Konten dari Pengguna

Meritokrasi dan Favoritisme dalam Perspektif ASN

Yudha Pradana
Auditor dan founder media belajar temanujian.com.
25 April 2025 13:54 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudha Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Wacana Revisi RUU ASN

Reformasi birokrasi di Indonesia terus bergulir dengan tujuan utama mewujudkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional, netral, dan berkinerja tinggi melalui penerapan sistem merit. Namun, wacana revisi Pasal 30 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang mengusulkan sentralisasi kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi (PPT) Pratama dan Madya ke Presiden, memunculkan perdebatan mengenai potensi dampaknya terhadap meritokrasi.
ASN sedang melakukan pengawasan stabilisasi harga komoditas gabah. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Reformasi Manajemen ASN dan Wacana Revisi UU ASN

Upaya reformasi birokrasi di Indonesia merupakan agenda berkelanjutan yang bertujuan untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu pilar utama reformasi ini adalah transformasi manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), yang diarahkan untuk mewujudkan ASN yang memiliki integritas, profesionalisme, netralitas, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
ADVERTISEMENT
Landasan hukum utama bagi reformasi manajemen ASN adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Perubahan ini mencerminkan upaya berkelanjutan untuk menyempurnakan sistem pengelolaan ASN agar lebih adaptif terhadap tantangan zaman dan mampu mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Namun, belum lama setelah UU No 20 Tahun 2023 disahkan, muncul kembali wacana untuk melakukan revisi, yang kali ini secara spesifik menyasar satu pasal, yaitu Pasal 30. Pasal ini mengatur tentang pendelegasian kewenangan pembinaan Manajemen ASN dari Presiden kepada pejabat lain di berbagai tingkatan instansi pemerintah.
Usulan revisi ini, yang dilaporkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025, mengemuka dengan fokus utama untuk menarik kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Pimpinan Tinggi (PPT) Pratama (seperti Kepala Dinas di daerah, Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota) dan sebagian PPT Madya (seperti Sekretaris Daerah Provinsi) yang saat ini sebagian didelegasikan, menjadi kewenangan penuh Presiden. Wacana ini sontak memicu diskursus publik mengenai arah reformasi birokrasi, khususnya terkait keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam manajemen ASN.
ADVERTISEMENT

Ancaman Subjektivitas dalam Praktik Manajemen ASN

Idealita reformasi birokrasi yang mengedepankan sistem merit, yakni pengelolaan ASN berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan objektif, seringkali berbenturan dengan realitas praktik di lapangan. Berbagai studi dan laporan menunjukkan bahwa praktik-praktik yang didasari pertimbangan subjektif, seperti favoritisme (pemberian perlakuan istimewa berdasarkan kedekatan personal), nepotisme (favoritisme terhadap keluarga), dan kronisme (favoritisme terhadap teman), masih menjadi tantangan persisten dalam birokrasi Indonesia. Selain itu, dinamika hubungan personal antara atasan dan bawahan, yang seringkali diwarnai unsur 'like-dislike' (suka atau tidak suka), juga dapat memengaruhi berbagai keputusan personalia, mulai dari penilaian kinerja hingga penugasan.
Dalam konteks ini, mekanisme pendelegasian wewenang dalam manajemen ASN, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU ASN (baik versi saat ini maupun usulan revisinya), menjadi titik krusial yang perlu dicermati. Terdapat kekhawatiran bahwa mekanisme ini, jika tidak disertai dengan sistem kontrol dan pengawasan yang kuat, dapat membuka celah bagi masuknya pertimbangan-pertimbangan subjektif tersebut.
ADVERTISEMENT
Keputusan-keputusan strategis seperti pengangkatan pejabat, mutasi, promosi, dan bahkan pembentukan tim kerja untuk proyek atau tugas tertentu, berpotensi dipengaruhi oleh faktor-faktor non-meritokratis, seperti kedekatan personal atau preferensi atasan. Penilaian kinerja yang tidak objektif akibat bias 'like-dislike', misalnya, dapat secara langsung merusak semangat kerja bawahan dan menimbulkan ketidakpuasan.
Argumen Utama
Pendelegasian wewenang dalam manajemen ASN, yang dicontohkan oleh Pasal 30 UU ASN dan potensial mengalami perubahan signifikan melalui revisi yang diusulkan, mengandung risiko inheren terhadap penyimpangan dari prinsip meritokrasi apabila tidak dikawal oleh mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang kokoh. Praktik favoritisme dan pengaruh hubungan personal 'like-dislike' dapat memanfaatkan celah subjektivitas dalam proses pendelegasian dan pengambilan keputusan, yang pada gilirannya akan melemahkan fondasi sistem merit.
ADVERTISEMENT
Pelemahan sistem merit ini tidak hanya menghambat terwujudnya ASN yang profesional dan berkinerja tinggi, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya penyimpangan, seperti penyalahgunaan wewenang dan inefisiensi birokrasi. Lebih lanjut, artikel ini akan menunjukkan bagaimana praktik favoritisme, khususnya dalam konteks penentuan personil, berdampak negatif secara langsung pada proses pembentukan tim kerja yang efektif dan pada akhirnya memengaruhi kinerja organisasi sektor publik secara keseluruhan.

