Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Belajar Kesetiaan dari Anjing
1 Februari 2025 18:12 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di antara ribuan kisah yang terpatri dalam lembar-lembar Al-Qur’an, ada satu yang bersemayam dalam keheningan "gua/goa", menantang waktu, menembus abad. Kisah tujuh pemuda yang memilih berlari dari kezaliman dunia, meninggalkan hiruk-pikuk kekuasaan yang bengis, memilih tidur dalam dekapan Tuhan. Bersama mereka, seekor anjing duduk berjaga, setia dalam diam, menantikan fajar yang tak kunjung tiba.
ADVERTISEMENT
Mengapa seekor anjing? Mengapa bukan kuda yang gagah, atau burung yang bersayap lembut? Mengapa bukan domba yang jinak atau unta yang sabar? Mengapa seekor makhluk yang dalam banyak tafsir dianggap najis justru mendapat kehormatan tertidur dalam penjagaan Ilahi?
Barangkali, bukan karena rupa atau asalnya, melainkan karena sifat yang tertanam dalam jiwanya. Anjing, makhluk yang tak menakar kasih dengan imbalan, yang tak mengenal pengkhianatan dalam kamusnya. Ia memberi kesetiaan sepenuh hati, tanpa menuntut balas.
Ada pepatah Arab yang berkata:
“Berilah makan seekor anjing selama tiga hari, ia akan mengingatmu selama tiga tahun. Berilah makan seorang manusia selama tiga tahun, ia akan melupakanmu dalam tiga hari.”
Betapa ironis. Manusia, makhluk yang dikaruniai akal dan hati, sering kali lebih mudah melupakan kebaikan daripada seekor anjing yang hanya dibekali naluri.
ADVERTISEMENT
Di Jepang, ada seekor anjing bernama Hachiko. Setiap senja, ia duduk di Stasiun Shibuya, menunggu majikannya pulang kerja. Namun takdir berkata lain. Pada suatu hari di tahun 1925, sang majikan tak pernah kembali. Waktu berlalu, tahun berganti, musim datang dan pergi, tapi Hachiko tetap menunggu. Sepuluh tahun ia bertahan, menantikan seseorang yang telah tiada. Hingga akhirnya, tubuhnya menyerah, terkulai di tempat yang sama, masih setia pada janji yang ia pegang.
Sepuluh tahun. Bukan sebulan, bukan setahun.
Lalu kita, manusia yang begitu banyak menuntut kasih sayang dari orang tua, dari sahabat, dari pasangan, sudahkah kita setia pada mereka sebagaimana seekor anjing setia pada tuannya? Sudahkah kita membalas kebaikan dengan kesetiaan, atau justru kita melupakan setelah kepentingan kita terpenuhi?
ADVERTISEMENT
Ada pula ungkapan Arab yang berbunyi:
“Kalbun shadiq khairun min shadiqil kalbi.”
(Anjing yang bisa dijadikan teman, jauh lebih baik daripada seorang teman yang kayak anjing.)
Barangkali itulah sebabnya anjing Ashabul Kahfi diabadikan dalam kitab suci. Bukan karena ia suci tanpa cela, tetapi karena ia memilih untuk berada dalam lingkaran orang-orang baik. Ia tidak berlari ketika pemiliknya berlari menuju Tuhan. Ia tidak meninggalkan ketika teman-temannya memilih jalan yang suci. Ia tinggal, ia setia, ia menunggu.
Maka lihatlah dirimu sendiri. Dengan siapa kau bergaul? Dengan siapa kau berjalan? Apakah mereka mengajarkanmu makna hidup, atau justru menarikmu ke jurang yang dalam? Karena persahabatan adalah cermin. Jika kau berkawan dengan penjual minyak wangi, tubuhmu akan harum. Jika kau bersanding dengan pandai besi, baramu akan menyala.
ADVERTISEMENT
Jika seekor anjing yang hina bisa menjadi bagian dari kisah suci hanya karena lingkungannya, maka bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memilih lingkaran yang akan membawa kita menuju keabadian yang mulia?
Dan jika setelah bertahun-tahun berkawan dengan orang-orang shalih, kita masih saja memiliki hati yang penuh tipu daya, maka barangkali kita harus malu pada anjing.