerja riil pegawai. Tanpa penilaian kinerja yang objektif, sulit untuk menerapkan sistem merit secara konsisten.
Resistensi Budaya dan Rendahnya Pemahaman/Komitmen
Budaya birokrasi yang paternalistik, di mana loyalitas kepada atasan seringkali lebih dihargai daripada kompetensi atau kinerja, menjadi hambatan kultural. Selain itu, masih terdapat resistensi terhadap perubahan serta kurangnya pemahaman dan komitmen dari pimpinan maupun pegawai mengenai pentingnya dan prinsip-prinsip meritokrasi.
Keterbatasan Sumber Daya
Implementasi sistem merit memerlukan dukungan sumber daya yang memadai, baik anggaran, infrastruktur teknologi informasi (seperti sistem informasi kepegawaian berbasis kompetensi yang terintegrasi), maupun kapasitas SDM pengelola kepegawaian. Biaya untuk melakukan assessment center yang sering digunakan sebagai dasar pemetaan talenta, misalnya, tergolong mahal, sehingga sulit diterapkan secara menyeluruh, terutama di instansi daerah.
ADVERTISEMENT
Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum
Kurangnya sanksi yang tegas dan konsisten terhadap pelanggaran prinsip merit membuat praktik-praktik non-meritokratis terus berlangsung. Peran lembaga pengawas seperti KASN juga dinilai masih memiliki keterbatasan, baik dari segi sumber daya maupun efektivitas implementasi pengawasannya.
Ambiguitas dalam Definisi dan Implementasi Merit
Terkadang, definisi merit yang diterapkan terlalu sederhana, misalnya sebatas "mampu melaksanakan tugas". Jika terdapat beberapa kandidat yang dianggap "mampu", hal ini menciptakan ambiguitas yang dapat dimanfaatkan oleh penyeleksi untuk memilih kandidat berdasarkan hubungan keluarga atau dukungan politik.
Tabel Hambatan Penerapan Sistem Merit di Indonesia
Fokus pada Favoritisme dan Hubungan Personal ('Like-Dislike') sebagai Hambatan
Di antara berbagai hambatan tersebut, favoritisme dan pengaruh hubungan personal ('like-dislike') memainkan peran yang sangat merusak terhadap fondasi sistem merit. Keduanya secara langsung menyerang prinsip objektivitas dan keadilan yang menjadi inti meritokrasi.
Favoritisme merusak meritokrasi karena ia menggantikan kriteria kualifikasi, kompetensi, dan kinerja dengan kriteria kedekatan personal atau hubungan khusus dalam pengambilan keputusan personalia. Ketika promosi diberikan kepada 'orang dekat' atasan meskipun ada kandidat lain yang lebih kompeten, atau ketika anggota tim kerja dipilih berdasarkan pertemanan bukan keahlian yang relevan, maka prinsip persaingan sehat dan penghargaan atas prestasi menjadi hilang. Hal ini tidak hanya menghasilkan penempatan SDM yang suboptimal, tetapi juga menurunkan motivasi dan moral pegawai lain yang merasa diperlakukan tidak adil dan melihat bahwa kerja keras serta kompetensi mereka tidak dihargai.
ADVERTISEMENT
Serupa dengan favoritisme, dinamika 'like-dislike' antara atasan dan bawahan juga menjadi penghambat serius. Penilaian kinerja, yang seharusnya menjadi instrumen objektif untuk mengukur kontribusi pegawai dan menjadi dasar bagi pengembangan karier serta penghargaan, menjadi sangat rentan terhadap bias subjektif ini. Atasan bisa saja memberikan penilaian lebih tinggi kepada bawahan yang disukainya secara personal, atau sebaliknya, memberikan penilaian rendah kepada bawahan yang tidak disukainya, terlepas dari kinerja aktual mereka. Bias ini dapat meluas ke keputusan lain seperti pemberian kesempatan pelatihan, partisipasi dalam proyek penting, atau bahkan penugasan dalam tim kerja strategis. Mengingat penilaian kinerja yang objektif adalah salah satu pilar utama sistem merit, maka bias 'like-dislike' dalam proses ini secara efektif dapat meruntuhkan keseluruhan sistem.
