Konten dari Pengguna

Keindahan dalam Ketidaksempurnaan

Yuda Saputra
Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang.
1 Januari 2025 20:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuda Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Oleh Dell By AI
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Oleh Dell By AI
ADVERTISEMENT
Kesempurnaan, dalam banyak lapisannya, terhampar di hadapan kita bagai angan yang tak terjangkau. Sebuah cita-cita yang seolah menjadi kunci untuk mencapai segala makna dalam hidup, terutama dalam percintaan. Namun, adakah kesempurnaan itu benar-benar sesuatu yang kita butuhkan? Atau justru, ia hanyalah fatamorgana yang menyesatkan, sebuah bayangan yang membatasi dan menghalangi kita untuk merasakan cinta yang sejati? Kesempurnaan adalah ciptaan batin yang lahir dari ketakutan, takut akan penolakan, takut akan kegagalan, takut akan kehampaan. Namun, dalam hakikatnya, kesempurnaan adalah sebuah ilusi, sebuah khayalan yang kerap kali lebih menyakitkan dari pada kenyataan itu sendiri. Ia adalah gambaran yang kita upayakan untuk diraih, namun kerap kali menjauh, seperti benda yang kita sentuh dalam mimpi. Keindahan sejati, yang mengalir dari hakikat kehidupan, bukanlah terletak pada kesempurnaan yang palsu. Sebaliknya, ia muncul dalam segala ketidaksempurnaan dalam setiap kekurangan yang kita miliki, dalam luka yang mengering, dalam retakan yang akhirnya memberi ruang bagi cahaya untuk masuk. Cinta yang tulus dan sejati tidak lahir dari usaha untuk mencapai kesempurnaan. Sebab cinta, yang sebenarnya, tumbuh dalam keheningan yang diciptakan oleh penerimaan. Dalam ruang yang luas untuk saling memahami, untuk saling menerima segala kelemahan dan kekurangan. Cinta bukanlah tentang menjadi sempurna, melainkan tentang keberanian untuk menunjukkan diri yang rapuh dan tak utuh. Tanpa ketidaksempurnaan, hidup ini terenggut dari proses belajar, dari ruang untuk berkembang, dan dari kapasitas kita untuk mencintai dengan penuh ketulusan. Pencarian akan kesempurnaan, pada akhirnya, hanya akan mempersempit jiwa. Ketika kita terus-menerus terperangkap dalam bayang-bayang citra ideal, kita terlupa akan hakikat dari hubungan yang sejati, yang bukan terletak pada kesempurnaan luar, melainkan pada keaslian dan penerimaan penuh terhadap apa adanya. Cinta sejati terungkap bukan dalam keinginan untuk menutupi segala kekurangan, melainkan dalam keberanian untuk merayakan setiap fragmen ketidaksempurnaan yang kita bawa. Di sanalah, dalam ruang bebas itu, cinta akan tumbuh tak terikat oleh syarat atau ekspektasi yang membelenggu. Maka, ketika kita menggenggam kesempurnaan sebagai tujuan hidup, kita hanya terjebak dalam siklus kecemasan dan ketidakpuasan yang tak pernah selesai. Yang lebih utama adalah menjadi diri sendiri, dengan segala ketidaksempurnaan yang membentuk kita. Cinta sejati akan tumbuh bukan dari pencapaian yang tak pernah berujung, tetapi dari kedalaman hati untuk menerima dan mengasihi, tanpa syarat, dalam segala ketidaksempurnaan itu sendiri. Di dalam penerimaan yang tulus, kita akan menemukan cinta yang tak lekang oleh waktu, cinta yang meskipun tak sempurna, jauh lebih indah dan abadi.
ADVERTISEMENT