Sistem Merit (Meritokrasi) dalam Manajemen ASN

Sistem merit merupakan landasan fundamental dalam upaya mewujudkan birokrasi yang profesional dan efektif. Secara definitif, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU ASN, sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi berdasarkan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, ataupun kondisi kecacatan. Pengertian ini menegaskan bahwa keputusan terkait ASN, mulai dari rekrutmen hingga pemberhentian, harus didasarkan pada pertimbangan objektif terkait kemampuan dan prestasi individu, bukan faktor-faktor subjektif atau diskriminatif lainnya.
ADVERTISEMENT
Prinsip-prinsip utama yang terkandung dalam sistem merit meliputi objektivitas dalam penilaian, keadilan dalam perlakuan dan kesempatan, transparansi dalam proses pengambilan keputusan, akuntabilitas pejabat yang berwenang, serta fokus pada kinerja dan kompetensi sebagai basis utama pengelolaan SDM. Tujuan penerapan sistem merit sangatlah strategis, mencakup upaya untuk merekrut ASN yang profesional dan berintegritas, menempatkan mereka sesuai kompetensinya, mengembangkan kapasitas ASN secara berkelanjutan, memberikan kepastian dan perlindungan karier dari intervensi politik maupun tindakan kesewenang-wenangan, serta mengelola ASN secara efektif dan efisien dengan sistem penghargaan yang adil berbasis kinerja.
Urgensi penerapan sistem merit terletak pada perannya dalam mendukung terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memastikan birokrasi berfungsi sebagai mesin pembangunan yang efektif dan bebas dari KKN. Di Indonesia, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibentuk sebagai lembaga independen yang bertugas mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, kode perilaku, serta penerapan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN pada instansi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Manfaat penerapan sistem merit dirasakan oleh berbagai pihak. Bagi ASN, sistem ini menjanjikan kesempatan pengembangan diri, perlindungan karier dari politisasi, peningkatan motivasi, dan jalur karier yang jelas. Bagi organisasi, sistem merit mempermudah perekrutan talenta terbaik, penempatan yang tepat, pencapaian target organisasi, dan mempertahankan pegawai kompeten melalui kompensasi yang layak.
Bagi birokrasi secara keseluruhan, sistem merit diharapkan dapat mewujudkan birokrasi yang mandiri, kuat, dan menjadi pusat inovasi. Pada akhirnya, bagi masyarakat, sistem merit menjamin bahwa pelayanan publik diselenggarakan oleh aparatur yang kompeten dan profesional.

Favoritisme, Kronisme, dan Nepotisme dalam Konteks Birokrasi

Meskipun sistem merit menjadi ideal yang dikejar, praktik-praktik yang bertentangan dengannya masih kerap terjadi dalam birokrasi. Tiga bentuk utama dari praktik ini adalah favoritisme, kronisme, dan nepotisme. Favoritisme secara umum merujuk pada pemberian perlakuan istimewa atau keuntungan kepada individu atau kelompok tertentu bukan berdasarkan kriteria objektif seperti kualifikasi atau kinerja, melainkan atas dasar hubungan personal, kedekatan, pertemanan, atau preferensi subjektif lainnya. Kronisme merupakan bentuk spesifik favoritisme yang ditujukan kepada teman dekat atau kolega. Sementara itu, nepotisme adalah favoritisme yang secara khusus diberikan kepada anggota keluarga atau kerabat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks manajemen SDM publik, praktik-praktik ini dapat termanifestasi dalam berbagai keputusan personalia, seperti proses rekrutmen yang memprioritaskan 'orang dalam', promosi jabatan yang didasarkan pada kedekatan dengan atasan, mutasi pegawai sebagai bentuk 'hadiah' atau 'hukuman' personal, penugasan dalam tim atau proyek strategis kepada orang-orang kepercayaan tanpa melihat kompetensi, hingga penilaian kinerja dan pemberian penghargaan atau sanksi yang bias. Praktik-praktik ini seringkali dianggap sebagai bentuk "penyakit" atau patologi birokrasi yang merusak kesehatan organisasi dan secara fundamental merupakan pelanggaran terhadap etika profesi maupun etika organisasi pemerintahan.