ADVERTISEMENT
Contoh-contoh konkret dari manifestasi hambatan ini dapat ditemukan dalam berbagai praktik di birokrasi. Misalnya, pengisian jabatan yang tidak sesuai antara kompetensi pejabat dengan kualifikasi jabatan yang dibutuhkan, penempatan orang-orang 'titipan' atau pendukung politik/personal dalam posisi tertentu, praktik rotasi jabatan yang hanya berputar di lingkungan internal unit kerja tertentu karena adanya fanatisme atau ketidakpercayaan terhadap unit lain, hingga pengisian jabatan yang secara terang-terangan didasarkan pada pertimbangan 'like and dislike' pimpinan. Semua praktik ini menunjukkan bagaimana pertimbangan subjektif dan hubungan personal dapat mengalahkan prinsip meritokrasi dalam praktik manajemen ASN sehari-hari.
Lingkaran Setan Subjektivitas dan Lemahnya Meritokrasi
Lebih jauh, analisis menunjukkan bahwa favoritisme dan lemahnya meritokrasi seringkali saling terkait dan memperkuat satu sama lain dalam sebuah siklus yang sulit diputus. Berbagai hambatan sistemik seperti intervensi politik dan praktik KKN menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya favoritisme dalam penempatan pejabat di posisi-posisi kunci. Pejabat yang diangkat melalui jalur favoritisme ini kemungkinan besar akan lebih mengutamakan loyalitas personal kepada patron atau atasannya daripada berpegang teguh pada prinsip kompetensi dan integritas.
ADVERTISEMENT
Ketika pejabat tersebut kemudian menjalankan fungsi manajerialnya, termasuk dalam mengelola bawahan dan membentuk tim kerja, terdapat kecenderungan kuat baginya untuk mereplikasi pola yang sama. Ia akan cenderung memilih orang-orang yang dianggap loyal, dekat secara personal, atau disukainya ('like-dislike'), bukan semata-mata berdasarkan kualifikasi atau kebutuhan objektif. Tindakan ini semakin melemahkan penerapan prinsip merit di level operasional organisasi.
Akibatnya, pegawai-pegawai yang memiliki kompetensi tinggi namun tidak memiliki 'koneksi' atau tidak termasuk dalam lingkaran 'orang dekat' atasan akan merasa demotivasi, terpinggirkan, dan kinerjanya menurun. Seiring waktu, hal ini dapat menciptakan budaya organisasi yang permisif terhadap subjektivitas, di mana hubungan personal dianggap lebih penting daripada kompetensi, dan muncul resistensi terhadap upaya-upaya penerapan meritokrasi yang sesungguhnya. Lemahnya mekanisme pengawasan dan penegakan sanksi semakin memperparah kondisi ini, membuat lingkaran setan antara favoritisme, subjektivitas, dan pelemahan meritokrasi terus berputar. Memutus siklus ini memerlukan intervensi yang komprehensif dan sistemik, tidak cukup hanya dengan mengandalkan aturan formal semata, tetapi juga menyentuh aspek pengawasan, penegakan hukum, perubahan budaya, dan komitmen kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Risiko Penyimpangan Akibat Favoritisme dalam Manajemen ASN
Praktik favoritisme dalam manajemen ASN tidak hanya merusak prinsip meritokrasi, tetapi juga secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya berbagai bentuk penyimpangan (misconduct), mulai dari penyalahgunaan wewenang hingga inefisiensi dan korupsi.
Hubungan Favoritisme dengan Penyalahgunaan Wewenang
Favoritisme, pada intinya, adalah suatu bentuk penyalahgunaan wewenang. Ketika seorang pejabat menggunakan posisi atau kekuasaannya untuk memberikan keuntungan atau perlakuan istimewa yang tidak adil kepada pihak-pihak tertentu (baik itu keluarga, teman, kolega, maupun pendukung politiknya) dengan mengabaikan aturan atau prinsip keadilan dan objektivitas, maka ia telah menyalahgunakan wewenang yang diembannya. Tindakan ini melanggar sumpah jabatan dan kode etik ASN yang menuntut pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif.
Lebih dari itu, praktik favoritisme cenderung menciptakan lingkungan kerja yang permisif terhadap penyimpangan lainnya. Ketika keputusan-keputusan penting tidak lagi didasarkan pada aturan formal, kriteria objektif, atau kepentingan publik, melainkan pada hubungan personal dan preferensi subjektif, maka batas antara tindakan yang sah dan tidak sah menjadi kabur. Norma-norma informal yang didasarkan pada loyalitas personal atau kelompok dapat mengalahkan norma-norma formal dan etika publik. Dalam lingkungan seperti ini, bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang lain, seperti penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, pengambilan keputusan yang menguntungkan kelompok tertentu, atau bahkan tindakan koruptif, menjadi lebih mungkin terjadi karena melemahnya kontrol internal dan eksternal. Sebagai contoh, pejabat yang diangkat karena favoritisme mungkin merasa 'kebal hukum' atau merasa perlu membalas budi kepada patronnya, sehingga lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan jabatannya demi keuntungan pribadi atau kelompoknya.
ADVERTISEMENT
Hubungan Favoritisme dengan Inefisiensi dan Kualitas Pelayanan
Salah satu konsekuensi paling nyata dari favoritisme adalah penurunan efisiensi dan efektivitas kinerja birokrasi. Karena favoritisme seringkali mengabaikan kriteria kompetensi dan kualifikasi dalam penempatan pegawai, maka posisi-posisi penting atau tim kerja strategis dapat diisi oleh orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki keahlian atau pengalaman yang memadai untuk tugas tersebut. Penempatan SDM yang tidak tepat sasaran (mismatched) ini secara langsung akan menurunkan produktivitas individu maupun unit kerja, mengakibatkan pekerjaan menjadi lambat, kualitas hasil kerja menurun, dan tujuan organisasi sulit tercapai.
Secara agregat, jika praktik favoritisme meluas, maka kinerja birokrasi secara keseluruhan akan terhambat. Manajemen SDM yang tidak efektif, yang tidak didasarkan pada prinsip merit, menjadi penghalang utama bagi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Kinerja birokrasi yang buruk ini pada gilirannya akan berdampak negatif pada kinerja pemerintah secara umum dan menurunkan daya saing negara. Kemampuan birokrasi untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang berkualitas serta menyediakan layanan publik yang efektif dan efisien kepada masyarakat akan sangat terganggu. Tingginya keluhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik di Indonesia dapat sebagian diatribusikan pada masalah inefisiensi dan rendahnya profesionalisme birokrasi, yang salah satu akarnya adalah praktik non-meritokratis seperti favoritisme.
ADVERTISEMENT
Favoritisme sebagai Pintu Masuk Korupsi
Terdapat hubungan erat antara favoritisme dan praktik korupsi. Spoil system, yang merupakan bentuk ekstrem dari favoritisme politik di mana jabatan publik dibagi-bagikan kepada pendukung partai pemenang pemilu, secara inheren menciptakan lingkungan yang sangat rentan terhadap korupsi. Ketika jabatan diperoleh bukan karena kompetensi melainkan karena afiliasi politik atau bahkan suap, maka integritas dan profesionalisme birokrasi terkikis, dan sumber daya publik menjadi rawan diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau partai.