Dinamika Hubungan Atasan-Bawahan (Like-Dislike)

Hubungan antara atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi, termasuk birokrasi publik, secara inheren tidak hanya bersifat profesional tetapi juga personal. Interaksi sehari-hari, kesamaan latar belakang, atau kecocokan kepribadian dapat membentuk kedekatan atau justru ketidakcocokan antara atasan dan bawahan. Dinamika 'like-dislike' ini, meskipun tampak sebagai aspek interpersonal biasa, dapat memiliki implikasi serius ketika memengaruhi keputusan manajerial.
ADVERTISEMENT
Salah satu area yang paling rentan terhadap bias 'like-dislike' adalah penilaian kinerja. Seorang penilai (atasan) mungkin cenderung memberikan penilaian yang lebih baik kepada bawahan yang disukainya atau yang memiliki hubungan dekat dengannya, terlepas dari kinerja objektifnya. Sebaliknya, bawahan yang kurang dikenal atau tidak disukai mungkin menerima penilaian yang lebih rendah dari yang seharusnya. Bias ini dapat diperparah oleh halo effect, di mana kesan positif pada satu aspek (misalnya, penampilan atau kepribadian yang menyenangkan) menutupi kelemahan di aspek lain.
Dampak dari bias 'like-dislike' dalam keputusan personalia sangat signifikan. Ketika pegawai merasa bahwa penilaian, promosi, atau penugasan tidak didasarkan pada kinerja atau kontribusi nyata melainkan pada preferensi personal atasan, persepsi ketidakadilan akan muncul. Hal ini dapat secara drastis menurunkan semangat kerja, kepuasan kerja, dan komitmen terhadap organisasi.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ekstrem, ketidakpuasan ini dapat berujung pada tingkat kemangkiran yang tinggi, penurunan produktivitas, atau bahkan keputusan pegawai untuk pindah ke organisasi lain. Sebaliknya, hubungan yang baik, komunikasi yang efektif, dan perhatian yang tulus dari atasan dapat menjadi faktor motivasi yang kuat dan berkontribusi pada peningkatan kinerja dan kepuasan kerja.

Ketegangan Inherent antara Meritokrasi dan Realitas Hubungan Personal

Analisis terhadap konsep meritokrasi dan praktik favoritisme serta dinamika 'like-dislike' menyingkap adanya suatu ketegangan fundamental dalam pengelolaan organisasi birokrasi. Di satu kutub, terdapat idealisme meritokrasi yang menuntut objektivitas, impersonalitas, dan keputusan berbasis kualifikasi, kompetensi, serta kinerja. Sistem ini dirancang untuk beroperasi berdasarkan aturan dan standar yang jelas, meminimalkan peran subjektivitas. Di kutub lain, terdapat realitas bahwa birokrasi dijalankan oleh manusia yang terikat dalam jaringan hubungan sosial, memiliki preferensi personal, emosi, dan potensi bias.
ADVERTISEMENT
Atasan, sebagai pemegang wewenang dalam manajemen ASN, berada di persimpangan kedua kutub ini. Mereka memiliki kekuasaan formal untuk melakukan penilaian, promosi, mutasi, dan penugasan, termasuk membentuk tim kerja. Namun, pelaksanaan kekuasaan ini tidak selalu steril dari pengaruh hubungan personal. Rasa suka atau tidak suka, kedekatan, atau bahkan tekanan dari pihak lain dapat memengaruhi cara atasan menggunakan wewenangnya. Favoritisme, dalam esensinya, adalah manifestasi dari penggunaan kekuasaan ini yang didasarkan pada preferensi personal atau hubungan khusus, bukan pada pertimbangan meritokratis.
Oleh karena itu, sistem merit selalu berada dalam kondisi 'bertarung' melawan kecenderungan alami manusia untuk bersikap subjektif dan bias dalam konteks hubungan kekuasaan di tempat kerja. Aturan formal seperti UU ASN berupaya untuk menegakkan prinsip meritokrasi, namun praktik-praktik informal yang didorong oleh hubungan personal dan preferensi subjektif terus menjadi ancaman laten yang dapat menggerogoti sistem dari dalam. Setiap perubahan dalam struktur pendelegasian wewenang, seperti yang diusulkan dalam revisi Pasal 30, secara langsung akan memengaruhi medan pertarungan ini, menciptakan konfigurasi risiko dan peluang baru bagi penguatan atau pelemahan meritokrasi.
ADVERTISEMENT