Bahkan dalam bentuk yang lebih halus, favoritisme dapat menjadi pintu masuk bagi korupsi. Ambiguitas dalam penerapan kriteria merit, seperti yang telah dibahas sebelumnya, dapat dimanfaatkan untuk melakukan korupsi terselubung dalam proses seleksi, di mana kandidat yang memiliki hubungan dipilih di antara beberapa kandidat yang dianggap 'setara' kemampuannya. Lebih fundamental lagi, ketika budaya organisasi didominasi oleh loyalitas personal dan hubungan patron-klien menggantikan prinsip integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas publik, maka ASN menjadi lebih rentan terhadap godaan untuk terlibat dalam praktik koruptif. Mereka mungkin merasa perlu untuk 'menyenangkan' atasan atau patron mereka, atau merasa bahwa aturan dapat dilanggar selama mendapat 'perlindungan' dari atas. Lingkungan seperti ini menumbuhkan perilaku koruptif dan mempersulit upaya pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Efek Domino Favoritisme terhadap Penyimpangan
Analisis terhadap hubungan antara favoritisme dan berbagai bentuk penyimpangan menunjukkan adanya potensi efek domino yang merusak. Satu tindakan favoritisme dalam satu aspek manajemen ASN, misalnya dalam pengangkatan seorang pejabat, dapat memicu serangkaian konsekuensi negatif lainnya yang saling terkait.
Mari kita telusuri alurnya: Asumsikan Pejabat A diangkat ke suatu posisi strategis bukan berdasarkan rekam jejak kinerja dan kompetensi terbaik, melainkan karena kedekatannya dengan pengambil keputusan (favoritisme). Pertama, ada kemungkinan Pejabat A tidak memiliki kualifikasi atau kompetensi yang optimal untuk jabatan tersebut. Hal ini secara langsung menciptakan risiko inefisiensi dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Kedua, karena proses pengangkatannya tidak murni meritokratis, Pejabat A mungkin merasa berhutang budi atau memiliki loyalitas utama kepada patron yang mengangkatnya, bukan kepada aturan, etika publik, atau sistem merit itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ketika Pejabat A menjalankan kewenangannya, misalnya dalam membentuk tim kerja atau mengusulkan promosi bawahannya, ia cenderung akan mereplikasi pola favoritisme yang sama. Ia akan lebih memilih orang-orang yang dianggapnya loyal secara personal, memiliki kedekatan, atau disukainya ('like-dislike'), daripada memilih berdasarkan kompetensi objektif. Ini semakin melemahkan prinsip merit di level bawahannya. Keempat, kombinasi antara potensi kurangnya kompetensi, loyalitas yang salah arah, dan melemahnya komitmen pada aturan dan etika publik membuat Pejabat A menjadi lebih rentan untuk melakukan penyalahgunaan wewenang, baik untuk kepentingan patronnya, kelompoknya, maupun dirinya sendiri. Kelima, penyalahgunaan wewenang ini dapat dengan mudah berkembang menjadi praktik koruptif, terutama jika sistem pengawasan lemah.
Dengan demikian, satu tindakan favoritisme awal dapat merambat dan menimbulkan dampak beruntun: inefisiensi kinerja, pelemahan sistem merit lebih lanjut di tingkat bawah, peningkatan risiko penyalahgunaan wewenang, dan akhirnya membuka pintu bagi praktik korupsi. Ini menunjukkan betapa berbahayanya praktik favoritisme, bukan hanya sebagai tindakan tidak adil pada satu titik, tetapi sebagai pemicu kerusakan sistemik yang lebih luas dalam birokrasi.
ADVERTISEMENT
Dampak Favoritisme pada Pembentukan Tim Kerja dan Kinerja Sektor Publik
Salah satu area spesifik dalam manajemen ASN di mana dampak favoritisme dapat terlihat sangat jelas dan merusak adalah dalam proses pembentukan tim kerja. Tim kerja yang efektif merupakan elemen krusial bagi keberhasilan organisasi sektor publik dalam menjalankan tugas-tugasnya yang kompleks.
Pentingnya Tim Kerja Efektif di Sektor Publik
Organisasi sektor publik seringkali dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks, multi-sektoral, dan membutuhkan koordinasi serta kolaborasi antar berbagai unit atau individu dengan keahlian berbeda. Penyelesaian tugas-tugas ini, terutama dalam upaya memberikan pelayanan publik yang prima, sangat bergantung pada kemampuan organisasi untuk membentuk dan mengelola tim kerja yang solid dan efektif. Keberhasilan membangun tim kerja yang efektif seringkali menjadi kunci keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya.
ADVERTISEMENT
Kerja tim memiliki keunggulan dibandingkan kerja individual. Tim dapat mencapai hasil atau prestasi yang mungkin tidak dapat dicapai oleh individu sendirian. Tim juga cenderung lebih fleksibel dan responsif terhadap perubahan lingkungan dibandingkan struktur departemen yang lebih kaku. Kinerja organisasi secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh kinerja tim-tim kerja di dalamnya. Oleh karena itu, kemampuan untuk membentuk tim yang tepat dan memastikan tim tersebut berfungsi secara efektif adalah kompetensi manajerial yang sangat penting di sektor publik.
Dampak Negatif Pemilihan Anggota Tim Berbasis Favoritisme/'Like-Dislike'
Ketika proses pemilihan anggota tim kerja tidak didasarkan pada prinsip meritokratis (kesesuaian kompetensi dengan kebutuhan tugas), melainkan pada favoritisme atau preferensi personal ('like-dislike') atasan, serangkaian dampak negatif dapat timbul, merusak potensi efektivitas tim tersebut:
ADVERTISEMENT
Komposisi Tim Tidak Optimal:
Tim yang efektif, menurut Katzenbach dan Smith, terdiri dari sejumlah kecil orang dengan keterampilan yang saling melengkapi (complementary skills) yang berkomitmen pada tujuan bersama. Jika pemilihan anggota didasarkan pada kedekatan dengan atasan, bukan pada analisis kebutuhan keterampilan untuk tugas tim, maka komposisi tim kemungkinan besar menjadi tidak optimal. Tim bisa kekurangan keahlian kritis tertentu, atau sebaliknya, memiliki terlalu banyak orang dengan keahlian serupa namun tidak relevan, sementara individu yang paling kompeten untuk tugas tersebut justru tidak dilibatkan.
Menurunkan Kepercayaan (Trust) dalam Tim:
Kepercayaan adalah fondasi utama bagi kerja tim yang efektif. Anggota tim perlu saling percaya akan integritas, karakter, dan kemampuan satu sama lain, serta percaya pada pemimpin tim. Jika anggota tim merasa bahwa proses seleksi tidak adil dan didasarkan pada favoritisme, maka kepercayaan akan sulit terbangun. Anggota yang merasa terpilih karena 'koneksi' mungkin dipandang sebelah mata oleh yang lain, sementara anggota yang merasa 'dipinggirkan' akan kehilangan kepercayaan pada pimpinan dan sistem.
ADVERTISEMENT
Merusak Kekompakan (Cohesiveness) dan Kerjasama Tim:
Favoritisme cenderung menciptakan iklim 'pilih kasih' dalam tim, memunculkan 'kubu' antara mereka yang 'dekat' dengan atasan dan yang tidak. Hal ini secara langsung merusak kekompakan, solidaritas, dan semangat kerjasama tim yang tulus. Padahal, kerjasama tim yang baik terbukti memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai dan pencapaian tujuan. Tanpa kerjasama yang solid, tim akan sulit berfungsi secara efektif.
Menurunkan Moral dan Motivasi Anggota Tim:
Anggota tim yang terpilih bukan karena kompetensinya mungkin merasa tidak percaya diri atau justru menjadi arogan, namun keduanya tidak kondusif bagi kinerja. Di sisi lain, anggota tim yang merasa kompeten namun merasa diperlakukan tidak adil atau 'dianaktirikan' dalam tim akan mengalami penurunan moral, motivasi, dan kepuasan kerja. Demotivasi ini akan menghambat kontribusi maksimal mereka pada tim.
ADVERTISEMENT
Meningkatkan Potensi Konflik:
Persepsi ketidakadilan akibat favoritisme merupakan sumber potensial konflik disfungsional di dalam tim. Kecemburuan, ketidakpuasan, dan saling curiga dapat meledak menjadi konflik terbuka yang menghabiskan energi tim dan menghambat pencapaian tujuan.
Menghambat Dinamika Tim yang Sehat:
Tim yang efektif dicirikan oleh komunikasi yang terbuka, saling mendukung, adanya umpan balik konstruktif, dan kemampuan menyelesaikan masalah secara kolaboratif. Semua elemen dinamika tim yang sehat ini akan sulit terwujud jika fondasi pembentukan tim itu sendiri rapuh akibat praktik favoritisme dan bias 'like-dislike'.
Konsekuensi pada Kinerja Tim dan Pelayanan Publik
Dampak negatif pada komposisi, kepercayaan, kekompakan, moral, dan dinamika tim pada akhirnya akan bermuara pada penurunan kinerja tim secara keseluruhan. Tim yang tidak solid, tidak saling percaya, tidak kompak, penuh konflik, dan anggotanya demotivasi akan sangat sulit untuk mencapai target kinerja yang ditetapkan. Penyelesaian tugas bisa menjadi lambat, kualitas hasil kerja menurun, dan inovasi terhambat.
ADVERTISEMENT
Karena kinerja tim merupakan kontributor penting bagi kinerja organisasi secara keseluruhan, maka penurunan kinerja tim akibat favoritisme dalam pembentukannya akan berdampak langsung pada kemampuan organisasi sektor publik dalam menjalankan fungsinya, terutama dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Dengan kata lain, praktik favoritisme dalam keputusan personalia internal birokrasi memiliki konsekuensi eksternal yang nyata bagi masyarakat pengguna layanan.
Efek Jangka Panjang pada Kapasitas Organisasi
Dampak favoritisme dalam pembentukan tim kerja tidak berhenti pada penurunan kinerja tim saat ini saja. Praktik ini juga memiliki implikasi jangka panjang yang dapat mengikis kapasitas organisasi secara keseluruhan. Tim kerja seharusnya tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga sebagai wahana penting untuk pembelajaran, pengembangan kompetensi, dan transfer pengetahuan antar anggota.
Ketika pembentukan tim didasarkan pada favoritisme, proses pembelajaran dan pengembangan ini terganggu. Anggota tim yang dipilih mungkin bukan individu yang paling membutuhkan pengembangan atau yang paling bisa belajar dari tugas tersebut. Sebaliknya, individu yang kompeten dan berpotensi tinggi untuk berkembang melalui pengalaman dalam tim tersebut mungkin justru tidak mendapatkan kesempatan karena tidak memiliki 'kedekatan' dengan atasan. Akibatnya, organisasi kehilangan kesempatan untuk mengembangkan talenta terbaiknya secara optimal.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dinamika tim yang buruk akibat favoritisme, seperti kurangnya kepercayaan dan komunikasi terbuka, akan menghambat proses pertukaran ide, pengetahuan, dan pengalaman antar anggota tim. Pembelajaran kolektif, yang penting untuk inovasi dan peningkatan kapasitas organisasi, menjadi sulit terjadi.
Lebih jauh, jika praktik favoritisme dalam penugasan tim kerja ini terjadi berulang kali dan dibiarkan tanpa koreksi, ia akan mengirimkan sinyal yang salah kepada seluruh anggota organisasi. Pesan yang tertangkap adalah bahwa koneksi personal dan loyalitas subjektif lebih penting daripada kompetensi dan kinerja untuk mendapatkan tugas atau proyek yang menarik dan strategis. Hal ini akan menormalisasi budaya non-meritokratis dalam organisasi, merusak upaya membangun sistem manajemen talenta yang objektif, dan dalam jangka panjang, secara bertahap mengikis basis kompetensi organisasi serta kemampuannya untuk beradaptasi dan berkinerja tinggi di masa depan.
ADVERTISEMENT
Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengatakan militer AS telah melakukan serangan ke tiga lokasi nuklir Iran, termasuk fasilitas pengayaan uranium bawah tanah di Fordow. Dengan serangan ini, artinya AS telah resmi berperang melawan Iran.